Kamis, April 17, 2025
24.2 C
Palangkaraya

Alfi Aulia Al Madani, Hafal 30 Juz Al-Qur’an, Hadiahkan Mahkota Cahaya

DI balik layar televisi, saat matanya terpaku pada acara Hafiz Indonesia, Alfi kecil mendengar sebuah hadis yang menggetarkan hatinya: “Orang tua dari penghafal Al-Qur’an akan dikenakan mahkota yang cahayanya lebih terang dari cahaya matahari dan diberi jubah kemuliaan pada hari kiamat.”

Sejak hari itu, hari di mana Alfi mendengar hadis yang menggetarkan hatinya, benih semangat untuk menghafal Al-Qur’an tumbuh kuat di hatinya.

“Waktu itu saya masih SD, nonton acara Hafiz Indonesia. Saya lihat anak-anak kecil yang fasih sekali membaca Al-Qur’an.

Lalu saya dengar hadis itu, dan langsung terbayang ingin menghadiahkan mahkota cahaya untuk kedua orang tua saya,” ceritanya pada Kalteng Pos, Rabu (3/4/2025).

Perjalanan itu tidak langsung dimulai di pesantren besar.

Justru saat duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar (SD), Alfi bergabung dengan sebuah rumah tahfiz sederhana di Sampit, Kotawaringin Timur (Kotim).

Tempat itu menjadi gerbang awalnya menghafal ayat demi ayat Kalamullah.

Tidak mudah, tetapi semangatnya tak pernah padam.

Setelah lulus SD, Alfi mengambil keputusan besar, yakni melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren (Ponpes) Alwafa di Kota Palangka Raya dan tinggal jauh dari orang tuanya.

Di ponpes inilah proses menghafalnya benar-benar terakselerasi.

Selama 2,5 tahun, ia menyelesaikan hafalan 30 juz dengan konsistensi, kedisiplinan, dan pemahaman yang mendalam.

Baca Juga :  Mengenal Srikandi DPRD Kalteng Hj Faridawaty Darlan Atjeh

“Jadi total waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan hafalan 30 juz sekitar 3,5 tahun.

Dua tahun setengah di pondok, dan setahun sebelumnya di rumah tahfiz,” jelasnya.

Berbeda dari metode pengulangan atau mendengarkan murotal yang biasa digunakan banyak santri, Alfi memilih jalan yang lebih ilmiah dan kontekstual.

Ia tidak mengandalkan hafalan semata, tetapi pemahaman akan makna.

“Tidak ada metode khusus sebenarnya, tetapi saya merasa sangat terbantu dengan pelajaran Nahwu dan Sharaf yang kami pelajari di pondok.

Saya jadi lebih mudah menghafal karena memahami struktur kalimat, makna kata, bahkan isi cerita,” katanya.

Dari kisah para nabi, ayat-ayat hukum, hingga perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an, semuanya menjadi lebih mudah diingat ketika memahami konteksnya.

Saat ditanya bagian tersulit dari proses tahfiz, lelaki asal Sampit itu menjawab dengan tenang.

“Bukan saat menghafalnya. Yang paling menantang itu justru menjaga hafalan,” tuturnya.

Kini, Alfi tengah menempuh pendidikan tinggi.

Dengan kesibukan kuliah dan tugas-tugas kampus yang padat, ia dituntut bisa membagi waktu untuk murajaah (mengulang hafalan) dan menjaga hafalan sebaik mungkin.

“Kalau tidak diulang terus, pasti pelan-pelan akan hilang.

Tantangannya besar, apalagi sekarang sudah kuliah. Saya berusaha untuk tetap menyisihkan waktu,” ujarnya.

Baca Juga :  Cetak Penghafal Al-Qur’an, Tiap Subuh Santri Wajib Setor Hafalan

Perjalanan menjadi hafiz tentu tidak terlepas dari dukungan keluarga.

Alfi tumbuh di lingkungan yang tidak berlatar belakang pesantren, tetapi penuh cinta dari orang tuanya.

Sang ayah yang telah wafat dan ibu adalah penyokong utama semangatnya.

“Saya masih ingat, saat saya berhasil mengkhatamkan hafalan dan menerima sanad Al-Qur’an, ibu dan almarhum ayah menangis.

Tangis haru, bangga, dan syukur. Itu momen yang tidak akan pernah saya lupakan,” ungkapnya.

Hafalan Al-Qur’an justru menjadi jalan pembuka rezeki lelaki kelahiran 2003 itu di masa depan.

Bukan hanya dari sisi spiritual, tetapi juga secara sosial dan akademik.

“Salah satu alasan saya bisa kuliah adalah karena saya penghafal Al-Qur’an. Banyak relasi yang terjalin, karena orang mengenal saya dari hafalan ini.

Itu manfaat besar yang saya rasakan,” ucapnya.

Sebagai hafiz, Alfi tidak berhenti pada target hafalan semata. Ia ingin lebih dalam menyelami isi Al-Qur’an, bukan hanya dari sisi agama, tetapi juga dari perspektif keilmuan umum.

“Saya ingin mempelajari Al-Qur’an dari sisi sains, sastra, dan bahasa, karena saya percaya Al-Qur’an bukan hanya petunjuk hidup secara spiritual, tetapi juga sumber ilmu yang luar biasa luas,” pungkasnya. (*/ce/ala)

DI balik layar televisi, saat matanya terpaku pada acara Hafiz Indonesia, Alfi kecil mendengar sebuah hadis yang menggetarkan hatinya: “Orang tua dari penghafal Al-Qur’an akan dikenakan mahkota yang cahayanya lebih terang dari cahaya matahari dan diberi jubah kemuliaan pada hari kiamat.”

Sejak hari itu, hari di mana Alfi mendengar hadis yang menggetarkan hatinya, benih semangat untuk menghafal Al-Qur’an tumbuh kuat di hatinya.

“Waktu itu saya masih SD, nonton acara Hafiz Indonesia. Saya lihat anak-anak kecil yang fasih sekali membaca Al-Qur’an.

Lalu saya dengar hadis itu, dan langsung terbayang ingin menghadiahkan mahkota cahaya untuk kedua orang tua saya,” ceritanya pada Kalteng Pos, Rabu (3/4/2025).

Perjalanan itu tidak langsung dimulai di pesantren besar.

Justru saat duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar (SD), Alfi bergabung dengan sebuah rumah tahfiz sederhana di Sampit, Kotawaringin Timur (Kotim).

Tempat itu menjadi gerbang awalnya menghafal ayat demi ayat Kalamullah.

Tidak mudah, tetapi semangatnya tak pernah padam.

Setelah lulus SD, Alfi mengambil keputusan besar, yakni melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren (Ponpes) Alwafa di Kota Palangka Raya dan tinggal jauh dari orang tuanya.

Di ponpes inilah proses menghafalnya benar-benar terakselerasi.

Selama 2,5 tahun, ia menyelesaikan hafalan 30 juz dengan konsistensi, kedisiplinan, dan pemahaman yang mendalam.

Baca Juga :  Mengenal Srikandi DPRD Kalteng Hj Faridawaty Darlan Atjeh

“Jadi total waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan hafalan 30 juz sekitar 3,5 tahun.

Dua tahun setengah di pondok, dan setahun sebelumnya di rumah tahfiz,” jelasnya.

Berbeda dari metode pengulangan atau mendengarkan murotal yang biasa digunakan banyak santri, Alfi memilih jalan yang lebih ilmiah dan kontekstual.

Ia tidak mengandalkan hafalan semata, tetapi pemahaman akan makna.

“Tidak ada metode khusus sebenarnya, tetapi saya merasa sangat terbantu dengan pelajaran Nahwu dan Sharaf yang kami pelajari di pondok.

Saya jadi lebih mudah menghafal karena memahami struktur kalimat, makna kata, bahkan isi cerita,” katanya.

Dari kisah para nabi, ayat-ayat hukum, hingga perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an, semuanya menjadi lebih mudah diingat ketika memahami konteksnya.

Saat ditanya bagian tersulit dari proses tahfiz, lelaki asal Sampit itu menjawab dengan tenang.

“Bukan saat menghafalnya. Yang paling menantang itu justru menjaga hafalan,” tuturnya.

Kini, Alfi tengah menempuh pendidikan tinggi.

Dengan kesibukan kuliah dan tugas-tugas kampus yang padat, ia dituntut bisa membagi waktu untuk murajaah (mengulang hafalan) dan menjaga hafalan sebaik mungkin.

“Kalau tidak diulang terus, pasti pelan-pelan akan hilang.

Tantangannya besar, apalagi sekarang sudah kuliah. Saya berusaha untuk tetap menyisihkan waktu,” ujarnya.

Baca Juga :  Cetak Penghafal Al-Qur’an, Tiap Subuh Santri Wajib Setor Hafalan

Perjalanan menjadi hafiz tentu tidak terlepas dari dukungan keluarga.

Alfi tumbuh di lingkungan yang tidak berlatar belakang pesantren, tetapi penuh cinta dari orang tuanya.

Sang ayah yang telah wafat dan ibu adalah penyokong utama semangatnya.

“Saya masih ingat, saat saya berhasil mengkhatamkan hafalan dan menerima sanad Al-Qur’an, ibu dan almarhum ayah menangis.

Tangis haru, bangga, dan syukur. Itu momen yang tidak akan pernah saya lupakan,” ungkapnya.

Hafalan Al-Qur’an justru menjadi jalan pembuka rezeki lelaki kelahiran 2003 itu di masa depan.

Bukan hanya dari sisi spiritual, tetapi juga secara sosial dan akademik.

“Salah satu alasan saya bisa kuliah adalah karena saya penghafal Al-Qur’an. Banyak relasi yang terjalin, karena orang mengenal saya dari hafalan ini.

Itu manfaat besar yang saya rasakan,” ucapnya.

Sebagai hafiz, Alfi tidak berhenti pada target hafalan semata. Ia ingin lebih dalam menyelami isi Al-Qur’an, bukan hanya dari sisi agama, tetapi juga dari perspektif keilmuan umum.

“Saya ingin mempelajari Al-Qur’an dari sisi sains, sastra, dan bahasa, karena saya percaya Al-Qur’an bukan hanya petunjuk hidup secara spiritual, tetapi juga sumber ilmu yang luar biasa luas,” pungkasnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/