Di tengah hiruk-pikuk kehidupan remaja yang lekat dengan dunia digital, Alif Aulia Al Madani memilih jalan sunyi yang penuh keberkahan. Pemuda yang kini menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya ini, berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz Al-Qur’an.
DHEA UMILATI, Palangka Raya
KISAHNYA bermula tanpa rencana besar. Hanya niat sederhana untuk memperbaiki bacaan Al-Qur’an. “Awalnya cuman mau ngaji biasa aja, untuk membetulkan bacaan. Kebetulan ada tempat tahfiz dekat rumah, ya sudah sekalian belajar ngaji dan menghafal,” ujar Alif saat ditemui di sela-sela kegiatannya.
Langkah kecil di rumah tahfiz yang dimasukinya saat kelas 5 sekolah dasar (SD) itu, ternyata menjadi pintu menuju perjalanan luar biasa. Di tempat itu ia mulai mengenal juz ‘amma. Lambat laun hafalan tumbuh dari niat tulus dan ketekunan. Fokus utamanya untuk menghafal Al-Qur’an baru dimulai serius setelah lulus SD, ketika ia masuk ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP).
“Tepatnya kelas satu SMP mulai fokus, dan alhamdulillah selesai pas awal kelas tiga SMP,” ungkapnya.
Inspirasi dalam menghafal pun tak datang sejak awal. Alif mengaku, ketika kecil ia tidak tahu siapa saja tokoh penghafal Al-Qur’an. Namun seiring waktu, ia mulai mengenal nama-nama besar dalam sejarah Islam yang hafal Al-Qur’an, seperti Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.
“Itu bikin saya makin termotivasi. Ternyata banyak ulama hebat itu merupakan hafiz,” katanya.
Dalam proses menghafal, Alif memegang prinsip penting, memperbaiki bacaan terlebih dahulu. Ia menekankan, tajwid yang baik akan membuat hafalan terasa lebih mudah.
“Kalau lidah udah biasa dan bacaan udah benar, menghafalnya lebih lancar. Kalau bacaan masih kaku, nanti hafalannya juga sulit masuk ke otak,” jelasnya.
Metode hafalannya sederhana, tetapi efektif. Ia membaca satu ayat beberapa kali, bahkan lebih dari tiga kali jika perlu, hingga benar-benar hafal. Ayat tersebut tidak akan ditinggalkan sampai benar-benar melekat dalam ingatannya. Setelah hafal satu ayat, dilanjutkan ke ayat berikutnya, lalu diulang dari awal agar sambungannya tidak terputus.
Bagi lelaki asal Sampit ini, tantangan sesungguhnya bukanlah saat menambah hafalan, melainkan saat menjaga hafalan yang sudah ada.
“Kalau satu juz itu gampang diulang, tetapi kalau sudah sepuluh juz, lima belas juz, makin berat. Biasanya yang kuat itu bagian awal hafalan, kayak juz 1 sampai 5. Sisanya sering lebih lemah kalau enggak rajin murajaah,” ungkapnya.
Perjalanannya dalam menghafal Al-Qur’an tentu tidak bisa lepas dari peran keluarga. Orang tua dan pamannya menjadi penopang utama, baik secara morel maupun materiel.
“Saya bisa masuk rumah tahfiz dan pesantren juga karena dorongan keluarga. Mereka yang paling berperan,” tuturnya.
Bagi Alif, menjadi hafiz bukan hanya tentang mengingat Al-Qur’an, tetapi juga tentang membentuk karakter. Ia merasa, hafalan membuatnya lebih mudah memahami berbagai pelajaran. Meski ia mengakui tidak semua hafiz otomatis cerdas dalam semua bidang, tetapi umumnya daya ingat dan pemahaman lebih baik.
“Biasanya kalau dijelasin sesuatu yang baru, cepat paham. Namun, tergantung juga sih orangnya,” imbuhnya.
Saat menyelesaikan hafalan, Alif sempat menyimpan harapan besar, yakni kuliah di luar negeri.
“Saya pengen banget kuliah di Mesir atau Yaman, tetapi karena keadaan ekonomi keluarga belum mendukung, akhirnya enggak jadi. Waktu itu negara Yaman pun lagi rusuh, jadi ayah saya enggak ngizinin,” kenangnya.
Kini, Alif melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa Program Khusus Ulama (PKU) di IAIN Palangka Raya untuk menjaga hafalannya, sembari menyiapkan masa depan. Meski jalannya mungkin tidak selalu mulus, ia percaya bahwa Al-Qur’an akan selalu menjadi cahaya penuntun hidupnya.
“Yang penting niatnya lurus. Hafal Al-Qur’an itu bukan soal cepat atau lambat, tetapi soal konsistensi. Yang paling susah justru mempertahankan hafalan, bukan menambah,” pungkasnya. (*/ce/ala)