Jumat, Oktober 18, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Bincang-Bincang dengan Owner Kedai Itah, Frederika Paembonan

Peduli Lingkungan, Kembangkan Bisnis Konsep Permakultur

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah terencana dari Tuhan. Seperti perjalanan hidup Frederika Paembonan. Bule asal Australia itu akhirnya memutuskan menetap di Palangka Raya. Kisah yang dimulai dari “Saya jatuh cinta dengan musik itu, ternyata gamelan Sunda.”

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

GAMELAN degung, alat musik khas Sunda, menjadi cikal bakal perjalanan hidup Frederika Paembonan di Indonesia. Meski gamelan menjadi alasannya, meski Bandung menjadi tujuan utamanya, ternyata jalan hidup menuntun Frederika ke Palangka Raya.

“Saya jatuh cinta dengan musik itu.” Itulah kalimat pertama yang terbesit dalam hatinya saat pertama kali mendengarkan suara gamelan degung dimainkan di Melbourne, Australia.

Mereka (pemain gamelan, red) komunitas di Melbourne yang sering memainkan alat musik gamelan degung. Banyak diminati oleh warga lokal. Tidak terkecuali Frederika. Berbeda dengan penikmat lainnya yang rata-rata sudah berkeluarga dan memiliki anak, hanya Frederika yang masih muda. Berusia 19 tahun.

“Saat mendengar alunan musik dari gamelan itu, terbesit dalam hati saya, saya ingin tahu musik itu. Oh ternyata alat musik gamelan degung. Saya ingin memainkan musik itu, saya ingin datang ke negara pemilik alat musik itu, saya ingin bertemu dengan orang-orang dari negara yang memainkan itu. Entah mengapa, tiba-tiba saja berpikir seperti itu,” kata Frederika saat dibincangi dalam program Podcast Ruang Redaksi Kalteng Pos di kediamannya, Kedai Itah, Kelurahan Tangkiling, Jalan Tjilik Riwut Km 36, Palangka Raya.

Susah menjelaskan alasan Frederika jatuh cinta dengan gamelan degung. “I don’t know. Gamelan degung itu terdengar sangat tenang, ringan, tu..tu..tu…tu..tu..tu..,” katanya, mencoba menirukan suara yang ia dengar kala itu.

Setelah mendengar pertama kali, ketagihan. Ia pun bergabung dengan komunitas memainkan gamelan degung dan menjadikan itu sebagai hobi. Suatu saat, ada warga lokal Melbourne kembali dari Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan di Indonesia melalui program beasiswa, khusus belajar budaya Indonesia. Ia pun tertarik dan mencoba.

“Teman-teman saya mendorong agar saya mengikuti program beasiswa itu. Wah ini kesempatan buat saya belajar alat musik gamelan degung. Akhirnya saya mencoba mendaftar program itu,” ujarnya.

Indonesia, menurut dia, negara tetangga Australia yang memang harus dikenal oleh mereka. Bahkan sistem pendidikan di sana memperkenalkan Indonesia sebagai tetangga mereka kepada para anak-anak didik. Bahkan, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua yang banyak digunakan di sekolah-sekolah di sana.

“Budaya Indonesia dikenalkan melalui pendidikan di Australia,” tuturnya.

Memilih Bandung dan menempuh pendidikan di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung. Sesuai dengan tujuannya, belajar gamelan degung. Tetapi tidak hanya itu, selama satu tahun pendidikan, ia mempelajari berbagai macam kesenian Sunda, seperti suling, kendang, rebab, hingga nyanyi.

Baca Juga :  Mantap Masuk Fakultas Kedokteran setelah Dirawat di Rumah Sakit

“Tetapi, setelah saya datang ke Indonesia, fokus saya jadi berubah. Saya tidak hanya fokus belajar kesenian Sunda, tetapi juga belajar bagaimana kehidupan sosial, hingga bertemu dengan satu sosok pria, suami saya saat ini,” ucapnya.

Pria itu, Jayadi Paembonan. Pria asal Makassar dengan marga Paembonan. Keluarganya pindah ke Jayapura. Begitu dengan Jayadi. Merantau ke Bandung untuk menempuh pendidikan. Di sana lah, pertemuan pertama Frederika dan Jayadi.

“Kita satu kelompok teman, komunitas seni budaya. Kita jadi teman, hingga tumbuh rasa cinta,” kata dia.

Dia banyak senyum (Jayadi, red). Dia bilang “Aku punya feeling bahwa kamu (Frederika, red) adalah istri saya,” kata Frederika, menceritakan awal mula pertemuannya dengan sang suami.

Namun, saat itu Frederika masih dalam tahap adaptasi dengan kehidupan dan kebiasaan baru di Bandung. Tidak tahu utara dan selatan. “Akhirnya saya coba mengenal. Setahun kemudian, tepatnya pada Januari 2005, kami menikah di Bandung. Digelar sederhana dan dihadiri kerabat,” ceritanya, mencoba mengingat kembali kenangan pernikahannya.

Frederika, bule asal Australia itu akhirnya mendapat gelar marga suami, Paembonan. Kini ia lebih dikenal dengan nama Frederika Paembonan.

Setahun sebelum pernikahannya, itulah pertama kalinya Frederika menginjakkan kaki di Palangka Raya. Saat itu ia datang karena diajak temannya. Lagi-lagi ia jatuh cinta dengan Indonesia. Kali ini jatuh cinta dengan Palangka Raya. “Saya sudah ada perasaan dalam hati, taruh bibit di dalam hati, bahwa saya mau tinggal di sini,” ucapnya dalam hati.

“Setelah menikah, kami memutuskan tinggal di Australia. Menikah pada Januari 2005 dan pulang ke Australia pada Agustus 2005,” katanya.

Lima tahun di Australia, tahun 2010 ia datang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan temannya di Jakarta. Teringat dengan Palangka Raya, ia mengajak suami terbang dari Jakarta ke Palangka Raya.

“Eh, ternyata suami saya senang di sini (Palangka Raya,red). Katanya di Palangka Raya nyaman, ada rasa alam. Meski kami belum siap tinggal di Palangka Raya saat itu, tetapi sudah menanamkan bibit dalam hati suami, bahwa nanti ayo kita tinggal di sini,” kisahnya.

Mereka pun kembali ke Australia. Genap delapan tahun, tepatnya pada 2014, mereka berangkat dari Australia menuju Palangka Raya. Mencoba menumbuhkan bibit yang sudah ditanam sepuluh tahun lalu. Memantapkan hati tinggal di Kota Cantik.

Baca Juga :  Jerih Payah Membangun Studio Foto Sederhana

“Saat itu, di sini (tempatnya saat ini, red) tanahnya tandus, tidak ada pohon. Petani lokal pun menggunakan pupuk kimia,” singkatnya.

Membawa ilmu yang sudah mereka pelajari selama di Australia, permakultur. Mereka mendirikan Yayasan Permakultur dengan membuat kebun percontohan. Bagaimana bisa panen dari kebun sendiri, bermanfaat baik untuk ekosistem sekitar, manusia, tumbuhan, dan binatang.

Lima tahun yayasan berdiri. Mereka berinisiatif membuka kedai sesuai konsep permakultur yang saat ini dikenal dengan nama Kedai Itah. Kedai itu mengenalkan konsep ramah lingkungan dalam bisnisnya. Beberapa makanan yang disajikan kepada konsumen dipanen dari kebun sendiri, seperti kelapa muda, teh bunga telang, susu cincau, hingga brownis yang minyak kelapanya mereka panen dan olah dari kebun sendiri.

Makanan yang disajikan juga vibes lokal, seperti nasi jagung, nasi pecel, hingga nasi tiwul. Disajikan dengan daun pisang beralaskan piring rotan yang diproduksi warga lokal. Minuman yang disajikan juga tidak menggunakan gelas dan sedotan plastik. Sedotannya dari purun dan gelas kaca atau botol pribadi.

Menjadi sosok peduli lingkungan. Menurutnya, kapan pun dan di mana pun, menjaga alam menjadi tanggung jawab bersama. “Apalagi di Kalimantan, penting kita jaga karena Kalimantan ini sebagai salah satu paru-paru dunia, permakultur sangat nyambung dengan kearifan lokal,” jelas ibu empat anak itu.

Memiliki ibu dan ayah yang berlatar belakang pendidikan seni, sepertinya turun ke anaknya. Putri pertamanya, saat ini tengah menempuh pendidikan (kuliah, red) di Melbourne. Bergabung dengan komunitas menari Dayak. Beberapa kali anaknya turut menampilkan tarian Dayak. Juga sebagai salah satu upaya mengenalkan kesenian Dayak di level internasional.

“Kalau saya sih tidak bisa menari. Mungkin bakatnya diturunkan dari ayahnya sebagai pemain teater yang juga harus bisa menari,” ungkapnya.

Anak pertama dan kedua lahir di Australia sebelum Frederika dan suaminya pindah ke Palangka Raya. Anak ketiga harusnya lahir di Palangka Raya. Namun karena saat itu terjadi bencana kabut asap kebakaran hutan (2015), mereka kembali ke Australia. Anak terakhir saat ini masih PAUD. Hanya dia yang lahir di Indonesia, 17 Agustus. Indonesia banget.

“Pokoknya dari perjalanan panjang saya mulai dari masih muda hingga ke Indonesia, menikah dengan orang Indonesia, tinggal di Palangka Raya, hingga memiliki empat orang anak, semua berawal dari saya mendengarkan musik gamelan degung,” tutupnya. (*/ce/ala)

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua sudah terencana dari Tuhan. Seperti perjalanan hidup Frederika Paembonan. Bule asal Australia itu akhirnya memutuskan menetap di Palangka Raya. Kisah yang dimulai dari “Saya jatuh cinta dengan musik itu, ternyata gamelan Sunda.”

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

GAMELAN degung, alat musik khas Sunda, menjadi cikal bakal perjalanan hidup Frederika Paembonan di Indonesia. Meski gamelan menjadi alasannya, meski Bandung menjadi tujuan utamanya, ternyata jalan hidup menuntun Frederika ke Palangka Raya.

“Saya jatuh cinta dengan musik itu.” Itulah kalimat pertama yang terbesit dalam hatinya saat pertama kali mendengarkan suara gamelan degung dimainkan di Melbourne, Australia.

Mereka (pemain gamelan, red) komunitas di Melbourne yang sering memainkan alat musik gamelan degung. Banyak diminati oleh warga lokal. Tidak terkecuali Frederika. Berbeda dengan penikmat lainnya yang rata-rata sudah berkeluarga dan memiliki anak, hanya Frederika yang masih muda. Berusia 19 tahun.

“Saat mendengar alunan musik dari gamelan itu, terbesit dalam hati saya, saya ingin tahu musik itu. Oh ternyata alat musik gamelan degung. Saya ingin memainkan musik itu, saya ingin datang ke negara pemilik alat musik itu, saya ingin bertemu dengan orang-orang dari negara yang memainkan itu. Entah mengapa, tiba-tiba saja berpikir seperti itu,” kata Frederika saat dibincangi dalam program Podcast Ruang Redaksi Kalteng Pos di kediamannya, Kedai Itah, Kelurahan Tangkiling, Jalan Tjilik Riwut Km 36, Palangka Raya.

Susah menjelaskan alasan Frederika jatuh cinta dengan gamelan degung. “I don’t know. Gamelan degung itu terdengar sangat tenang, ringan, tu..tu..tu…tu..tu..tu..,” katanya, mencoba menirukan suara yang ia dengar kala itu.

Setelah mendengar pertama kali, ketagihan. Ia pun bergabung dengan komunitas memainkan gamelan degung dan menjadikan itu sebagai hobi. Suatu saat, ada warga lokal Melbourne kembali dari Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan di Indonesia melalui program beasiswa, khusus belajar budaya Indonesia. Ia pun tertarik dan mencoba.

“Teman-teman saya mendorong agar saya mengikuti program beasiswa itu. Wah ini kesempatan buat saya belajar alat musik gamelan degung. Akhirnya saya mencoba mendaftar program itu,” ujarnya.

Indonesia, menurut dia, negara tetangga Australia yang memang harus dikenal oleh mereka. Bahkan sistem pendidikan di sana memperkenalkan Indonesia sebagai tetangga mereka kepada para anak-anak didik. Bahkan, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua yang banyak digunakan di sekolah-sekolah di sana.

“Budaya Indonesia dikenalkan melalui pendidikan di Australia,” tuturnya.

Memilih Bandung dan menempuh pendidikan di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung. Sesuai dengan tujuannya, belajar gamelan degung. Tetapi tidak hanya itu, selama satu tahun pendidikan, ia mempelajari berbagai macam kesenian Sunda, seperti suling, kendang, rebab, hingga nyanyi.

Baca Juga :  Mantap Masuk Fakultas Kedokteran setelah Dirawat di Rumah Sakit

“Tetapi, setelah saya datang ke Indonesia, fokus saya jadi berubah. Saya tidak hanya fokus belajar kesenian Sunda, tetapi juga belajar bagaimana kehidupan sosial, hingga bertemu dengan satu sosok pria, suami saya saat ini,” ucapnya.

Pria itu, Jayadi Paembonan. Pria asal Makassar dengan marga Paembonan. Keluarganya pindah ke Jayapura. Begitu dengan Jayadi. Merantau ke Bandung untuk menempuh pendidikan. Di sana lah, pertemuan pertama Frederika dan Jayadi.

“Kita satu kelompok teman, komunitas seni budaya. Kita jadi teman, hingga tumbuh rasa cinta,” kata dia.

Dia banyak senyum (Jayadi, red). Dia bilang “Aku punya feeling bahwa kamu (Frederika, red) adalah istri saya,” kata Frederika, menceritakan awal mula pertemuannya dengan sang suami.

Namun, saat itu Frederika masih dalam tahap adaptasi dengan kehidupan dan kebiasaan baru di Bandung. Tidak tahu utara dan selatan. “Akhirnya saya coba mengenal. Setahun kemudian, tepatnya pada Januari 2005, kami menikah di Bandung. Digelar sederhana dan dihadiri kerabat,” ceritanya, mencoba mengingat kembali kenangan pernikahannya.

Frederika, bule asal Australia itu akhirnya mendapat gelar marga suami, Paembonan. Kini ia lebih dikenal dengan nama Frederika Paembonan.

Setahun sebelum pernikahannya, itulah pertama kalinya Frederika menginjakkan kaki di Palangka Raya. Saat itu ia datang karena diajak temannya. Lagi-lagi ia jatuh cinta dengan Indonesia. Kali ini jatuh cinta dengan Palangka Raya. “Saya sudah ada perasaan dalam hati, taruh bibit di dalam hati, bahwa saya mau tinggal di sini,” ucapnya dalam hati.

“Setelah menikah, kami memutuskan tinggal di Australia. Menikah pada Januari 2005 dan pulang ke Australia pada Agustus 2005,” katanya.

Lima tahun di Australia, tahun 2010 ia datang ke Indonesia untuk menghadiri pernikahan temannya di Jakarta. Teringat dengan Palangka Raya, ia mengajak suami terbang dari Jakarta ke Palangka Raya.

“Eh, ternyata suami saya senang di sini (Palangka Raya,red). Katanya di Palangka Raya nyaman, ada rasa alam. Meski kami belum siap tinggal di Palangka Raya saat itu, tetapi sudah menanamkan bibit dalam hati suami, bahwa nanti ayo kita tinggal di sini,” kisahnya.

Mereka pun kembali ke Australia. Genap delapan tahun, tepatnya pada 2014, mereka berangkat dari Australia menuju Palangka Raya. Mencoba menumbuhkan bibit yang sudah ditanam sepuluh tahun lalu. Memantapkan hati tinggal di Kota Cantik.

Baca Juga :  Jerih Payah Membangun Studio Foto Sederhana

“Saat itu, di sini (tempatnya saat ini, red) tanahnya tandus, tidak ada pohon. Petani lokal pun menggunakan pupuk kimia,” singkatnya.

Membawa ilmu yang sudah mereka pelajari selama di Australia, permakultur. Mereka mendirikan Yayasan Permakultur dengan membuat kebun percontohan. Bagaimana bisa panen dari kebun sendiri, bermanfaat baik untuk ekosistem sekitar, manusia, tumbuhan, dan binatang.

Lima tahun yayasan berdiri. Mereka berinisiatif membuka kedai sesuai konsep permakultur yang saat ini dikenal dengan nama Kedai Itah. Kedai itu mengenalkan konsep ramah lingkungan dalam bisnisnya. Beberapa makanan yang disajikan kepada konsumen dipanen dari kebun sendiri, seperti kelapa muda, teh bunga telang, susu cincau, hingga brownis yang minyak kelapanya mereka panen dan olah dari kebun sendiri.

Makanan yang disajikan juga vibes lokal, seperti nasi jagung, nasi pecel, hingga nasi tiwul. Disajikan dengan daun pisang beralaskan piring rotan yang diproduksi warga lokal. Minuman yang disajikan juga tidak menggunakan gelas dan sedotan plastik. Sedotannya dari purun dan gelas kaca atau botol pribadi.

Menjadi sosok peduli lingkungan. Menurutnya, kapan pun dan di mana pun, menjaga alam menjadi tanggung jawab bersama. “Apalagi di Kalimantan, penting kita jaga karena Kalimantan ini sebagai salah satu paru-paru dunia, permakultur sangat nyambung dengan kearifan lokal,” jelas ibu empat anak itu.

Memiliki ibu dan ayah yang berlatar belakang pendidikan seni, sepertinya turun ke anaknya. Putri pertamanya, saat ini tengah menempuh pendidikan (kuliah, red) di Melbourne. Bergabung dengan komunitas menari Dayak. Beberapa kali anaknya turut menampilkan tarian Dayak. Juga sebagai salah satu upaya mengenalkan kesenian Dayak di level internasional.

“Kalau saya sih tidak bisa menari. Mungkin bakatnya diturunkan dari ayahnya sebagai pemain teater yang juga harus bisa menari,” ungkapnya.

Anak pertama dan kedua lahir di Australia sebelum Frederika dan suaminya pindah ke Palangka Raya. Anak ketiga harusnya lahir di Palangka Raya. Namun karena saat itu terjadi bencana kabut asap kebakaran hutan (2015), mereka kembali ke Australia. Anak terakhir saat ini masih PAUD. Hanya dia yang lahir di Indonesia, 17 Agustus. Indonesia banget.

“Pokoknya dari perjalanan panjang saya mulai dari masih muda hingga ke Indonesia, menikah dengan orang Indonesia, tinggal di Palangka Raya, hingga memiliki empat orang anak, semua berawal dari saya mendengarkan musik gamelan degung,” tutupnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/