Keseimbangan itu berarti antara kesalahan dan hukuman setimpal, dan serasi antara tidak terbuktinya dakwaan dan pembebasan dari tuntutan; karena keseimbangan itulah yang menjadi bingkai dari keadilan normatif dan kepastian hukum yang relatif di pengadilan.
Jadi, apabila misalnya seorang PPK dalam perkara barjas didakwa telah melanggar hukum, maka harus dipastikan terlebih dahulu apakah yang dilanggar itu hukum administrasi, hukum perdata, ataukah hukum pidana. Jangan karena ambisi agar dinilai berprestasi maka pelanggaran hukum administrasi atau hukum perdata dipaksakan untuk menjadi pelanggaran pidana.
Kekosongan hukum yang menganga adalah tidak adanya payung hukum yang jelas untuk membatasi perumusan delik dalam dakwaan agar tidak terjadi lompatan semena-mena dan otoriter dari delik administrasi atau perdata ke delik pidana. Padahal salah satu filosofi perumusan KUHAP adalah agar dapat menghindarkan kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menjadikan seseorang sebagai tersangka, terdakwa atau pun terpidana.
Kekosongan ini perlu ditutup dengan perluasan paradigma keadilan restoratif (restorative justice) yang kini diterapkan oleh Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, yaitu me-restore penanganan perkara ke ranah peradilan yang semestinya. Pelanggaran administrasi diselesaikanlah dengan hukum administrasi; pelanggaran perdata dengan hukum perdata, pelanggaran pidana dengan hukum pidana, agar terjadi konsistensi yurisdiksi ranah peradilan.
Jangan semua kesalahan harus di-Tipikor-kan, nanti penjara penuh sesak dengan para pejabat pengguna anggaran dan malah menambah beban pembiayaan rutan dan lapas, karena semua pengambil keputusan dalam hierarki birokrasi pemerintahan akan mudah terjerat kesalahan administrasi yang di-Tipikor-kan.