Selasa, April 1, 2025
28.6 C
Palangkaraya

“Kala Ramadhan Tinggal Sejengkal”

Ramadhan dan Jejak Gastrodiplomacy Indonesia

Oleh Dr. Yunita Asmawati, S.IP., M.Si

Kuliner adalah salah satu strategi soft power diplomacy terbukti efektif dalam menjadi jembatan kebudayaan” Sugiono, Menteri Luar Negeri Indonesia.

Referensi Diplomasi lebih dari dua dekade lalu menuliskan bahwa Negara merupakan abstraksi dari person dalam hubungan internasionalnya. Namun, negara tidak dapat berkomunikasi dengan menggunakan tata krama individual. Karenanya perlu peran sebagaimana seorang manusia yang menjadi perwakilan sebuah negara bangsa (Berridge dan James 2003).

Misalnya ketika seorang perwakilan negara berbicara dengan perwakilan negara lain baik itu secara langsung atau dengan media elektronik. Selain itu, tanpa disadari terdapat media lain sebagai strategi soft  power diplomacy yang merekat kuat dalam lingkar diplomasi budaya. Media ini mampu menyuguhkan keunikan berkomunikasi. Strategi ini yang disebut dengan gastrodiplomacy, di mana sajian kuliner mampu membangun citra bangsa. Bahkan terdapat momentum hadirnya berbagai sajian kuliner di banyak tempat secara alami kala Ramadhan.

Marwahnya Ramadhan adalah ketika setiap detik ibadah manusia menjadi pemberat amal kebaikan hingga Mubaarak tidak sekedar imaji bagi Ramadhan. Bahkan makna ibadah ini selalu luas mencakup berbagai amal manusia mulai di atas sajadah hingga amal manusia dalam kebaikan di luar sajadah.

Satu di antara keluasan ibadah ini adalah menyediakan kemudahan mendapatkan makanan yang halal lagi thayyib (baik) bagi khususnya umat untuk berbuka puasa hingga bagi umat lain secara luas. Berbuka ala Rasulullah misalnya dengan buah Kurma dan air putih yang bermanfaat bagi kesehatan.

Selain pilihan buah, suatu ketika Rasulullah dalam sebuah riwayat Imam At-Tirmidzi diceritakan dalam kitab Syamail Muhammadiyah pernah menerima hadiah melalui Siti Aisyah berupa Hais pada saat berpuasa. Hais ini merupakan makanan manis yang dibuat dari bahan yang sangat mudah didapatkan di Jazirah Arab berupa Kurma, minyak samin, keju dan tepung. Rasulullah kemudian memakan makanan manis tersebut dan mengatakan “sesungguhnya aku sejak tadi pagi telah berpuasa”.

Bahkan sepotong riwayat Imam At-Tirmidzi tersebut mengingatkan pada pesan tatkala berbuka, tentang ‘berbukalah dengan yang manis’. Maka tidak heran ketika bulan Ramadhan tiba, sajian kuliner manis yang terbuat dari sumber kekayan alam pada suatu wilayah setempat menjadi bagian dari entertain Ramadhan di berbagai Bazar kuliner halal.

Baca Juga :  Hutan dan Sungai Sebagai Wadah dan Wajah Penghidupan Masyarakat Bumi Tambun Bungai

Kuliner Indonesia saat Ramadhan tidak semata tentang makanan manis seperti kolak dan klepon, atau seperti Kue Bingka khas kalimantan, ada Kue Tempungas, Amparan Tatak hingga Hintalu Karuang.

Mencakup gastrodiplomacy Nusantara, Ramadhan tidak sekedar membuat ragam kehadiran sajian manis yang jarang ditemui. Berbagai rempah Nusantara mampu mengolah sumber daya alam Nusantara menjadi sajian otentik yang perlu dikenalkan secara global.

Kalimantan Tengah misalnya mampu menyuguhkan sayur asam kepala ikan Baung, Jelawat hingga kepala ikan Kelabau yang dilengkapi rimbang (sejenis terong asam) atau bersama Umbut Lucung. Hidangan rempah yang mengentertain lainnya misalnya coto menggala hingga gangan umbut rotan. Dilengkapi juga dengan sajian sambal misalnya Kandas Sarai, Sambal Ramania, hingga Sambal Binjai.

Ragam kuliner otentik ini sudah saatnya perlu mengedepan sebagai bagian dari penguatan kapabilitas Indonesia di bidang budaya tidak hanya di internal Indonesia. Namun juga perlu mengglobal melintas batas wilayah Indonesia. Meskipun, beberapa sajian tersebut masih belum mampu menguak begitu banyak kekayaan kuliner Kalimantan Tengah yang pada tahun 2021 baru terdata sekitar 163 sajian kuliner tradisional (Satu data Kalteng).

Data ini cukup membantu untuk secara berangsur menggerakkan sajian makanan khas Kalimantan. Terlebih ketika dikaitkan bagaimana wilayah tepian laut, sungai, hutan, rawa dan dataran tinggi di Kalimantan Tengah mampu menghadirkan budaya yang berbeda pada sajian kulinernya. Tentunya akan semakin meramaikan ragam budaya kuliner Nusantara.

Pun Istilah kuliner memiliki margin perbedaan yang tipis dengan gastronomi. Kuliner menjadi sebuah pemahaman ketika suatu hidangan makanan diperkenalkan resep dan teknik memasaknya, serta tentang bagaimana keterampilan penyajiannya.

Sementara gastronomi sendiri merangkum lebih luas dari sekedar seni menyajikan makanan. Tepatnya melalui Triangle Concept of Indonesian Gastronomy yang saling terhubung.

Pertama di mana terdapat makanan (food) bersama dengan aneka rempahnya (spices). Kedua, terdapat sejarah (history) dengan muatan berbagai macam storytelling-nya. Ketiga adalah budaya (culture), dengan berbagai kegiatan seremonial atau ritualnya. Sehingga pada satu sajian makanan tersisip tentang bagaimana nama yang mewakili filosofi kuliner tersebut apakah itu filosofi bermaknaa kesehatan, kesejahteraan kebaikan hidup. Lalu ada sejarah dan nilai lokal yang ingin diperkenalkan di balik sajian makanan tersebut. Bahkan gastronomi menyiratkan kekayaan alam dan budaya di wilayah asalnya. Maka tepatlah ketika momentum Ramadhan, seperti di bazar makanan, di pasar Ramadhan dan Halal Fair masyarakat sejatinya mencicipi sajian kuliner berbuka puasa, secara alami dibawa ke dalam aktivitas gastronomi. Seperti sebuah pesan yang ingin disampaikan saat berbuka dengan makanan yang halal dan baik akan menjadi  satu cara manusia dalam bertaqwa.

Baca Juga :  Mengukur Kinerja Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja

Uniknya, aktivitas gastronomi ini dilekatkan dengan aktivitas diplomasi suatu negara bangsa hingga dikenal dengan Gastrodiplomasi. Tepatnya ketika makanan terkoneksi dengan sejarah dan budaya.

Misalnya dengan mendudukkan bahwa aktivitas diplomasi sejak beberapa abad kini tidak semata menjadi tugas negara. Dengan tidak bertopang kepada negara sebagai satu-satunya aktor yang berperan dalam kancah hubungan internasional di konstelasi global.

Konteks ini satunya seperti kehadiran berbagai peran penting warga negara dalam membantu berbagai aktivitas diplomasi melalui saluran yang sesuai sebagaimana interaksi masyarakat dengan masyarakat di negara lain atau people to people relations (p to p).

Gastrodiplomasi membidik berbagai cara masyarakat dalam mengedepankan sajian makanan dalam berbagai pertemuan p to p relations ini. Bila tidak pada agenda pertemuan formal yang besar. Maka boleh jadi dengan cara yang paling sederhana dengan menjamu seorang tamu misalnya berbuka puasa dengan makanan khas Indonesia, khususnya Kalimantan Tengah untuk diperkenalkan.

Maka kemudian, Gastrodiplomacy menjadi satu cara yang paling unik bagi masyarakat untuk berada di dalam perjuangan Indonesia dalam mengkarakteri identitas bangsa. Ragam kuliner nusantara yang otentik menjadi penguat kapabilitas negara melalui instrumen kebijakan luar negeri yang lebih inklusif berupa gastrodiplomasi.

Terlebih dengan berbagai keterhubungan yang kini kian masive dan tanpa batas telah memberikan koneksi bagi masyarakat dunia saling terhubung. Jelas telah ada ruang keterbukaan yang tercipta sejak efek globalisasi yang juga telah lama mendiaspora ini, menghadirkan aktor baru dan peran yang cukup krusial. Negara memang menjadi satu aktor yang vital dulu dan kini. Namun hadirnya aktor-aktor baru di luar negara menjadi sebuah strategi perjuangan kebijakan luar negeri Indonesia tanpa batas dan juga inklusif melalui diplomasi Indonesia pada dunia.

Allahu a’lam Bissawaab. (*)

Penulis adalah Pengkaji  Ilmu Hubungan Internasional, Dosen pada Universitas Palangka Raya

Oleh Dr. Yunita Asmawati, S.IP., M.Si

Kuliner adalah salah satu strategi soft power diplomacy terbukti efektif dalam menjadi jembatan kebudayaan” Sugiono, Menteri Luar Negeri Indonesia.

Referensi Diplomasi lebih dari dua dekade lalu menuliskan bahwa Negara merupakan abstraksi dari person dalam hubungan internasionalnya. Namun, negara tidak dapat berkomunikasi dengan menggunakan tata krama individual. Karenanya perlu peran sebagaimana seorang manusia yang menjadi perwakilan sebuah negara bangsa (Berridge dan James 2003).

Misalnya ketika seorang perwakilan negara berbicara dengan perwakilan negara lain baik itu secara langsung atau dengan media elektronik. Selain itu, tanpa disadari terdapat media lain sebagai strategi soft  power diplomacy yang merekat kuat dalam lingkar diplomasi budaya. Media ini mampu menyuguhkan keunikan berkomunikasi. Strategi ini yang disebut dengan gastrodiplomacy, di mana sajian kuliner mampu membangun citra bangsa. Bahkan terdapat momentum hadirnya berbagai sajian kuliner di banyak tempat secara alami kala Ramadhan.

Marwahnya Ramadhan adalah ketika setiap detik ibadah manusia menjadi pemberat amal kebaikan hingga Mubaarak tidak sekedar imaji bagi Ramadhan. Bahkan makna ibadah ini selalu luas mencakup berbagai amal manusia mulai di atas sajadah hingga amal manusia dalam kebaikan di luar sajadah.

Satu di antara keluasan ibadah ini adalah menyediakan kemudahan mendapatkan makanan yang halal lagi thayyib (baik) bagi khususnya umat untuk berbuka puasa hingga bagi umat lain secara luas. Berbuka ala Rasulullah misalnya dengan buah Kurma dan air putih yang bermanfaat bagi kesehatan.

Selain pilihan buah, suatu ketika Rasulullah dalam sebuah riwayat Imam At-Tirmidzi diceritakan dalam kitab Syamail Muhammadiyah pernah menerima hadiah melalui Siti Aisyah berupa Hais pada saat berpuasa. Hais ini merupakan makanan manis yang dibuat dari bahan yang sangat mudah didapatkan di Jazirah Arab berupa Kurma, minyak samin, keju dan tepung. Rasulullah kemudian memakan makanan manis tersebut dan mengatakan “sesungguhnya aku sejak tadi pagi telah berpuasa”.

Bahkan sepotong riwayat Imam At-Tirmidzi tersebut mengingatkan pada pesan tatkala berbuka, tentang ‘berbukalah dengan yang manis’. Maka tidak heran ketika bulan Ramadhan tiba, sajian kuliner manis yang terbuat dari sumber kekayan alam pada suatu wilayah setempat menjadi bagian dari entertain Ramadhan di berbagai Bazar kuliner halal.

Baca Juga :  Hutan dan Sungai Sebagai Wadah dan Wajah Penghidupan Masyarakat Bumi Tambun Bungai

Kuliner Indonesia saat Ramadhan tidak semata tentang makanan manis seperti kolak dan klepon, atau seperti Kue Bingka khas kalimantan, ada Kue Tempungas, Amparan Tatak hingga Hintalu Karuang.

Mencakup gastrodiplomacy Nusantara, Ramadhan tidak sekedar membuat ragam kehadiran sajian manis yang jarang ditemui. Berbagai rempah Nusantara mampu mengolah sumber daya alam Nusantara menjadi sajian otentik yang perlu dikenalkan secara global.

Kalimantan Tengah misalnya mampu menyuguhkan sayur asam kepala ikan Baung, Jelawat hingga kepala ikan Kelabau yang dilengkapi rimbang (sejenis terong asam) atau bersama Umbut Lucung. Hidangan rempah yang mengentertain lainnya misalnya coto menggala hingga gangan umbut rotan. Dilengkapi juga dengan sajian sambal misalnya Kandas Sarai, Sambal Ramania, hingga Sambal Binjai.

Ragam kuliner otentik ini sudah saatnya perlu mengedepan sebagai bagian dari penguatan kapabilitas Indonesia di bidang budaya tidak hanya di internal Indonesia. Namun juga perlu mengglobal melintas batas wilayah Indonesia. Meskipun, beberapa sajian tersebut masih belum mampu menguak begitu banyak kekayaan kuliner Kalimantan Tengah yang pada tahun 2021 baru terdata sekitar 163 sajian kuliner tradisional (Satu data Kalteng).

Data ini cukup membantu untuk secara berangsur menggerakkan sajian makanan khas Kalimantan. Terlebih ketika dikaitkan bagaimana wilayah tepian laut, sungai, hutan, rawa dan dataran tinggi di Kalimantan Tengah mampu menghadirkan budaya yang berbeda pada sajian kulinernya. Tentunya akan semakin meramaikan ragam budaya kuliner Nusantara.

Pun Istilah kuliner memiliki margin perbedaan yang tipis dengan gastronomi. Kuliner menjadi sebuah pemahaman ketika suatu hidangan makanan diperkenalkan resep dan teknik memasaknya, serta tentang bagaimana keterampilan penyajiannya.

Sementara gastronomi sendiri merangkum lebih luas dari sekedar seni menyajikan makanan. Tepatnya melalui Triangle Concept of Indonesian Gastronomy yang saling terhubung.

Pertama di mana terdapat makanan (food) bersama dengan aneka rempahnya (spices). Kedua, terdapat sejarah (history) dengan muatan berbagai macam storytelling-nya. Ketiga adalah budaya (culture), dengan berbagai kegiatan seremonial atau ritualnya. Sehingga pada satu sajian makanan tersisip tentang bagaimana nama yang mewakili filosofi kuliner tersebut apakah itu filosofi bermaknaa kesehatan, kesejahteraan kebaikan hidup. Lalu ada sejarah dan nilai lokal yang ingin diperkenalkan di balik sajian makanan tersebut. Bahkan gastronomi menyiratkan kekayaan alam dan budaya di wilayah asalnya. Maka tepatlah ketika momentum Ramadhan, seperti di bazar makanan, di pasar Ramadhan dan Halal Fair masyarakat sejatinya mencicipi sajian kuliner berbuka puasa, secara alami dibawa ke dalam aktivitas gastronomi. Seperti sebuah pesan yang ingin disampaikan saat berbuka dengan makanan yang halal dan baik akan menjadi  satu cara manusia dalam bertaqwa.

Baca Juga :  Mengukur Kinerja Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja

Uniknya, aktivitas gastronomi ini dilekatkan dengan aktivitas diplomasi suatu negara bangsa hingga dikenal dengan Gastrodiplomasi. Tepatnya ketika makanan terkoneksi dengan sejarah dan budaya.

Misalnya dengan mendudukkan bahwa aktivitas diplomasi sejak beberapa abad kini tidak semata menjadi tugas negara. Dengan tidak bertopang kepada negara sebagai satu-satunya aktor yang berperan dalam kancah hubungan internasional di konstelasi global.

Konteks ini satunya seperti kehadiran berbagai peran penting warga negara dalam membantu berbagai aktivitas diplomasi melalui saluran yang sesuai sebagaimana interaksi masyarakat dengan masyarakat di negara lain atau people to people relations (p to p).

Gastrodiplomasi membidik berbagai cara masyarakat dalam mengedepankan sajian makanan dalam berbagai pertemuan p to p relations ini. Bila tidak pada agenda pertemuan formal yang besar. Maka boleh jadi dengan cara yang paling sederhana dengan menjamu seorang tamu misalnya berbuka puasa dengan makanan khas Indonesia, khususnya Kalimantan Tengah untuk diperkenalkan.

Maka kemudian, Gastrodiplomacy menjadi satu cara yang paling unik bagi masyarakat untuk berada di dalam perjuangan Indonesia dalam mengkarakteri identitas bangsa. Ragam kuliner nusantara yang otentik menjadi penguat kapabilitas negara melalui instrumen kebijakan luar negeri yang lebih inklusif berupa gastrodiplomasi.

Terlebih dengan berbagai keterhubungan yang kini kian masive dan tanpa batas telah memberikan koneksi bagi masyarakat dunia saling terhubung. Jelas telah ada ruang keterbukaan yang tercipta sejak efek globalisasi yang juga telah lama mendiaspora ini, menghadirkan aktor baru dan peran yang cukup krusial. Negara memang menjadi satu aktor yang vital dulu dan kini. Namun hadirnya aktor-aktor baru di luar negara menjadi sebuah strategi perjuangan kebijakan luar negeri Indonesia tanpa batas dan juga inklusif melalui diplomasi Indonesia pada dunia.

Allahu a’lam Bissawaab. (*)

Penulis adalah Pengkaji  Ilmu Hubungan Internasional, Dosen pada Universitas Palangka Raya

Artikel Terkait

Hamba

Batas Waktu

Sujud

Ganti Kaus Kaki

Terpopuler

Artikel Terbaru

/