Jumat, September 20, 2024
22.8 C
Palangkaraya

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Palangka Raya

Akar Budaya Berladang Bawi Dayak Mulai Tergerus

Kondisi ini membuat Remi dan perempuan Dayak lainnya prihatin untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Terbentuknya pola pikir generasi muda yang demikian lambat laun dapat mengubah pola hidup efektif yang selama ini mengakar kuat, yakni mengonsumsi pangan hasil hutan. Perlahan akan menggeser pangan lokal, menghapus budaya yang sudah mengakar ratusan tahun.

“Saya berharap pemerintah bisa melihat masyarakatnya yang tertindas, karena banyak yang hilang dampak dari kebijakan yang diambil selama ini, seperti budaya, kearifan lokal, semua itu hampir hilang. Harapan kami, pemerintah bisa melihat dan menanggapi apa yang kami rasakan saat ini, kearifan lokal kami akan benar-benar hilang, karena kami sangat dekat dengan hutan dan alam, karena hutan adalah sumber penghidupan kami,” jelasnya.

 

 

Hilangnya Tradisi Manugal

 

 

Terbesit di dalam pikiran Remi untuk kembali berladang atau manugal. Bagi Remi, berladang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan. Melalui kegiatan itu juga tercipta hubungan yang baik antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

“Harapan kami bisa kembali berladang di hutan, di sana kami berladang, berbincang ramai dengan sesama, bergotong-royong,” tuturnya.

Dalam kehidupan bawi Dayak di Bumi Tambun Bungai, hutan dan ladang merupakan tempat mengais pangan demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sayangnya, aktivitas itu sudah tidak bisa dilakukan dengan maksimal, dampak masuknya proyek-proyek korporasi. Ekosistem terganggu akibat izin-izin konsesi. Tak ayal pertumbuhan pangan pun ikut terganggu.

Mardiana D Dana adalah satu dari sekian banyak perempuan Dayak Ma’anyan yang merasakan dampaknya. Wanita asal Barito Timur (Bartim) itu mengungkapkan bahwa aktivitas berladang dan mencari tanaman di hutan tidak bisa dilakukan karena keberadaan perusahaan-perusahaan yang dekat dengan permukiman warga.

Wanita berusia 64 tahun itu menyebut, dengan adanya aktivitas perusahaan sawit dan batu bara, ruang gerak masyarakat lokal makin sempit. Ditambah lagi adanya larangan membakar lahan yang ditetapkan pemerintah tiga tahun terakhir, makin menghambat mereka mewujudkan kemandirian pangan.

Baca Juga :  Resep Bumbu Ikan Basamu Didapat Turun Temurun

Menurut perempuan yang aktif menyuarakan hak masyarakat adat itu, mindset pemerintah perihal membakar lahan salah kaprah. Dikatakannya, kegiatan berladang yang dilakukan dengan membakar sebagian hutan, sejatinya bukan bermaksud membakar hutan, melainkan membersihkan lahan bertani.

“Kalau kami tidak bisa berladang, maukah pemerintah menyiapkan jatah hidup kami seperti beras tiap bulan, tiap KK kan beda-beda. Kami sangat keberatan kalau dibilang merusak hutan, sementara kami sendiri merawat dan memelihara hutan yang ada,” tuturnya.

Perempuan asal Desa Gunung Karasik, Bartim itu mengaku kecewa dengan pemerintah yang telah mengklaim wilayah hutan mereka dengan berbagai status, seperti kawasan hutan, hutan lindung, dan lain-lain. Masyarakat asli Dayak begitu menghormati alam. Menghargai alam sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang eksistensinya bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dihargai dan dijaga.

 

 

Varietas Padi Lokal Mulai Lenyap

 

 

Perempuan dan ketahanan pangan keluarga sangat berkaitan erat. Sebab, tulang punggung pangan keluarga dipikul oleh mereka. Perempuan punya peranan penting dalam mewujudkan itu. Menurut Juru Advokasi Kampanye Palangkaraya Ecological & Human Right Studies (Progress) Kalteng Suari Rosalia, perempuan dan kedaulatan pangan punya kaitan erat. Baik yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan, yang paling pertama berdampak langsung adalah perempuan.

“Perempuan dalam anggapan masyarakat kan kerap berkaitan dengan ranah domestik, seperti dapur, sumur, kasur, banyak yang mindset-nya seperti itu. Relevan dengan itu, pangan-pangan lokal di Kalteng itu sudah menipis, benih-benih lokal hilang, perempuan sangat berhubungan erat di sini, dengan makin hilangnya pangan lokal, maka makin membuat perempuan berpikir lebih untuk mendapatkan pangan dengan cara lain,” jelas Suari kepada wartawan, Senin (13/3).

Alhasil para perempuan mulai mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Salah satunya dengan menjadi buruh di perusahaan-perusahaan. “Jadi perempuan Dayak yang dalam budayanya seharusnya berladang untuk kemandirian pangan keluarga, akhirnya beralih profesi karena desakan itu. Lambat laun akan menggerus akar budaya lokal,” tambahnya.

Baca Juga :  Warga OT Danum: Kita Bisa Bekerja Sama Membangun Kalteng

Perempuan berusia 26 tahun yang kerap mengunjungi desa-desa di Kalteng untuk studi budaya menyebut, perempuan Dayak sudah terbiasa memenuhi kebutuhan pangan keluarga secara mandiri dengan berladang dan mencari sayur-sayuran di hutan, bukan dengan membeli.

“Budaya ini sudah mengakar di tengah masyarakat, khususnya perempuan Dayak. Maka dari itu, penting untuk dipertahankan sebagai jalan menjaga kearifan lokal,” tandasnya.

 

Sementara itu, menelisik hubungan antara perempuan dan ketahanan pangan keluarga, pengamat sosial-budaya masyarakat Dayak Dr Sidik Rahman Usop MS mengatakan, perempuan Dayak yang hidup di perdesaan merupakan sosok sentral dalam urusan pangan keluarga.

“Pangan itu sebagai safety food untuk kebutuhan keluarga, bukan untuk dijual, untuk jangka waktu yang lama seperti satu tahun. Pangan menjadi bagian dari kebutuhan keluarga. Di dalam keluarga pun, yang paling berperan justru perempuan,” jelas Usop kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, kemarin.

Pria yang menyelesaikan studi doktoral sosiologi di Universitas Airlangga itu mengatakan, pemerintah kerap menganggap budaya berladang masyarakat Dayak bisa digantikan dengan beras baru. Padahal varietas padi yang ditanam berbeda.

“Varietas padi yang mereka sukai dan mengakar dengan budaya masyarakat berbeda dengan varietas padi yang digaungkan pemerintah saat ini. Karena itulah varietas padi lokal tadi mulai digeser, ada potensi akan lenyap suatu saat nanti,” jelasnya.

Tak hanya itu, lanjut Usop, berladang menurut aturan adat menempatkan perempuan sebagai sosok sentral dalam pengeksekusian. Para perempuan terutama kaum ibu suku Dayak di perdesaan, berperan penting memperjuangkan agar hutan yang dibakar dapat menjadi ladang tanpa menyebabkan bencana karhutla.

“Perempuan Dayak betul-betul memahami aturan adat yang menjelaskan secara teknis bagaimana berladang dengan membakar sebagian hutan tanpa menyebabkan karhutla. Mengapa cara-cara adat itu ramah lingkungan, ya karena cara adat itu tumbuh dari budaya masyarakat, ilmu kebudayaan mereka turun-temurun didapatkan dari hasil pengamatan kondisi alam di sekitar tempat tinggal mereka,” tandasnya. (ce/ram)

Kondisi ini membuat Remi dan perempuan Dayak lainnya prihatin untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Terbentuknya pola pikir generasi muda yang demikian lambat laun dapat mengubah pola hidup efektif yang selama ini mengakar kuat, yakni mengonsumsi pangan hasil hutan. Perlahan akan menggeser pangan lokal, menghapus budaya yang sudah mengakar ratusan tahun.

“Saya berharap pemerintah bisa melihat masyarakatnya yang tertindas, karena banyak yang hilang dampak dari kebijakan yang diambil selama ini, seperti budaya, kearifan lokal, semua itu hampir hilang. Harapan kami, pemerintah bisa melihat dan menanggapi apa yang kami rasakan saat ini, kearifan lokal kami akan benar-benar hilang, karena kami sangat dekat dengan hutan dan alam, karena hutan adalah sumber penghidupan kami,” jelasnya.

 

 

Hilangnya Tradisi Manugal

 

 

Terbesit di dalam pikiran Remi untuk kembali berladang atau manugal. Bagi Remi, berladang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pangan. Melalui kegiatan itu juga tercipta hubungan yang baik antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

“Harapan kami bisa kembali berladang di hutan, di sana kami berladang, berbincang ramai dengan sesama, bergotong-royong,” tuturnya.

Dalam kehidupan bawi Dayak di Bumi Tambun Bungai, hutan dan ladang merupakan tempat mengais pangan demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sayangnya, aktivitas itu sudah tidak bisa dilakukan dengan maksimal, dampak masuknya proyek-proyek korporasi. Ekosistem terganggu akibat izin-izin konsesi. Tak ayal pertumbuhan pangan pun ikut terganggu.

Mardiana D Dana adalah satu dari sekian banyak perempuan Dayak Ma’anyan yang merasakan dampaknya. Wanita asal Barito Timur (Bartim) itu mengungkapkan bahwa aktivitas berladang dan mencari tanaman di hutan tidak bisa dilakukan karena keberadaan perusahaan-perusahaan yang dekat dengan permukiman warga.

Wanita berusia 64 tahun itu menyebut, dengan adanya aktivitas perusahaan sawit dan batu bara, ruang gerak masyarakat lokal makin sempit. Ditambah lagi adanya larangan membakar lahan yang ditetapkan pemerintah tiga tahun terakhir, makin menghambat mereka mewujudkan kemandirian pangan.

Baca Juga :  Resep Bumbu Ikan Basamu Didapat Turun Temurun

Menurut perempuan yang aktif menyuarakan hak masyarakat adat itu, mindset pemerintah perihal membakar lahan salah kaprah. Dikatakannya, kegiatan berladang yang dilakukan dengan membakar sebagian hutan, sejatinya bukan bermaksud membakar hutan, melainkan membersihkan lahan bertani.

“Kalau kami tidak bisa berladang, maukah pemerintah menyiapkan jatah hidup kami seperti beras tiap bulan, tiap KK kan beda-beda. Kami sangat keberatan kalau dibilang merusak hutan, sementara kami sendiri merawat dan memelihara hutan yang ada,” tuturnya.

Perempuan asal Desa Gunung Karasik, Bartim itu mengaku kecewa dengan pemerintah yang telah mengklaim wilayah hutan mereka dengan berbagai status, seperti kawasan hutan, hutan lindung, dan lain-lain. Masyarakat asli Dayak begitu menghormati alam. Menghargai alam sebagai bagian dari kehidupan manusia, yang eksistensinya bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dihargai dan dijaga.

 

 

Varietas Padi Lokal Mulai Lenyap

 

 

Perempuan dan ketahanan pangan keluarga sangat berkaitan erat. Sebab, tulang punggung pangan keluarga dipikul oleh mereka. Perempuan punya peranan penting dalam mewujudkan itu. Menurut Juru Advokasi Kampanye Palangkaraya Ecological & Human Right Studies (Progress) Kalteng Suari Rosalia, perempuan dan kedaulatan pangan punya kaitan erat. Baik yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan, yang paling pertama berdampak langsung adalah perempuan.

“Perempuan dalam anggapan masyarakat kan kerap berkaitan dengan ranah domestik, seperti dapur, sumur, kasur, banyak yang mindset-nya seperti itu. Relevan dengan itu, pangan-pangan lokal di Kalteng itu sudah menipis, benih-benih lokal hilang, perempuan sangat berhubungan erat di sini, dengan makin hilangnya pangan lokal, maka makin membuat perempuan berpikir lebih untuk mendapatkan pangan dengan cara lain,” jelas Suari kepada wartawan, Senin (13/3).

Alhasil para perempuan mulai mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Salah satunya dengan menjadi buruh di perusahaan-perusahaan. “Jadi perempuan Dayak yang dalam budayanya seharusnya berladang untuk kemandirian pangan keluarga, akhirnya beralih profesi karena desakan itu. Lambat laun akan menggerus akar budaya lokal,” tambahnya.

Baca Juga :  Warga OT Danum: Kita Bisa Bekerja Sama Membangun Kalteng

Perempuan berusia 26 tahun yang kerap mengunjungi desa-desa di Kalteng untuk studi budaya menyebut, perempuan Dayak sudah terbiasa memenuhi kebutuhan pangan keluarga secara mandiri dengan berladang dan mencari sayur-sayuran di hutan, bukan dengan membeli.

“Budaya ini sudah mengakar di tengah masyarakat, khususnya perempuan Dayak. Maka dari itu, penting untuk dipertahankan sebagai jalan menjaga kearifan lokal,” tandasnya.

 

Sementara itu, menelisik hubungan antara perempuan dan ketahanan pangan keluarga, pengamat sosial-budaya masyarakat Dayak Dr Sidik Rahman Usop MS mengatakan, perempuan Dayak yang hidup di perdesaan merupakan sosok sentral dalam urusan pangan keluarga.

“Pangan itu sebagai safety food untuk kebutuhan keluarga, bukan untuk dijual, untuk jangka waktu yang lama seperti satu tahun. Pangan menjadi bagian dari kebutuhan keluarga. Di dalam keluarga pun, yang paling berperan justru perempuan,” jelas Usop kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, kemarin.

Pria yang menyelesaikan studi doktoral sosiologi di Universitas Airlangga itu mengatakan, pemerintah kerap menganggap budaya berladang masyarakat Dayak bisa digantikan dengan beras baru. Padahal varietas padi yang ditanam berbeda.

“Varietas padi yang mereka sukai dan mengakar dengan budaya masyarakat berbeda dengan varietas padi yang digaungkan pemerintah saat ini. Karena itulah varietas padi lokal tadi mulai digeser, ada potensi akan lenyap suatu saat nanti,” jelasnya.

Tak hanya itu, lanjut Usop, berladang menurut aturan adat menempatkan perempuan sebagai sosok sentral dalam pengeksekusian. Para perempuan terutama kaum ibu suku Dayak di perdesaan, berperan penting memperjuangkan agar hutan yang dibakar dapat menjadi ladang tanpa menyebabkan bencana karhutla.

“Perempuan Dayak betul-betul memahami aturan adat yang menjelaskan secara teknis bagaimana berladang dengan membakar sebagian hutan tanpa menyebabkan karhutla. Mengapa cara-cara adat itu ramah lingkungan, ya karena cara adat itu tumbuh dari budaya masyarakat, ilmu kebudayaan mereka turun-temurun didapatkan dari hasil pengamatan kondisi alam di sekitar tempat tinggal mereka,” tandasnya. (ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/