Malam berlarut hingga pukul 01.00 Wib dini hari. Kenyang kudapan, kopi, teh dan anding, istirahat menjadi sangat nikmat meski pukul 05.00 WIB harus bangun untuk mendokumentasikan tugu katulistiwa, yang jaraknya hanya sekitar 1km saja.
Kontinuitas angka 7 berlanjut. Rombongan mencoba membuat foto, video dan narasi tentang potensi wisata. Air Terjun Bumbun atau Cahai Bumbun tingkat 7 menjadi pilihan mulai kegiatan.
Sejak di Betang Tumbang Apat 1897, ritual setiap tempat dilakukan sebelum mengambil gambar.
“Kita membawa 7 telor untuk memohon izin dan menghormati leluhur,” ucap Seniman dan Budayawan Kalteng Althur Malik, sesaat sebelum menari Mandau dan topeng di bawah Air Terjun Bumbun tingkat 7.
Panas terik dan cerahnya hari tak dirasakan lagi. Segarnya air membuat siapa saja ingin menceburkan dirinya. Ya. Mandi pilihan utama para kameramen dan rombongan.
Persiapan menuju lokasi terakhir dijadwalkan pukul 15.00 WIB. Semakin siang semakin baik, lantaran lokasinya di tengah hutan yang sulit tertembus cahaya sore untuk keperluan dokumentasi.
Namun, lokasi yang sangat sakral dan sarat mistis itu, sepertinya belum saatnya dibuka untuk masyarakat umum. Rombongan justru seperti dituntun ke sana malam. Diawali menggunakan mobil melintasi Sungai Murung dan Sungai Joloi, dilanjutkan jalan kaki tepat saat peralihan siang ke malam.
Akhir cerita perjalanan di kaki Gunung Bondang itu tak mudah diceritakan. Pastinya, sulit diterima siapa saja.
Anggap saja bentuknya seperti koloseum. Sebagai pusat kegiatan dengan model atau pola (arketipe) dan skrip kebudayaan yang ditinggalkan sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894.