Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Tak Segampang Itu

Oleh; Agus Pramono

SECARA tak sengaja, saya melihat tayangan berita. Isinya, interaksi reporter dengan warga. Yang jadi narasumbernya ibu-ibu pemilik warung yang ada di Jakarta. Temanya soal elpiji subsidi.

Si reporter meminta tanggapan soal pembelian elpiji ukuran 3 kilogram harus menggunakan KTP. Apa kata mereka? Ribet. Ibu-ibu itu malah menyebut membeli elpiji subsidi menggunakan KTP tidak akan efektif.

Anda tahu sendiri, atau Anda belum tahu. Sekarang, pemerintah mewajibkan pembeli membawa KTP. Tak hanya itu, nama mereka juga harus tercantum di data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (Kemenko PMK). Sedangkan untuk pengusaha mikro, data yang akan dipakai melalui data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).

Selama ini, lanjut kata ibu tadi, dia mengaku sering tidak dapat jatah dari pangkalan. Dia memilih beli eceran dengan harga Rp20 ribu. Terpaut Rp4ribu lebih mahal dari harga di pangkalan. Dia meyakini, akan tetap terjadi penyaluran yang tidak tepat sasaran. Toh, selama ini, kata dia, pangkalan masih melayani pembeli bagi kalangan menengah ke atas.

Pemandangan di Jakarta hampir sama dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Terutama Palangka Raya. Warga menengah ke bawah yang rumahnya di sebelah pangkalan elpiji subsidi, bisa tidak kebagian.

Baca Juga :  Tim Gabungan Sidak Pangkalan Elpiji Subsidi di Kalampangan, Ini Hasilnya

Padahal, KTP-nya sudah diminta duluan oleh si pemilik pangkalan, sebagai syarat membuka usaha. Itu contoh satu. Contoh lainnya, pangkalan lebih memilih menjual ke pengecer dari pada ke perorangan. Dalam bisnis, wajar. Karena jual elpiji subsidi ke pengecer bisa dihargai mahal.

Tak bisa dibantah lagi. Pertamina dan pemerintah daerah tak mampu menyelesaikan persoalan elpiji subsidi. Iya kan? Dua tahun lalu, saya menulis soal elpiji subsidi. Persoalan dulu sama sekarang, sama!

Soal penyaluran, sudah pasti tidak tepat sasaran. Soal harga, sudah pasti tidak beraturan. Bedanya hanya, ibu-ibu di Jakarta membeli di eceran Rp20 ribu per tabung, di Palangka Raya Rp35 ribu per tabung. Di pedalaman Kalteng berapa harganya? Pasti lebih mahal.

Persoalan pakai KTP saat membeli saya anggap tidak begitu vital. Semua tergantung kesadaran personal. Jangan hanya gara-gara ingin dapat elpiji subsidi, yang punya mobil rela menurunkan stratanya menjadi orang miskin.

Tak segampang menggoreng tahu, mengubah perilaku orang-orang seperti itu. Ketegasan pemerintah juga ditunggu. Jangan tebang pilih dalam menindak pangkalan nakal. Jika sudah ada bukti pangkalan melanggar, berikan tindakan tegas, jangan ragu. Jangan mundur lagi ketika tahu pangkalan itu ternyata “punya bapak itu”.

Baca Juga :  Tiga Kata

Ada lagi terobosan pemerintah. Sama-sama soal KTP. Hanya saja ini bukan syarat untuk beli elpiji. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengimbau masyarakat untuk melakukan aktivasi identitas kependudukan digital (IKD), meski telah memiliki KTP elektronik. Terobosan yang menarik di serba digital. Patut didukung.

Tapi, tak segampang itu meyakinkan masyarakat. Pemerintah harus bekerja keras meyakinkan masyarakat. Sebagai orang awam ketika mendengar itu, ada rasa ketakutan. Takut datanya pribadinya bocor, dan disalahgunakan. Apalagi IKD melekat di ponsel pintar. Bagaimana dengan orang yang tak punya ponsel pintar?

Hingga saat ini, aktivasi IKD di Kota Cantik hanya menyasar 17.004 orang. Capaian tersebut dinilai masih kurang dari yang ditargetkan yakni 53.577 orang, sesuai dengan target nasional 25 persen dari jumlah wajib ber-KTP.

Tak segampang itu. Sosialisasi harus digencarkan. Meski saya sendiri ragu pemerintah bisa menarik antusias masyarakat. Kecuali ada embel-embel. Misal, yang belum aktivasi IKD tidak bisa dapat bantuan sosial. Yang sudah aktivasi IKD, tak perlu lagi fotocopy KTP.(*)

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos

Oleh; Agus Pramono

SECARA tak sengaja, saya melihat tayangan berita. Isinya, interaksi reporter dengan warga. Yang jadi narasumbernya ibu-ibu pemilik warung yang ada di Jakarta. Temanya soal elpiji subsidi.

Si reporter meminta tanggapan soal pembelian elpiji ukuran 3 kilogram harus menggunakan KTP. Apa kata mereka? Ribet. Ibu-ibu itu malah menyebut membeli elpiji subsidi menggunakan KTP tidak akan efektif.

Anda tahu sendiri, atau Anda belum tahu. Sekarang, pemerintah mewajibkan pembeli membawa KTP. Tak hanya itu, nama mereka juga harus tercantum di data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (Kemenko PMK). Sedangkan untuk pengusaha mikro, data yang akan dipakai melalui data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).

Selama ini, lanjut kata ibu tadi, dia mengaku sering tidak dapat jatah dari pangkalan. Dia memilih beli eceran dengan harga Rp20 ribu. Terpaut Rp4ribu lebih mahal dari harga di pangkalan. Dia meyakini, akan tetap terjadi penyaluran yang tidak tepat sasaran. Toh, selama ini, kata dia, pangkalan masih melayani pembeli bagi kalangan menengah ke atas.

Pemandangan di Jakarta hampir sama dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Terutama Palangka Raya. Warga menengah ke bawah yang rumahnya di sebelah pangkalan elpiji subsidi, bisa tidak kebagian.

Baca Juga :  Tim Gabungan Sidak Pangkalan Elpiji Subsidi di Kalampangan, Ini Hasilnya

Padahal, KTP-nya sudah diminta duluan oleh si pemilik pangkalan, sebagai syarat membuka usaha. Itu contoh satu. Contoh lainnya, pangkalan lebih memilih menjual ke pengecer dari pada ke perorangan. Dalam bisnis, wajar. Karena jual elpiji subsidi ke pengecer bisa dihargai mahal.

Tak bisa dibantah lagi. Pertamina dan pemerintah daerah tak mampu menyelesaikan persoalan elpiji subsidi. Iya kan? Dua tahun lalu, saya menulis soal elpiji subsidi. Persoalan dulu sama sekarang, sama!

Soal penyaluran, sudah pasti tidak tepat sasaran. Soal harga, sudah pasti tidak beraturan. Bedanya hanya, ibu-ibu di Jakarta membeli di eceran Rp20 ribu per tabung, di Palangka Raya Rp35 ribu per tabung. Di pedalaman Kalteng berapa harganya? Pasti lebih mahal.

Persoalan pakai KTP saat membeli saya anggap tidak begitu vital. Semua tergantung kesadaran personal. Jangan hanya gara-gara ingin dapat elpiji subsidi, yang punya mobil rela menurunkan stratanya menjadi orang miskin.

Tak segampang menggoreng tahu, mengubah perilaku orang-orang seperti itu. Ketegasan pemerintah juga ditunggu. Jangan tebang pilih dalam menindak pangkalan nakal. Jika sudah ada bukti pangkalan melanggar, berikan tindakan tegas, jangan ragu. Jangan mundur lagi ketika tahu pangkalan itu ternyata “punya bapak itu”.

Baca Juga :  Tiga Kata

Ada lagi terobosan pemerintah. Sama-sama soal KTP. Hanya saja ini bukan syarat untuk beli elpiji. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengimbau masyarakat untuk melakukan aktivasi identitas kependudukan digital (IKD), meski telah memiliki KTP elektronik. Terobosan yang menarik di serba digital. Patut didukung.

Tapi, tak segampang itu meyakinkan masyarakat. Pemerintah harus bekerja keras meyakinkan masyarakat. Sebagai orang awam ketika mendengar itu, ada rasa ketakutan. Takut datanya pribadinya bocor, dan disalahgunakan. Apalagi IKD melekat di ponsel pintar. Bagaimana dengan orang yang tak punya ponsel pintar?

Hingga saat ini, aktivasi IKD di Kota Cantik hanya menyasar 17.004 orang. Capaian tersebut dinilai masih kurang dari yang ditargetkan yakni 53.577 orang, sesuai dengan target nasional 25 persen dari jumlah wajib ber-KTP.

Tak segampang itu. Sosialisasi harus digencarkan. Meski saya sendiri ragu pemerintah bisa menarik antusias masyarakat. Kecuali ada embel-embel. Misal, yang belum aktivasi IKD tidak bisa dapat bantuan sosial. Yang sudah aktivasi IKD, tak perlu lagi fotocopy KTP.(*)

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/