Senin, November 25, 2024
30.4 C
Palangkaraya

Mengenal Lebih Dekat Ferdian Syah, Marbut Masjid Al-Fatah

Puluhan Tahun Berusaha Memakmurkan Rumah Allah

Cukup lama Ferdian Syah sudah menjadi Marbut Masjid Al-Fatah. Baginya, selain bekerja, mengurus rumah Allah merupakan pengabdian diri untuk mendapat Rida-Nya.

MUTOHAROH, Palangka Raya
TAHUN 2000 lalu, Ferdian Syah dipercaya masyarakat untuk mengurus Masjid Al-Fatah yang terletak di Jalan RTA Milono, Komplek Bangas Permai, Kelurahan Menteng, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya. Rasa percaya masyarakat itu dijaganya dengan baik hingga kini, dengan terus memakmurkan masjid. Konsitensinya selama puluhan tahun ini tentu tak bisa dianggap remeh, karena perlu keteguhan hati agar terus bisa istikamah di jalan agama.
Dulu, saat masjid belum sebesar sekarang, tugas adalah membersihkan masjid dan menjadi muazin saat salat lima waktu tiba. “Kini marbutnya sudah ada beberapa orang. Jadi tugas saya sebagai muazin saja,” kata marbot yang sudah mengabdikan dirinya selama 23 tahun ini.
Pengurus masjid memutuskan untuk membagi tugas marbut yang ada agar bisa lebih fokus. Ada yang bertugas membersihkan dan ada yang bertugas azan di setiap waktu salat. Meski tugas pokoknya sebagai muazin, namun dirinya tetap sering membantu mebersihkan masjid hingga saat ini.
Pekerjaan marbut ini sendiri memberi berkah bagi kehidupannya. Dia bisa menyekolahkan dua anaknya jadi sarjana. Sang putra berhasil lulus kuliah dengan menyandang gelar sarjana komunikasi. Sementara putrinya lulus sekolah keperawatan yang kini bekerja di beberapa klinik sebagai perawat.
“Alhamdulillah keduanya bisa saya kuliahkan dan sudah bekerja,” ucapnya bangga.
Perjalanannya menjadi marbut tidaklah instan. Kisah hidupnya dimulai ketika usianya masih 15 tahun atau sekitar tahun 1972 lalu. Pria kelahiran 1957 ini harus putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia ketika tahun 1970-an tidaklah bagus. Negara Indonesia yang baru saja merdeka dari jajahan Belanda, belum bisa memberikan pendidikan gratis hingga jenjang sekolah menengah atas seperti masa sekarang. Saat itu bisa sekolah rakyat (setara sekolah dasar) saja sudah beruntung. Hal itulah yang dialami oleh keluarga Ferdian Syah saat itu.
Hidup sebagai anak petani dengan 8 saudara tidak memberinya pilihan selain berhenti sekolah, agar saudaranya yang lain juga bisa merasakan bangku sekolah.
“Usia 15 tahun berhenti sekolah karena tidak ada biaya dan saudara juga banyak. Jadi kami gantian sekolahnya biar semua merasakan sekolah,” ucapnya dengan sedih.
Karena putus sekolah dan sudah pernah duduk di bangku sekolah, merantau (dari daerah mana) untuk bekerja merupakan pilihan terbaik yang dibuatnya saat itu. Dia pun merantau ke Palangka Raya bersama sepupunya untuk bekerja di sebuah toko. Namun setelah bekerja di sana sebagai pegawai, toko (komsetik atau alat tulis) itu harus tutup karena tak berkembang. Dia pun tak punya pekerjaan lagi.
Tak ingin menyerah dengan hidup begitu saja, ayah dari 2 orang anak itu memilih membantu marbut di salah satu masjid untuk bersih-bersih dengan upah Rp75 ribu per bulannya. Baginya saat itu asal ada pemasukan dan tidak menganggur, itu sudah lebih baik.
Suami dari Fauziah itu juga mencari pekerjaan lain sebagai sales perumahan yang ada di sekitar masjid. Setiap kali ada yang tertarik dan membeli rumah, Ferdian mendapatkan bayaran Rp75 ribu. Pekerjaan itu dilakukan sampai akhirnya mampu membeli rumah di daerah itu. Segala pekerjaan pun dicobanya, sampai akhirnya mencoba membuaka toko sendiri. Berbekal pengalaman karna pernah menjadi karyawan toko alat sekolah, bersama dengan istrinya ayah dari Muhammad Yusuf Zaini pun mencoba keberuntungan dengan membuka toko alat tulis juga di Pasar Besar. Saat itu hasil toko sangat menjanjikan. Namun, pada tahun 2000 toko harus tutup. Banyaknya pesaing menjadi alasan tutupnya toko, ruko tempatnya usaha pun disewakan hingga saat ini.
Di kalangan masyarakat, ia dikenal sebagai sosok yang baik dan ramah dengan tetangga dan salah satu orang yang mengurus serta memakmurkan masjid. Suaranya yang indah saat mengumandangkan azan, membuat banyak orang terpanggil begitu mendengarnya. Suasana masjid yang begitu tenang dan bersih membuat banyak orang nyaman di dalamnya.
“Beliau itu orangnya baik dan ramah sesama tetangganya dan suaranya saat azan itu juga bagus, beliau juga salah satu orang yang memakmurkan masjid ini,” ucap Agung salah satu jamaah.
Di usianya yang sudah senja, serta anak – anaknya yang sudah bekerja, membuat mantan pemilik toko alat tulis itu memilih untuk mengabdikan dirinya ke masjid, mengurus masjid hingga ajal menjemputnya. (*)

Baca Juga :  19 Pemain Memperkuat Tim Futsal Kalteng di Pra PON

Cukup lama Ferdian Syah sudah menjadi Marbut Masjid Al-Fatah. Baginya, selain bekerja, mengurus rumah Allah merupakan pengabdian diri untuk mendapat Rida-Nya.

MUTOHAROH, Palangka Raya
TAHUN 2000 lalu, Ferdian Syah dipercaya masyarakat untuk mengurus Masjid Al-Fatah yang terletak di Jalan RTA Milono, Komplek Bangas Permai, Kelurahan Menteng, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya. Rasa percaya masyarakat itu dijaganya dengan baik hingga kini, dengan terus memakmurkan masjid. Konsitensinya selama puluhan tahun ini tentu tak bisa dianggap remeh, karena perlu keteguhan hati agar terus bisa istikamah di jalan agama.
Dulu, saat masjid belum sebesar sekarang, tugas adalah membersihkan masjid dan menjadi muazin saat salat lima waktu tiba. “Kini marbutnya sudah ada beberapa orang. Jadi tugas saya sebagai muazin saja,” kata marbot yang sudah mengabdikan dirinya selama 23 tahun ini.
Pengurus masjid memutuskan untuk membagi tugas marbut yang ada agar bisa lebih fokus. Ada yang bertugas membersihkan dan ada yang bertugas azan di setiap waktu salat. Meski tugas pokoknya sebagai muazin, namun dirinya tetap sering membantu mebersihkan masjid hingga saat ini.
Pekerjaan marbut ini sendiri memberi berkah bagi kehidupannya. Dia bisa menyekolahkan dua anaknya jadi sarjana. Sang putra berhasil lulus kuliah dengan menyandang gelar sarjana komunikasi. Sementara putrinya lulus sekolah keperawatan yang kini bekerja di beberapa klinik sebagai perawat.
“Alhamdulillah keduanya bisa saya kuliahkan dan sudah bekerja,” ucapnya bangga.
Perjalanannya menjadi marbut tidaklah instan. Kisah hidupnya dimulai ketika usianya masih 15 tahun atau sekitar tahun 1972 lalu. Pria kelahiran 1957 ini harus putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia ketika tahun 1970-an tidaklah bagus. Negara Indonesia yang baru saja merdeka dari jajahan Belanda, belum bisa memberikan pendidikan gratis hingga jenjang sekolah menengah atas seperti masa sekarang. Saat itu bisa sekolah rakyat (setara sekolah dasar) saja sudah beruntung. Hal itulah yang dialami oleh keluarga Ferdian Syah saat itu.
Hidup sebagai anak petani dengan 8 saudara tidak memberinya pilihan selain berhenti sekolah, agar saudaranya yang lain juga bisa merasakan bangku sekolah.
“Usia 15 tahun berhenti sekolah karena tidak ada biaya dan saudara juga banyak. Jadi kami gantian sekolahnya biar semua merasakan sekolah,” ucapnya dengan sedih.
Karena putus sekolah dan sudah pernah duduk di bangku sekolah, merantau (dari daerah mana) untuk bekerja merupakan pilihan terbaik yang dibuatnya saat itu. Dia pun merantau ke Palangka Raya bersama sepupunya untuk bekerja di sebuah toko. Namun setelah bekerja di sana sebagai pegawai, toko (komsetik atau alat tulis) itu harus tutup karena tak berkembang. Dia pun tak punya pekerjaan lagi.
Tak ingin menyerah dengan hidup begitu saja, ayah dari 2 orang anak itu memilih membantu marbut di salah satu masjid untuk bersih-bersih dengan upah Rp75 ribu per bulannya. Baginya saat itu asal ada pemasukan dan tidak menganggur, itu sudah lebih baik.
Suami dari Fauziah itu juga mencari pekerjaan lain sebagai sales perumahan yang ada di sekitar masjid. Setiap kali ada yang tertarik dan membeli rumah, Ferdian mendapatkan bayaran Rp75 ribu. Pekerjaan itu dilakukan sampai akhirnya mampu membeli rumah di daerah itu. Segala pekerjaan pun dicobanya, sampai akhirnya mencoba membuaka toko sendiri. Berbekal pengalaman karna pernah menjadi karyawan toko alat sekolah, bersama dengan istrinya ayah dari Muhammad Yusuf Zaini pun mencoba keberuntungan dengan membuka toko alat tulis juga di Pasar Besar. Saat itu hasil toko sangat menjanjikan. Namun, pada tahun 2000 toko harus tutup. Banyaknya pesaing menjadi alasan tutupnya toko, ruko tempatnya usaha pun disewakan hingga saat ini.
Di kalangan masyarakat, ia dikenal sebagai sosok yang baik dan ramah dengan tetangga dan salah satu orang yang mengurus serta memakmurkan masjid. Suaranya yang indah saat mengumandangkan azan, membuat banyak orang terpanggil begitu mendengarnya. Suasana masjid yang begitu tenang dan bersih membuat banyak orang nyaman di dalamnya.
“Beliau itu orangnya baik dan ramah sesama tetangganya dan suaranya saat azan itu juga bagus, beliau juga salah satu orang yang memakmurkan masjid ini,” ucap Agung salah satu jamaah.
Di usianya yang sudah senja, serta anak – anaknya yang sudah bekerja, membuat mantan pemilik toko alat tulis itu memilih untuk mengabdikan dirinya ke masjid, mengurus masjid hingga ajal menjemputnya. (*)

Baca Juga :  19 Pemain Memperkuat Tim Futsal Kalteng di Pra PON

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/