Keistiqamahan Ulama NU dan Tasawuf Moderat Era 4.0

(Rekognisi Ajaran dan Kontribusi Intelektual Syaikh Mahmud Hashil Palangka Raya)

731

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Dakhoir, SHI, MHI,

PADA umumnya para ulama di Nusantara biasanya lebih banyak mengajarkan ilmu hakikat dan ilmu ma’rifat dengan mengikuti model-model ulama dari timur tengah. Model-model pengajaran seperti ini tentu dirasa sebagian para murid, apalagi jika para Salik tersebut adalah generasi millenial dan zillenial, maka akan merasa kesulitan dalam memahami ilmu yang sangat abstract, menuntut suasana kebatinan yang tenang, dan kebersihan jiwa itu. Tidak mengejutkan untuk menyederhanakan ilmu tasawuf ini, banyak tokoh kontemporer berupaya mencari model-model dan tehnik-tehnik pengajaran ilmu tasawuf agar cepat dan lebih mudah di pahami, seperti ESQ, dan lain-lain.  Kesulitan yang kedua, selain ilmu tasawuf digali dari kitab-kitab yang berbahasa arab, para mursyid terkadang juga mengajarkan dengan pola abstract, pendekatan rasa, dan melalui tutur dan epistemology riyadhah yang berat.

Berbeda dengan ulama NU dari Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Beliau adalah Syaikh Mahmud Hashil bin Syaikh Muhammad Hashil (disingkat Guru Hashil) dari Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Ajaran suluk Guru Hashil tertuang dalam 4 kitab, yaitu Kitab Simpanan Berharga, Kitab Sarantang Saruntung, Kitab Waja Sampai Kaputing, dan Kitab Kayuh Baimbai. Kitab-kitab karya Guru Hashil yang tersebar di daratan Timur Tengah (seperti Mesir, Yaman), dan di Indonesia tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa arab melayu dan berjudul bahasa Banjar dan Bahasa Indonesia, bukan berjudul bahasa arab. Kitab-kitab tersebut saat ini sudah diajarkan di lebih 150 majelis ta’lim di Indonesia, dan sudah dicetak lebih dari 40.000 eksemplar. Kitab dengan genre judul yang menyesuaikan selera pasar ini, ternyata menarik dua ulama besar yang akhirnya turut menelaah dan berkunjung langsung ke majelis Guru Hashil, yaitu Syaikh Muhammad Fadhil Al-Jilani Al-Hasani (Dzurriyat Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani), dan Habib Umar bin Hafidz (Tarim). Nama Guru Hashil memang belum begitu populer di kalangan para akademisi dan kaum intelektual. Namun, di mata para ahli suluk, popularitas epistemologi tasawuf muhaqqiqin (ilmu hakikat) Guru Hashil tidak bisa diragukan lagi.

Riwayat Singkat Guru Hashil Palangka Raya

Nama lengkap beliau adalah KH. Mahmud Hashil bin Muhammad Hashil, beliau dilahirkan di Banjarmasin pada tahun 1950. Beliau disekolahkan oleh ayah beliau di Pondok Pesantren Darussalam Martapura Kalimantan Selatan, sampai selesai pada tahun 1973. Setelah selesai menuntut ilmu di Pondok tersebut, beliau mengkhususkan mempelajari ilmu-ilmu agama, antara lainnya Ilmu hakikat atau Ilmu Tasawuf Muhaqqiqin kepada Tuan Guru KH. Abdul Syukur di Teluk Tiram Banjamasin dan belajar kepada Tuan Guru K. H. Anang Ramli, Bati-Bati, Kalimantan Selatan. Setelah itu Guru Hashil hijrah ke Palangka Raya pada tahun 1990 dan menetap di Palangka Raya sampai sekarang. Meskipun beliau di Palangka Raya, namun beliau tetap rutin melakukan safari pengajian seperti ke Kalimantan dan sekitarnya.

Kitab Simpanan Berharga

Karya Guru Mahmud Hashil Palangka Raya

Kitab pertama karya Guru Hashil berjudul Kitab Simpanan Berharga. Kitab ini dinamakan dengan Kitab Simpanan Berharga karena kegembiraan dan rasa “nyaman hati” Guru Hashil dalam mengajarkan mutiara-mutiara hikmah dalam sohifah-sohifah yang berasal dari guru-guru beliau. Mutiara-mutiara itulah yang disebut dengan simpanan berharga. Kitab ini dicetak prtama sekitar tahu 2004, memiliki 416 halaman, dan membahas tentang epistemology penyempurnaan diri dengan berwasilah kepada Nur Muhammad serta jalan fana’ dan istighraq pada Nur Muhammad saw. Hingga tahun 2023, Kitab Simpanan Berharga telah dicetak berulang kali hingga lebih dari 26 ribu eksemplar dan telah diajarkan dilebih 150 majelis beserta kitab-kitab karya beliau yang lain.

Kitab Sarantang Saruntung

Kitab yang kedua, berjudul Kitab Sarantang Saruntung. Sarantang Saruntung adalah ungkapan Guru Hashil dalam mengekspresikan begitu dekatnya dan selalu bersama-sama di mana saja dan ke mana saja antara beliau dengan Nur Muhammad. Jadi sarantang saruntung berarti kebersamaan di mana dan ke mana saja.  Kitab ini ditulis tahun 2016 dan pertama kali dicetak tahun 2019. Kitab ini memiliki 416 halaman berisi tentang 4 bab yaitu kajian ma’rifat af’al dan sifat, asma’ Allah dan zat Tuhan yang suci, sebenar-benar diri pada hakikat, wasilah dan zikir.

Kitab Waja Sampai Kaputing

Kitab ketiga adalah Waja Sampai Kaputing yang berasal dari filosofi hidup masyarakat Banjar. Waja sampai kaputing artinya tetap bersemangat dan kuat bagaikan baja dari awal sampai akhir hayat. Guru Hashil menamakan karya kitab beliau dengan waja sampai kaputing, agar semangat para salik mengenal Nur Muhammad lebih mudah dan lebih menggelora. Kitab Waja Sampai Kaputing ditulis tahun 2017 dan telah dicetak berkali-kali pada tahun berikutnya. Judul kitab yang mengikuti selera pasar ini, telah menjadi buah spiritual para salik saat ini.  Hingga saat ini kitab ini sudah dicetak lebih dari 20.000 eksemplar. Kitab ini terdiri dari 585 halaman, dan terdiri dari 10 bab besar. Bab-bab itu mengkaji syarat fikih Imam Syafii, suci pada syariat dan hakikat serta ma’rifat, istinja’ syariat dan hakikat, wudhu syariat dan hakikat serta ma’rifat, sembahyang syariat dan hakikat serta ma’rifat, cara mengenal diri secara hakikat dan mengamalkannya, segala ma’rifat dan tajalli serta maqam, ibadah syariat dan hakikat serta ma’rifat, jalan Nur Muhammad Saw dan fana’ serta istighraq, empat hadrat dan dua maqam.

Kitab Kayuh Baimbai

Kitab termutakhir karya Guru Hashil berjudul Kitab Kayuh Baimbai. Kitab ini berjumlah 451 halaman. Dan sudah tercetak pada tahun 2022 lebih dari 2 ribu eksemplar. Kitab ini diberi nama Kayuh Baimbai, adalah karena didalam hidup ini kita harus baimbai artinya bersama. Sedangkan Kayuh artinya alat pendayung untuk melangkah menjalankan perahu. Jadi Kayuh Baimbai adalah mengayuh bersama. Dalam mutiara tasawuf muhaqqiqin, kehidupan harus dikayuh bersama. Seseorang mengayuh perahu kehidupan secara sendiri tidak akan pernah merasakan ringan dalam menjalani kehidupan. Hal yang berat selanjutnya, bagi yang menjalankan kehidupan sendiri adalah tidak akan pernah sampai pada tujuan, apalagi cepat sampai tujuan. Sampan kehidupan harus di gerakkan bersama-sama. Mitra dalam mengayuh itu tidak lain adalah berdua, yaitu satu kayuh untuk seorang hamba yang mulya dan satu kayuh untuk Tuhan yang maha suci dan maha mulya. Mendayung secara bersama artinya, berwasilah kepada Nur Muhammad, Nur adalah nama Allah yang baik, dan Muhammad adalah nama Nabi Besar Muhammad saw. Kitab ini menerangkan tentang pentingya ilmu tauhid, kemudian membahas jalan-jalan yang di ridhai Allah dan Rasulullah, dan di tutup dengan pengkajian secara komprehensif mahabbah kepada Allah dan Rasulnya.

Baca Juga :  Dukung Percepatan Implementasi Indonesia's FOLU Net Sink 2030

Rekognisi Ajaran

Rekognisi dan moderasi kesalikan Guru Hashil dapat dilihat kekaguman dua ulama besar yaitu Syaikh Muhammad Fadhil al-Jilani al-Hasani dan Habib Umar bin Hafidz Tarim. Ajaran ilmu hakikat dan ma’rifat yang beliau tulis dan beliau ajarkan kepada para salik telah selaras dengan ajaran ahlussunnah waljama’ah.

Tingkatan tasawuf ada 4 martabat, yaitu tasawuf syar’iyyin, tasawuf mutakallimin, tasawuf mutasawwifin, dan tasawuf muhaqqiqin (hakikat). Guru Hashil menjelaskan ilmu hakikat, dengan istilah “Al-haqiqatu ashlun, wal ma’rifatu wal th-thariqatu wal syaria’tu far’un.” Artinya yaitu hakikat adalah ushul atau dasar, sedangkan ilmu ma’rifat, tahriqah dan syariat adalah cabang. Guru Hashil mengkiaskan posisi hakikat sebagai pemerintah pusat, sedangkan ma’rifat adalah pemerintah daerah (provinsi), thariqah merupakan wilayah pemerintah kabupaten, dan syariat adalah wilayah kecamatan. Posisi ini menempatkan maqam hakikat sebagai dimensi mutlak yang harus di pahami, di tadzimi, dan diwasilahi. Hakikat diri dalam ajaran Guru Hashil yaitu ketika diri mampu mengembalikan kepada titik kesadaran penuh yaitu sebenar-benar diri. Sebenar-benar diri itu tidak lain adalah bersumber dari Nur Muhammad. Tentu saja tasawuf yang dikembangkan, harus terus merangkak naik. Dan menurut beliau, tasawuf level muhaqqiqin sebagai epistemologi tasawuf terawal karena bersumber dari Nur Muhammad. Ajaran Nur Muhammad bagi beliau bukan ajaran yang baru, karena Nur Muhammad bersumber dari warisan mulya Nabi Besar Muhammad saw. Kata “Nur” bersumber dari al-Quran dan “Muhammad” juga bersumber didalam al-Quran.

Caranya tentu banyak sekali, salah satu yaitu dengan memahami dan melakukan fana’ dan istighraq. Fana dan istighraq secara singkat diartikan dengan menyelinapkan diri kepada sumber utama yaitu Nur Muhammad, atau jika di dalam kitab Durrunnafis dengan istilah memisrakan Nur Muhammad. Jalan menyelinapkan diri ini jika di dalam al-Quran dikenal dengan istilah berwasilah, jika menurut Syaikh Samman dikenal dengan berwasilah di jalan hakikat, jika menurut Guru Sakumpul dengan istilah mengenal asal mula kejadian diri dengan memisrakan Nur Muhammad, jika menurut Syaikh Muallim Abdul Syukur Teluk Tiram dengan istilah jalan membujurakan diri. Landasannya adalah sebagaimana dijelaskan didalam QS Al-Isra’ ayat 80, yaitu: Waqul rabbi adkhilni mudkhala sidqin wa akhrijni mukhraja waj’al li min ladunka sulthanan nashiran. Yang artinya, “Ya tuhanku masukkanlah aku tempat masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku ketempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi engkau kekuasaan yan menolong (ku).” Maqam fana’ yang begitu banyak, bagi Guru Hashil harus ditemukan fana’ yang paling awal dan paling tua. Fana’ yang paling tua adalah fana’ hakikat. Fana’ hakikat merupakan fana’ la yakunu ‘abdu illa nuruhu shallallahu alaihi wasallam, yang artinya tidak ada hamba kecuali Nur Muhammad saw. Inilah fana’ hakikat, yang untuk mempermudah pemahaman, beliau menggunakan istilah fana’ hakikat dengan istilah “bini tuha” (istri tua) yang di belahan alam ini hanya satu saja. Sementara fana’-fana’ yang lain adalah “bini anum” (istri muda) yang banyak macam, ragam dan modelnya. Jadi, tasawuf Muhaqqiqin, adalah jalan menempuh kesempurnaan diri secara hakikat dengan menghubungkan atau menyelinapkan atau memisrakan diri dengan dzat muqaddasah dan dengan dzat syarifah. Guru Hashil mengungkapkan dengan istilah: Anna hakikatun nafsi bilhakikati, multahatun bi dzatil muqaddasah wa bi dzatil syarifah. Artinya: sesungguhnya diri ini secara hakikat, adalah pertemuan antara dzat yang suci, dan dengan dzat yang mulya. Istilah dzat muqaddasah dan dzat syarifah adalah dua kata yang harus diperjelas dan dipetegas, bahwa yang dimaksud Dzat muqaddasah tidak lain dan tidak bukan adalah diri Tuhan yang suci, yaitu Nur diri bagi Tuhan (Nur Dzat). Sedangkan maksud Dzat Syarifah tidak lain dan tidak bukan adalah diri yang mulia Nabi Muhammad saw.

Baca Juga :  Optimalkan Kinerja Fungsi Pengawasan

Ketika seorang salik mampu mempertemukan kedua dzat yang suci dan yang maha suci itu maka akan lahirlah peleburan cahaya yang luar biasa. Guru Hashil mengkiaskan hal tersebut dengan QS Annahl ayat 66 yaitu: Wainna lakum fil an’ami la’ibratan,nusqikum mimma fi buthunihi min baini fartsin wa damin labanan khalishan saaighan lasyaribiin. Artinya, dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya berupa susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya. Sesuatu yang kotor dan najis berupa darah dan tahi, Allah dengan haqnya memberikan sesuatu kesucian pada yang lahir diantara keduanya. Padahal kedua hal yang menghimpit merupakan sesuatu yang kotor dan najis. Bagi seorang Salik yang berhasil mempertemukan dua yang suci dan yang maha suci, maka salik itu akan dipenuhi cahaya Allah Swt (cahaya Jalal) dan Rasulullah saw (cahaya Jamal). Salik yang dipenuhi cahaya Allah dan Rasulnya maka akan selamat dunia akhirat, dan diampuni segala dosanya.

Murid dan Jamaah

Hampir seluruh jamaah Guru Hashil dan yang mengkaji kitab-kitab Guru Hashil merupakan semua usia, baik generasi tua, maupun generasi millennial. Fenomena ini paling tidak memberikan 3 tanda penting. Pertama, kajian ilmu tasawuf yang mengkaji ilmu hakikat dan ma’rifat yang diajarkan dalam kitab-kitab karangan Guru Hashil telah berhasil memukau dan menarik perhatian kaum millennial dan zillenial. Kitab dengan bahasa sederhana dan berbahasa Indonesia dalam bentuk arab melayu, menjadi salah satu daya tarik kitab tersebut. Kedua, aura kitab karangan Guru Hashil merupakan hasil kreativitas spiritual dan kombinasi ajaran 3 maha guru penting di Bumi Waja Sampai Kaputing (Kaliamantan Selatan) yaitu KH Muallim Abdul Syukur (Teluk Tiram), KH Muhammad Zaini Ghani (Martapura), dan KH Anang Ramli (Bati-bati). Tidak hanya itu, penyampaian ilmu oleh Guru Hashil yang sering membuat jamaah terperanjat kagum merupakan ciri beliau. Sesekali ditengah-tengah pengajian, Guru Hashil selalu memberikan kisah dan cerita nyata yang tidak masuk akal yang disaksikan sendiri oleh Guru Hashil dari 3 maha gurunya. Ketiga, ditengah kondisi banyaknya kegelisahan yang dihadapi generasi millennial dan zillenial, pakem-pakem sederhana suluk Guru Hashil menjadi cahaya terang dan menjadi wasilah keyakinan generasi-generasi yang masih rapuh saat ini. Model pembelajaran ilmu tasawuf yang diajarkan dan diijazahkan oleh Guru Hashil mampu menarik generasi muda-mudi untuk mau masuk dalam dunia spiritual yang dizaman dahulu sangat sulit ditemukan. Oleh sebab itu, kontribusi Guru Hashil yang mampu menenangkan gejolak dan kegelisahan batin gen M dan gen Z patut mendapat apresiasi secara intelektual, terutama ketika gen M dan gen Z mampu menghadirkan Nur Muhammad dalam kehidupan mereka dan generasi dimasa yang akan datang.(*)

*) Penulis adalah Mustasyar PCNU Kota Palangka Raya, Guru Besar IAIN Palangka Raya, Email: ahmad.dakhoir@iain-palangkaraya.ac.id.