Oleh; Agus Pramono
SEPANDAI-pandai menyimpan bangkai, akan tercium juga. Pepatah itu memang pas buat kejahatan. Lebih pas lagi diterapkan dalam biduk keluarga. Lebih sering dipakai senjata oleh ibu rumah tangga.
Namun, pepatah itu tidak cocok kalau diperuntukkan saat membahas makanan. Baru mendengar kata bangkai saja, sudah mual perut kita. Apalagi bangkainya kelihatan. Apa tidak ngomel mulut kita. Cak cok cak cok, kata orang Surabaya.
Itu dahulu. Pada era digital saat ini, jika melihat sesuatu yang menggelikan, mulut memilih diam. Kalaupun teriak, itu hanya spontan. “Aahh, ada sesuatu.” Teriaknya tak dibuat-buat. Tidak seperti gaya bibir Syahrini. Namun, kalau Anda yang baca ini dan mau coba intonasi seperti Syahrini, silakan.
Sekarang, otak secara spontan mengarahkan untuk menggerakkan tangan. Jari-jari kita bergerak cepat. Ambil ponsel pintar. Difoto atau divideo. Dibuat status. Viral. Momen itulah yang menimpa Bakso Mas Bejo. Yang lokasinya di Jalan Yos Soedarso. Posisi warungnya strategis. Berdampingan dengan pusat belanja.
Bejo, dalam bahasa Jawa berarti beruntung. Bukan sekadar kebetulan, tetapi ada perpaduan kerja keras dan doa, agar bejo. Kali ini, Bakso Mas Bejo benar-benar apes. Pelanggan menemukan kepala tikus di mangkuk mi ayam.
Dalam video, benda berbulu dan berkumis itu diletakkan di tisu. Dipelototi. Dan benar. Itu kepala tikus. Sembilan orang dalam satu rombongan itu pun bergegas bayar. Lalu pergi. Ada yang kemudian muntah di samping warung.
Sebelum meninggalkan warung, salah satu dari mereka mendokumentasikan. Lalu, video berdurasi 43 detik itu viral. Kenapa enggak komplain langsung? Inilah yang disayangkan oleh owner Bakso Mas Bejo.
Hal yang saya soroti dalam kasus ini adalah penanganan pertama setelah viral. Kenapa barang bukti kepala tikus dibuang? Kenapa adonan ayam buat toping mi ayam yang diduga tercampur daging tikus itu tak disisihkan?
Andai, pihak Bakso Mas Bejo langsung mengamankan adonan ayam dan kepala tikus itu. Lalu, bergegas melapor ke pihak yang berkompeten. Dalam hal ini Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan. Bukan malah sudah puas dengan mediasi.
Pihak yang berkompeten pasti akan mengambil sampel, lalu menguji. Tidak hanya omon-omon. Hasil uji sampel itu juga sangat-sangat berguna jika ada tuntutan hukum kemudian hari. Yang pasti, bisa membungkam mulut netizen-netizen dan media, yang kata Bu Joko, empunya warung, suka menggoreng-goreng.
Jika sudah seperti ini, siapa yang berani memastikan jika munculnya kepala tikus itu adalah unsur kesengajaan dari pelanggan? Siapa yang berani memastikan kalau ada kesengajaan dari karyawan? Siapa yang berani memastikan jika itu syarat pelaris?
Mari kita lihat komentar-komentar netizen di konten Instagram dan TikTok Kalteng Pos. Netizen cenderung saling berseberangan. Menunjukkan spektrum reaksi yang beragam. Beberapa menanggapi dari sudut pandang pengalaman pribadi. Mengaitkan pendapat mereka dengan kisah nyata maupun mistis, dan kepentingan individu serta kelompok.
Di sisi lain, ada netizen yang mengambil pendekatan yang lebih netral. Mereka berusaha menganalisis situasi secara objektif, tanpa terjebak dalam emosi. Perbedaan komentar ini menciptakan gambaran yang kompleks, tentang bagaimana netizen merespons dan memengaruhi persepsi dan opini.
Saya tergelitik melihat ucapan Bu Joko, dalam satu sesi wawancara dengan media. Dia memuji-muji pihak pemerintah. Begini katanya; Saya berterima kasih kepada bapak ibu pemerintah yang langsung bergegas cepat menangani kasus di warung kami.”
Saya hanya menghela napas panjang ketika mendengarnya. Sebenarnya, kunjungan tim gabungan dari dinas yang membidangi UMKM, dinas kesehatan, BBPOM, serta Satpol PP itu sudah sangat telat. Kejadiannya 12 Oktober. Peninjauan dilakukan 17 Oktober. Itu pun setelah viral.
Petugas pun hanya memberikan rekomendasi teknis untuk perbaikan ruang produksi. Tak ada barang bukti yang dibawa untuk diteliti agar bisa menjawab rasa penasaran publik.
Sekarang, semuanya sudah telat. Salah kaprah penanganan awal. Jadi, jangan berharap ada jawaban soal pertanyaan apakah kepala tikus itu sabotase pembeli, sabotase karyawan, atau kesengajaan untuk syarat pelaris.
Perdebatan soal jawaban itu akan makin panjang, selagi publik masih teringat nama Bakso Mas Bejo. Bagaimana cara mengembalikan kepercayaan pelanggan?
Tukul Arwana pernah punya cara jitu saat acara Empat Mata dihentikan Komisi Penyiaran Indonesia. Penghentian tersebut karena acara tersebut dinilai tidak pantas dan melanggar standar program siaran.
Tukul mengganti nama acara tersebut menjadi Bukan Empat Mata. Acara itu pun kembali eksis dan tetap mendapat tempat di hati penonton. Nah, Bu Joko bisa meniru apa yang dilakukan Tukul Arwana. Ganti saja nama rumah makannya dengan nama; Bukan Bakso Mas Bejo. (*)
*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos