Jumat, Juni 6, 2025
23.1 C
Palangkaraya

Jejak Datuk Sampit dan Kai Jungkir (1); Gagalkan Bom Belanda dengan Ranting

“Ada tujuh orang yang diutus kerajaan Banjar tahun 1920an. Datuk Sampit ini waktu itu umurnya sekitar 38 tahun dan yang paling bungsu. Beliau ditugaskan untuk memperluas wilayah di Sampit,” ujarnya kepada Kalteng Pos, Kamis (22/5).

Seiring berjalannya waktu, Datuk Sampit dikenal oleh masyarakat kala itu sebagai tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar. Tak heran, banyak masyarakat datang ke rumah Datuk Sampit. Datuk Sampit juga dipercaya sebagai cikal bakal terbentuknya nama Kota Sampit. Sebab, masyarakat kala itu banyak datang kerumah Datuk Sampit untuk meminta petuah dan nasehat.

“Dahulu orang datang ke rumah beliau kalau ditanya ke mana, pasti jawabnya ke rumah Sampit. Akhirnya terbentuklah nama Kota Sampit itu,” katanya.

Baca Juga :  Jelang Hari Buruh 2025,FSP-PP KSPSI Kalteng Imbau Tidak Ada Aksi Turun ke Jalan

Masyarakat yang mulai berkembang kala itu, membuat pasukan belanda mulai masuk ke wilayah Sampit. Para penjajah itu ingin membuat pabrik kayu dan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) berupa kayu yang melimpah.

Guna membangun pabrik tersebut, Belanda meminjam lahan di Jalan D.I. Panjaitan yang kala itu merupakan lahan milik Datuk Sampit. Tanah itupun kemudian dibuat perusahaan kayu yang dikenal sebagai pabrik kayu Bruynzeel.

“Belanda ingin meminjam tanah milik Datuk Sampit untuk membuat pabrik kayu yang sekarang dikenal dengan PT Inhutani,” jelasnya.

Datuk Sampit yang memiliki dua orang anak itu kemudian wafat dan mewariskan ilmu hingga lahan miliknya kepada Datuk Jungkir. Selang beberapa waktu, Belanda melihat potensi yang menggiurkan di Kota Sampit. Akhirnya, perusahaan itu ingin diperluas ke arah sungai Mentaya. Perluasan itu akan memakan tanah yang terdapat rumah Kai Jungkir.

Baca Juga :  Keteladan sang Kiai Menginspirasi Generasi Muda

“Ada tujuh orang yang diutus kerajaan Banjar tahun 1920an. Datuk Sampit ini waktu itu umurnya sekitar 38 tahun dan yang paling bungsu. Beliau ditugaskan untuk memperluas wilayah di Sampit,” ujarnya kepada Kalteng Pos, Kamis (22/5).

Seiring berjalannya waktu, Datuk Sampit dikenal oleh masyarakat kala itu sebagai tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar. Tak heran, banyak masyarakat datang ke rumah Datuk Sampit. Datuk Sampit juga dipercaya sebagai cikal bakal terbentuknya nama Kota Sampit. Sebab, masyarakat kala itu banyak datang kerumah Datuk Sampit untuk meminta petuah dan nasehat.

“Dahulu orang datang ke rumah beliau kalau ditanya ke mana, pasti jawabnya ke rumah Sampit. Akhirnya terbentuklah nama Kota Sampit itu,” katanya.

Baca Juga :  Jelang Hari Buruh 2025,FSP-PP KSPSI Kalteng Imbau Tidak Ada Aksi Turun ke Jalan

Masyarakat yang mulai berkembang kala itu, membuat pasukan belanda mulai masuk ke wilayah Sampit. Para penjajah itu ingin membuat pabrik kayu dan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) berupa kayu yang melimpah.

Guna membangun pabrik tersebut, Belanda meminjam lahan di Jalan D.I. Panjaitan yang kala itu merupakan lahan milik Datuk Sampit. Tanah itupun kemudian dibuat perusahaan kayu yang dikenal sebagai pabrik kayu Bruynzeel.

“Belanda ingin meminjam tanah milik Datuk Sampit untuk membuat pabrik kayu yang sekarang dikenal dengan PT Inhutani,” jelasnya.

Datuk Sampit yang memiliki dua orang anak itu kemudian wafat dan mewariskan ilmu hingga lahan miliknya kepada Datuk Jungkir. Selang beberapa waktu, Belanda melihat potensi yang menggiurkan di Kota Sampit. Akhirnya, perusahaan itu ingin diperluas ke arah sungai Mentaya. Perluasan itu akan memakan tanah yang terdapat rumah Kai Jungkir.

Baca Juga :  Keteladan sang Kiai Menginspirasi Generasi Muda

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/