Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Panas Dingin

Oleh: Agus Pramono

IBU-ibu dan bapak-bapak mengantre air panas. Buat merendam mi. Di Kapos Mart. Sore sampai petang. Mereka lapar. Terutama anak-anak. Ada yang enggak sabar. Air dalam dispenser yang masih hangat pun dipakai untuk merendam.

Tak banyak warung buka di sekitar lokasi. Kalaupun ada, mereka malas jalan kaki. Macet. Saat saya tanya, mereka datang dari jauh. Ada yang bertolak dari Amuntai, Rantau, dan kota-kota lain di Kalimantan Selatan. “Kenapa tidak ke lokasi acara?” tanya saya. “Sudah tidak sanggup lagi jalan kaki,” jawab mereka. Tenaga sudah lemah. Dikuras kemacetan.

Ya, siang sampai sore memang luar biasa pemandangannya. Sepanjang jalan macet. Terutama di Jalan Rajawali dan Jalan Tjilik Riwut. Mereka yang antre air panas tadi tak begitu larut dengan penyesalan, meski tak menatap langsung wajah Habib Umar bin Hafidz dari dekat. Layar televisi yang disediakan di rest area Kalteng Pos sudah cukup. Terpenting, mereka bisa mendengar dakwah ulama asal negara Yaman itu. Bisa membawa oleh-oleh untuk diamalkan. Mereka juga yakin mendapat berkah dari acara tablig akbar itu.

Apalagi, Habib Umar ijazahkan zikir untuk jemaah yang hadir. Zikir itu dari sanad guru-guru pendahulunya hingga Rasulullah. Dia menyampaikan di akhir tausiahnya. Begini bunyinya; “Laa Ilaaha Illallah Al Malikul Haqqul Mubin”. Disempurnakan dengan “Muhammadur Rasulullah Ash-shadiqul Wa‘dil Amin”.

Kalimat yang terterah di pintu Kakbah itu, menurut penerjemahnya, siapa yang membacanya 100 kali tiap hari, maka terbuka baginya pintu surga, aman dari kefakiran, dan terbuka pintu kekayaan.

Baca Juga :  Sebuah Renungan di Usia 78

Saya mendengar kalimat itu di atas motor. Saat perjalanan dari kantor menuju rumah. Streaming dari YouTube. Handphone saya pegang dengan tangan kiri. Saya dekatkan dengan telinga.

Kedatangan Habib Umar memang dirindukan. Sudah dua kali menginjakkan kaki di Palangka Raya. Pertama tahun 2019 lalu. Di acara kemarin, Stadion Tuah Pahoe menjadi lautan manusia. Selawat tak pernah berhenti sedari siang. Hati terasa dingin, meski udara begitu panas.

Saya juga sedikit merinding saat mendengar Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran menyampaikan sambutan. Wajahnya berkaca-kaca. Berulang kali mengusap air mata dengan sehelai kain di pundak kanannya. Selama menjabat, baru kali ini saya melihat gubernur berdiri di depan publik dengan mata sembab. Benar-benar tangis yang tidak dibuat-buat.

Hati benar-benar adem (dingin) mendengar tausiah Habib Umar di Tuah Pahoe. Mungkin tidak dengan orang-orang di dalam Gedung KONI Kalteng. Di dalam ruangan lantai 2 itu digelar musorprovlub untuk pemilihan ketua. Musyawarah  berjalan alot dan panas. Di ruangan yang dingin itu, ada hujan interupsi. Apalagi saat ketua tim penjaringan dan penyaringan (TPP) Yetrie Ludang mengumumkan Christian Sancho satu-satunya bakal calon yang lolos verifikasi. Dua kandidat lain, Agustiar Sabran dan Yuwensi, dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Yuwensi, berdasarkan hasil verifikasi dan validasi TPP, tidak melampirkan persyaratan dukungan secara tertulis dari 50 persen. Sementara, Agustiar Sabran melampirkan 10 dukungan dari pengurus KONI kabupaten/kota. Namun, hanya enam yang diterima. Empat dukungan dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Baca Juga :  Cuci Mata

Usai mengumumkan, perempuan bergelar profesor doktor itu keluar dari ruangan. Tugasnya sudah selesai. Dalih dia. Peserta dari kubu Agustiar tak terima. Minta pimpinan sidang memanggil lagi Yetrie. Minta penjelasan lebih. Kenapa? Kok bisa? Harusnya begini. Harusnya begitu. Kata wartawan Kalteng Pos yang di sana.

Pimpinan sidang akhirnya menskors 30 menit. Saat dimulai lagi, tak ada solusi. Sampai pukul 23.00 WIB, Yetrie tak kunjung datang. Peserta akhirnya pulang. Ketemu dengan jemaah tablig Akbar di jalan. Pikiran dan hati yang panas mulai beranjak dingin. Mungkin. Harap saya sih begitu. Tapi, suasana dalam gedung KONI Kalteng itu terbawa sampai mimpi. Sampai paginya lagi.

Musorprovlub berlanjut keesokan hari. Suasana masih sama. Kali ini lebih parah. Tak hanya hujan interupsi. Sudah dibumbui cekcok antarpeserta. Umpatan-umpatan yang tidak pantas terucap. Untungnya tidak sampai saling lempar kursi.

Pukul 14.52 WIB, pimpinan sidang Ahyar Umar mengetuk palu. Musorprovlub deadlock. KONI pusat akan menunjuk karteker.

Kata wartawan di sana, mereka bak bermain catur. Oh, begitu……Bidak-bidak saling berhadapan. Siap diatur ke mana akan melangkah. Pemain bidak putih sudah siap menang dan siap kalah. Maklum, dia jago menembak. Tidak mahir bermain asah otak.

Sementara, pemain bidak hitam dibebani harus menang. Strategi pun diatur sedemikian rupa. Pion-pion dijalankan meski dari kejauhan. Menteri, benteng, dan kuda harus bisa menjaga marwah. Jangan sampai kalah. Apa kata dunia kalau kalah. (*)

Oleh: Agus Pramono

IBU-ibu dan bapak-bapak mengantre air panas. Buat merendam mi. Di Kapos Mart. Sore sampai petang. Mereka lapar. Terutama anak-anak. Ada yang enggak sabar. Air dalam dispenser yang masih hangat pun dipakai untuk merendam.

Tak banyak warung buka di sekitar lokasi. Kalaupun ada, mereka malas jalan kaki. Macet. Saat saya tanya, mereka datang dari jauh. Ada yang bertolak dari Amuntai, Rantau, dan kota-kota lain di Kalimantan Selatan. “Kenapa tidak ke lokasi acara?” tanya saya. “Sudah tidak sanggup lagi jalan kaki,” jawab mereka. Tenaga sudah lemah. Dikuras kemacetan.

Ya, siang sampai sore memang luar biasa pemandangannya. Sepanjang jalan macet. Terutama di Jalan Rajawali dan Jalan Tjilik Riwut. Mereka yang antre air panas tadi tak begitu larut dengan penyesalan, meski tak menatap langsung wajah Habib Umar bin Hafidz dari dekat. Layar televisi yang disediakan di rest area Kalteng Pos sudah cukup. Terpenting, mereka bisa mendengar dakwah ulama asal negara Yaman itu. Bisa membawa oleh-oleh untuk diamalkan. Mereka juga yakin mendapat berkah dari acara tablig akbar itu.

Apalagi, Habib Umar ijazahkan zikir untuk jemaah yang hadir. Zikir itu dari sanad guru-guru pendahulunya hingga Rasulullah. Dia menyampaikan di akhir tausiahnya. Begini bunyinya; “Laa Ilaaha Illallah Al Malikul Haqqul Mubin”. Disempurnakan dengan “Muhammadur Rasulullah Ash-shadiqul Wa‘dil Amin”.

Kalimat yang terterah di pintu Kakbah itu, menurut penerjemahnya, siapa yang membacanya 100 kali tiap hari, maka terbuka baginya pintu surga, aman dari kefakiran, dan terbuka pintu kekayaan.

Baca Juga :  Sebuah Renungan di Usia 78

Saya mendengar kalimat itu di atas motor. Saat perjalanan dari kantor menuju rumah. Streaming dari YouTube. Handphone saya pegang dengan tangan kiri. Saya dekatkan dengan telinga.

Kedatangan Habib Umar memang dirindukan. Sudah dua kali menginjakkan kaki di Palangka Raya. Pertama tahun 2019 lalu. Di acara kemarin, Stadion Tuah Pahoe menjadi lautan manusia. Selawat tak pernah berhenti sedari siang. Hati terasa dingin, meski udara begitu panas.

Saya juga sedikit merinding saat mendengar Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran menyampaikan sambutan. Wajahnya berkaca-kaca. Berulang kali mengusap air mata dengan sehelai kain di pundak kanannya. Selama menjabat, baru kali ini saya melihat gubernur berdiri di depan publik dengan mata sembab. Benar-benar tangis yang tidak dibuat-buat.

Hati benar-benar adem (dingin) mendengar tausiah Habib Umar di Tuah Pahoe. Mungkin tidak dengan orang-orang di dalam Gedung KONI Kalteng. Di dalam ruangan lantai 2 itu digelar musorprovlub untuk pemilihan ketua. Musyawarah  berjalan alot dan panas. Di ruangan yang dingin itu, ada hujan interupsi. Apalagi saat ketua tim penjaringan dan penyaringan (TPP) Yetrie Ludang mengumumkan Christian Sancho satu-satunya bakal calon yang lolos verifikasi. Dua kandidat lain, Agustiar Sabran dan Yuwensi, dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Yuwensi, berdasarkan hasil verifikasi dan validasi TPP, tidak melampirkan persyaratan dukungan secara tertulis dari 50 persen. Sementara, Agustiar Sabran melampirkan 10 dukungan dari pengurus KONI kabupaten/kota. Namun, hanya enam yang diterima. Empat dukungan dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Baca Juga :  Cuci Mata

Usai mengumumkan, perempuan bergelar profesor doktor itu keluar dari ruangan. Tugasnya sudah selesai. Dalih dia. Peserta dari kubu Agustiar tak terima. Minta pimpinan sidang memanggil lagi Yetrie. Minta penjelasan lebih. Kenapa? Kok bisa? Harusnya begini. Harusnya begitu. Kata wartawan Kalteng Pos yang di sana.

Pimpinan sidang akhirnya menskors 30 menit. Saat dimulai lagi, tak ada solusi. Sampai pukul 23.00 WIB, Yetrie tak kunjung datang. Peserta akhirnya pulang. Ketemu dengan jemaah tablig Akbar di jalan. Pikiran dan hati yang panas mulai beranjak dingin. Mungkin. Harap saya sih begitu. Tapi, suasana dalam gedung KONI Kalteng itu terbawa sampai mimpi. Sampai paginya lagi.

Musorprovlub berlanjut keesokan hari. Suasana masih sama. Kali ini lebih parah. Tak hanya hujan interupsi. Sudah dibumbui cekcok antarpeserta. Umpatan-umpatan yang tidak pantas terucap. Untungnya tidak sampai saling lempar kursi.

Pukul 14.52 WIB, pimpinan sidang Ahyar Umar mengetuk palu. Musorprovlub deadlock. KONI pusat akan menunjuk karteker.

Kata wartawan di sana, mereka bak bermain catur. Oh, begitu……Bidak-bidak saling berhadapan. Siap diatur ke mana akan melangkah. Pemain bidak putih sudah siap menang dan siap kalah. Maklum, dia jago menembak. Tidak mahir bermain asah otak.

Sementara, pemain bidak hitam dibebani harus menang. Strategi pun diatur sedemikian rupa. Pion-pion dijalankan meski dari kejauhan. Menteri, benteng, dan kuda harus bisa menjaga marwah. Jangan sampai kalah. Apa kata dunia kalau kalah. (*)

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/