Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Purnawan Basundoro

Pahlawan Kesiangan

SAYA tidak tahu persis sejak kapan idiom pahlawan kesiangan muncul dalam bahasa Indonesia. Idiom itu menarik karena Indonesia memiliki Hari Pahlawan. Peringatan Hari Pahlawan mengacu pada perang besar yang pecah di Kota Surabaya, yang puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Selain perang besar yang terjadi di Surabaya, selama masa penjajahan sampai masa revolusi perang meletus di berbagai tempat, yang melahirkan banyak tokoh yang diangkat sebagai pahlawan nasional.

 

Berangkat dari Hari Pahlawan, perang, dan pahlawan nasional, apakah mungkin idiom pahlawan kesiangan merupakan idiom yang menyejarah dan lahir dari kancah perang juga? Asumsi yang melekat pada idiom tersebut adalah perang selalu dilakukan pada pagi hari. Sehingga tokoh yang ikut perang pada pagi hari dengan sungguh-sungguh dan melampaui yang bisa dilakukan oleh orang biasa akan menjadi pahlawan.

 

Nah, orang-orang yang tidak mau berperang pada pagi hari, namun pada siang hari tiba-tiba muncul dan mengaku ikut berperang, akan dicap sebagai pahlawan kesiangan. Pahlawan yang muncul pada siang hari saat perang telah usai, sebagaimana didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Perang paling besar dan fenomenal tentu saja perang yang terjadi di Surabaya dalam rentang waktu akhir Oktober sampai puncaknya pada tanggal 10 November 1945. Mengacu pada seruan yang disampaikan Bung Tomo melalui corong radio pemberontakan yang ditujukan kepada segenap lapisan rakyat Surabaya, perang yang berkobar selama dua minggu tersebut merupakan perang total. Perang total atau total war menurut Paul K. Saint-Amour dalam tulisannya, On the Partiality of Total War, yang dimuat di Critical Inquiry Journal Volume 40 Nomor 2 (Winter 2014), adalah perang yang melibatkan semua sumber daya dan seluruh penduduk.

Menurut penelitian yang dilakukan Ady Setyawan, perang besar yang meletus di Surabaya mengikuti alur waktu yang membentuk grafik parabola. Perang tidak dimulai pagi-pagi amat, tetapi agak siang.

 

Sebagaimana dituliskan Setyawan dalam bukunya, Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?, pasukan Inggris mulai mengebomi pertahanan pasukan Surabaya sekitar pukul 10 pagi. Semakin siang pertempuran akan semakin hebat dan memasuki sore hari pertempuran akan melandai. Pada malam harinya mayat-mayat yang bergelimpangan sebagai korban perang mulai diambili.

Baca Juga :  Siapkan Mental Menjelang Pesta Demokrasi

Namun, pada puncak peperangan yang jatuh pada 10 November, perang memang dimulai lebih pagi, yaitu pukul 06.00. Saat itu tembak-menembak kecil-kecilan sudah berlangsung dan semakin siang perang semakin brutal sehingga korban berjatuhan dari kedua pihak. Dengan demikian, secara umum perang tersebut bukanlah perang yang terjadi pada pagi hari, melainkan siang hari.

Perang 10 November yang disebut sebagai perang total dan merupakan perang yang melibatkan banyak sekali rakyat Surabaya ternyata hanya melahirkan lima pahlawan resmi, yaitu Bung Tomo, Suryo, Mustopo, Muhammad Mangundipraja, dan Muhammad Yasin. Ada satu tokoh penting di pertempuran Surabaya yang sampai saat ini belum diangkat sebagai pahlawan, yaitu Sungkono.

 

Bagaimana dengan ribuan rakyat yang turut berjuang dan mati di medan perang? Jika mereka tidak ditetapkan sebagai pahlawan, bukan berarti karena mereka adalah pahlawan kesiangan. Bisa jadi karena ada pertimbangan tertentu mengapa tidak ada pengangkatan pahlawan secara massal. Mereka juga merupakan pahlawan yang telah ikut berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya.

 

Bagi siapa pun, yang disaksikan oleh orang lain pernah berperang melawan penjajah serta mendapatkan legitimasi dari sejarawan, sebenarnya memiliki peluang besar untuk diangkat sebagai pahlawan. Begitulah proses bangsa Indonesia menetapkan seorang pahlawan.

 

Kadang pahlawan diangkat karena di daerah tertentu belum ada tokoh yang dipahlawankan. Istilahnya, segala sesuatu harus ada pemerataan, termasuk pemerataan untuk mendapatkan pahlawan. Keberadaan pahlawan di suatu daerah sangat penting karena dengan demikian daerah itu telah merasa berkontribusi untuk memperjuangkan kemerdekaan.

 

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terjadi di Jogjakarta adalah satu-satunya perang yang terjadi pada pagi hari dan sering disebut dengan Serangan Fajar. Jika fajar identik dengan waktu subuh, waktu subuh pada 1 Maret 1949 di Jogjakarta berlangsung sekitar pukul 04.30.

Baca Juga :  Pentingnya Transparansi dan Akuntadilitas Pemerintah Desa

Mungkin pada sekitar jam itulah dulu pasukan Republik Indonesia menyerang pos-pos Belanda di Jogjakarta. Serangan yang berlangsung secara kilat tersebut berhasil membuka mata dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis walaupun ibu kotanya sempat diduduki pasukan Belanda.

 

Apakah mungkin idiom pahlawan kesiangan lahir dari kancah Serangan Umum 1 Maret yang dilakukan pada pagi buta tersebut? Dibandingkan dengan peristiwa peperangan yang lain, perang 1 Maret memang memiliki potensi besar untuk melahirkan individu yang pada pagi hari saat perang berkecamuk ia terlelap tidur, tapi siang hari mengaku telah ikut berjuang. Mengapa? Karena perang tersebut benar-benar terjadi pada pagi hari buta. Sehingga siapa yang benar-benar berperang dan siapa yang hanya mengaku-aku telah ikut berjuang tidak jelas.

 

Namun, sebelum ada penelitian yang serius mengenai asal usul pahlawan kesiangan, saya tidak ingin berspekulasi. Nyatanya, sampai saat ini belum ada satu pun pahlawan nasional yang lahir dari kancah Serangan Umum 1 Maret di Jogjakarta. Padahal, perang tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting sehingga banyak dibahas di buku sejarah, difilmkan, bahkan dikomikkan.

 

Tiga tokoh penting dalam peristiwa itu adalah Hamengkubuwono IX, Sudirman, dan Suharto. Hamengkubuwono IX dan Sudirman telah diangkat sebagai pahlawan nasional, namun pemahlawanannya tidak dikaitkan dengan Serangan Umum 1 Maret. Suharto dulu amat lekat dengan peristiwa ini, bahkan dianggap sebagai inisiator pertempuran. Namun, setelah gerakan reformasi, perannya banyak dipertanyakan sehingga sampai saat ini belum diangkat sebagai pahlawan nasional.

Jika sampai hari ini peristiwa Serangan Umum 1 Maret belum melahirkan pahlawan, bukan berarti karena serangan dilakukan pada pagi hari buta yang berpotensi melahirkan pahlawan kesiangan. Sebab, sesungguhnya pengangkatan pahlawan di Indonesia memiliki dimensi yang sangat luas, salah satunya dimensi politik. (*)

*Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dan Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah

 

SAYA tidak tahu persis sejak kapan idiom pahlawan kesiangan muncul dalam bahasa Indonesia. Idiom itu menarik karena Indonesia memiliki Hari Pahlawan. Peringatan Hari Pahlawan mengacu pada perang besar yang pecah di Kota Surabaya, yang puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. Selain perang besar yang terjadi di Surabaya, selama masa penjajahan sampai masa revolusi perang meletus di berbagai tempat, yang melahirkan banyak tokoh yang diangkat sebagai pahlawan nasional.

 

Berangkat dari Hari Pahlawan, perang, dan pahlawan nasional, apakah mungkin idiom pahlawan kesiangan merupakan idiom yang menyejarah dan lahir dari kancah perang juga? Asumsi yang melekat pada idiom tersebut adalah perang selalu dilakukan pada pagi hari. Sehingga tokoh yang ikut perang pada pagi hari dengan sungguh-sungguh dan melampaui yang bisa dilakukan oleh orang biasa akan menjadi pahlawan.

 

Nah, orang-orang yang tidak mau berperang pada pagi hari, namun pada siang hari tiba-tiba muncul dan mengaku ikut berperang, akan dicap sebagai pahlawan kesiangan. Pahlawan yang muncul pada siang hari saat perang telah usai, sebagaimana didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Perang paling besar dan fenomenal tentu saja perang yang terjadi di Surabaya dalam rentang waktu akhir Oktober sampai puncaknya pada tanggal 10 November 1945. Mengacu pada seruan yang disampaikan Bung Tomo melalui corong radio pemberontakan yang ditujukan kepada segenap lapisan rakyat Surabaya, perang yang berkobar selama dua minggu tersebut merupakan perang total. Perang total atau total war menurut Paul K. Saint-Amour dalam tulisannya, On the Partiality of Total War, yang dimuat di Critical Inquiry Journal Volume 40 Nomor 2 (Winter 2014), adalah perang yang melibatkan semua sumber daya dan seluruh penduduk.

Menurut penelitian yang dilakukan Ady Setyawan, perang besar yang meletus di Surabaya mengikuti alur waktu yang membentuk grafik parabola. Perang tidak dimulai pagi-pagi amat, tetapi agak siang.

 

Sebagaimana dituliskan Setyawan dalam bukunya, Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?, pasukan Inggris mulai mengebomi pertahanan pasukan Surabaya sekitar pukul 10 pagi. Semakin siang pertempuran akan semakin hebat dan memasuki sore hari pertempuran akan melandai. Pada malam harinya mayat-mayat yang bergelimpangan sebagai korban perang mulai diambili.

Baca Juga :  Siapkan Mental Menjelang Pesta Demokrasi

Namun, pada puncak peperangan yang jatuh pada 10 November, perang memang dimulai lebih pagi, yaitu pukul 06.00. Saat itu tembak-menembak kecil-kecilan sudah berlangsung dan semakin siang perang semakin brutal sehingga korban berjatuhan dari kedua pihak. Dengan demikian, secara umum perang tersebut bukanlah perang yang terjadi pada pagi hari, melainkan siang hari.

Perang 10 November yang disebut sebagai perang total dan merupakan perang yang melibatkan banyak sekali rakyat Surabaya ternyata hanya melahirkan lima pahlawan resmi, yaitu Bung Tomo, Suryo, Mustopo, Muhammad Mangundipraja, dan Muhammad Yasin. Ada satu tokoh penting di pertempuran Surabaya yang sampai saat ini belum diangkat sebagai pahlawan, yaitu Sungkono.

 

Bagaimana dengan ribuan rakyat yang turut berjuang dan mati di medan perang? Jika mereka tidak ditetapkan sebagai pahlawan, bukan berarti karena mereka adalah pahlawan kesiangan. Bisa jadi karena ada pertimbangan tertentu mengapa tidak ada pengangkatan pahlawan secara massal. Mereka juga merupakan pahlawan yang telah ikut berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya.

 

Bagi siapa pun, yang disaksikan oleh orang lain pernah berperang melawan penjajah serta mendapatkan legitimasi dari sejarawan, sebenarnya memiliki peluang besar untuk diangkat sebagai pahlawan. Begitulah proses bangsa Indonesia menetapkan seorang pahlawan.

 

Kadang pahlawan diangkat karena di daerah tertentu belum ada tokoh yang dipahlawankan. Istilahnya, segala sesuatu harus ada pemerataan, termasuk pemerataan untuk mendapatkan pahlawan. Keberadaan pahlawan di suatu daerah sangat penting karena dengan demikian daerah itu telah merasa berkontribusi untuk memperjuangkan kemerdekaan.

 

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang terjadi di Jogjakarta adalah satu-satunya perang yang terjadi pada pagi hari dan sering disebut dengan Serangan Fajar. Jika fajar identik dengan waktu subuh, waktu subuh pada 1 Maret 1949 di Jogjakarta berlangsung sekitar pukul 04.30.

Baca Juga :  Pentingnya Transparansi dan Akuntadilitas Pemerintah Desa

Mungkin pada sekitar jam itulah dulu pasukan Republik Indonesia menyerang pos-pos Belanda di Jogjakarta. Serangan yang berlangsung secara kilat tersebut berhasil membuka mata dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis walaupun ibu kotanya sempat diduduki pasukan Belanda.

 

Apakah mungkin idiom pahlawan kesiangan lahir dari kancah Serangan Umum 1 Maret yang dilakukan pada pagi buta tersebut? Dibandingkan dengan peristiwa peperangan yang lain, perang 1 Maret memang memiliki potensi besar untuk melahirkan individu yang pada pagi hari saat perang berkecamuk ia terlelap tidur, tapi siang hari mengaku telah ikut berjuang. Mengapa? Karena perang tersebut benar-benar terjadi pada pagi hari buta. Sehingga siapa yang benar-benar berperang dan siapa yang hanya mengaku-aku telah ikut berjuang tidak jelas.

 

Namun, sebelum ada penelitian yang serius mengenai asal usul pahlawan kesiangan, saya tidak ingin berspekulasi. Nyatanya, sampai saat ini belum ada satu pun pahlawan nasional yang lahir dari kancah Serangan Umum 1 Maret di Jogjakarta. Padahal, perang tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting sehingga banyak dibahas di buku sejarah, difilmkan, bahkan dikomikkan.

 

Tiga tokoh penting dalam peristiwa itu adalah Hamengkubuwono IX, Sudirman, dan Suharto. Hamengkubuwono IX dan Sudirman telah diangkat sebagai pahlawan nasional, namun pemahlawanannya tidak dikaitkan dengan Serangan Umum 1 Maret. Suharto dulu amat lekat dengan peristiwa ini, bahkan dianggap sebagai inisiator pertempuran. Namun, setelah gerakan reformasi, perannya banyak dipertanyakan sehingga sampai saat ini belum diangkat sebagai pahlawan nasional.

Jika sampai hari ini peristiwa Serangan Umum 1 Maret belum melahirkan pahlawan, bukan berarti karena serangan dilakukan pada pagi hari buta yang berpotensi melahirkan pahlawan kesiangan. Sebab, sesungguhnya pengangkatan pahlawan di Indonesia memiliki dimensi yang sangat luas, salah satunya dimensi politik. (*)

*Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga dan Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah

 

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/