Selasa, September 17, 2024
25.6 C
Palangkaraya

Cerita Ramang Sahdi, Empat Hari Tersesat di Hutan (2/selesai)

Konsumsi Buah untuk Bertahan Hidup, Tak Mampu Naik Perahu

Ramang Sahdi tak menyangka bisa tersesat di hutan, lokasi yang saban hari disambanginya untuk mencari kayu. Memikirkan bagaimana bisa tersesat, disertai keanehan demi keanehan yang terjadi, membuat bulu romanya berdiri. Ia merasa tak kuasa, lalu merapalkan doa-doa, meminta pertolongan Yang Kuasa.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

KEESOKAN harinya, Kamis (17/11/2022) Sahdi berusaha kembali mencari jalan pulang. Namun tetap nihil hasil. Rasa lapar pun menyerang. Lantas ia mencari tumbuhan hutan yang sekiranya bisa dijadikan pengganjal perut. Didapatinya empat buah gandis atau kandis (buah hutan yang masam seperti jeruk) berukuran kecil berwarna hijau.

“Kumakan empat buah itu langsung, lalu dalam hati berkata, mudah-mudahan buah gandis ini bisa menghilangkan rasa laparku. Tapi wallahu a lam, kita enggak tau, kumakan empat biji buah gandis itu, empat hari juga aku hilang,” tuturnya.

Dua hari sudah ia tersesat di hutan. Tidur tak karuan. Sempat berusaha mencari pendopo yang bisa dijadikan tempat berteduh, tapi semuanya tergenang air. Alhasil ia terpaksa terpaksa tidur di dahan pohon.

“Tidak tenang tidurnya. Kalau mulai terlelap, saya berusaha untuk sadar lagi, biar tidak jatuh, karena saya tidur sambil mencengkeram ranting, kalau saya terlelap dan cengkeraman terlepas, pasti jatuh,” ungkapnya.

Meski sudah berusaha, tapi kekuatan fisiknya punya keterbatasan. Pernah sekali jatuh karena terlelap. “Tengah malam satu kali aku nyebur, pas mau hanyut tidur, terkejut, lalu terlepas pegangan, ya nyebur jadinya,” ucap Sahdi sembari tersenyum kecil.

Memasuki hari ketiga, Jumat (18/11), turun hujan. Keanehan kembali dialami pria kelahiran Kapuas itu. Kali ini ia mendengar orang memukul garantung, tapi ia urung mencari sumber suara itu karena menurutnya terlalu jauh. Meski harus menahan rasa dingin, pagi itu Sahdi mencoba lagi menemukan jalan pulang. Ia membawa serta pisau untuk menebas rumput yang menghalangi pandangannya. Namun hingga sore tiba, jalan pulang tak kunjung ditemukan. Sesekali berenang menyusuri beberapa parit kecil. Pencarian jalan selama tiga hari itu selalu diselingi Sahdi dengan berenang.

Baca Juga :  Bupati Meresmikan Majelis Raudhatul Muhibbin

“Selama tiga hari aku itu seolah ada yang mendampingi, jadi saat berenang itu aku tidak merasa capek, berenang terus,” tuturnya.

“Rintis (jalan setapak) itu enggak ketemu, aku malah nyasar, badanku sudah penuh duri-duri. Saya sudah mikir, bisa mati juga kalau gini terus. Rupanya Allah berkehendak lain. Hari jumat itu, saya tidur lagi di hutan, hujan lebat dan angin kencang,” tambahnya.

Badannya gemetar. Rasa dingin yang teramat sangat melesak dalam tubuhnya. Kerutan tanda penuaan di sekujur tubuh makin bertambah karena rasa dingin yang menyiksa. Bibirnya tak kuasa lagi menahan agar tidak gemeretak. Yang dikenakannya hanyalah celana training. Baju dilepas karena basah.

“Pasrah saja dalam kondisi seperti itu, alhamdulillah saya tidak merasa lapar, setelah makan buah gandis itu tidak merasa lapar lagi, tidak pernah ada bunyi keroncongan di perut,” katanya.

Meski tidak kelaparan, tapi rasa dingin terus berkecamuk. Dalam kondisi itu ia bersikukuh untuk tidur. Masih di tempat yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Pencarian jalan pulang pada hari ketiga belum membuahkan hasil. Malam itu ia bermimpi sudah pulang ke rumah dalam kondisi selamat.

Memasuki hari keempat, Sahdi melakukan pencarian jalan pulang dengan berenang. Hari itu langit terang benderang. Setelah beberapa saat berenang, akhirnya ia menemukan apu-apu terhampar pada danau di tengah hutan. Di tempat itu juga tumbuh pohon kayu tanpa daun. Lokasi yang pas untuk meminta pertolongan dari atas pohon, agar suaranya bisa terdengar dari berbagai penjuru. Ia pun memanjat pohon itu hingga puncak, lalu berteriak meminta bantuan.

“Sampai ujung, lalu saya teriak minta tolong, tapi enggak ada yang nyahut,” tuturnya sambil menirukan suara minta tolong.

“Sekalian saja saya berjemur sampai badan terasa hangat, kemudian turun lagi ke air. Namanya air putih keruh, ya dingin sekali, tapi karena dalam posisi nyasar, rasa dingin itu tidak terasa lagi,” ungkapnya.

Baca Juga :  Titian Permudah Mobilitas Perekonomian

Kemudian Sahdi melanjutkan pencarian jalan dengan berenang. Lalu ia menemukan tempat terang yang di sisinya terdapat bekas lukah (alat penangkap ikan terbuat dari kawat yang diletakkan tak seberapa dalam dari permukaan air) yang terpasang pada pinggir pematang. Tanda-tanda kehidupan terlihat. Muncul secercah harapan dalam hatinya. Sahdi pun memutuskan untuk mengikuti arah bekas lukah yang dipasang berjejer itu, hingga akhirnya menemukan lanting. Namun tenaganya sudah banyak terkuras. Hanya bisa berenang sampai di pertengahan menuju lanting. Tubuhnya tak mampu lagi bergerak. Lemas. Beruntung pertolongan Tuhan datang pada saat yang tepat.

“Pas saya berenang menuju lanting, sudah enggak mampu, sampai tengah-tengah saja, badanku lemas sekali. Nah waktu itu kebetulan melihat orang sekampung bernama Bapak Nanda. Langsung saya teriak minta tolong, beruntung didengar, lalu dia datang memberi pertolongan, untuk naik ke perahu saja saya sudah enggak mampu, dia yang ngangkat saya,” tutur anak kedelapan dari sepuluh bersaudara itu.

Tuhan masih memberi kesempatan bagi Sahdi untuk hidup. Padahal pria kelahiran 1979 itu sempat pesimistis saat menyadari telah tersesat di hutan dan tak tahu juntrungannya. Beruntung selama tersesat ia tak pernah bertemu hewan-hewan buas yang bisa membahayakan nyawanya. Satu-satunya yang menjadi momok baginya kala itu adalah rasa dingin dan rasa takut karena berada di hutan tanpa teman.

Tragedi itu memberikan pelajaran berharga baginya untuk tidak lagi bekerja sendiri di area hutan. ”Ya Allah, tobat kubilang, enggak mau lagi aku nyasar, siksa sekali,” ungkapnya.

Hikmah besar dipetik Sahdi dari pengalamannya ini. Karena itu ia menyarankan orang sekampungnya untuk tidak sendirian jika ingin memasuki wilayah hutan agar tidak sampai nyasar. “Namanya di hutan, mau minta tolong ke siapa kalau tersesat, jangan sampai nyasar, itu pesan saya kepada teman-teman, kalau kerja janganlah sendiri, paling tidak ada yang menemani, kalau sudah hampir sore, ya cepat pulang,” tandasnya. (*/ce/ala)

Ramang Sahdi tak menyangka bisa tersesat di hutan, lokasi yang saban hari disambanginya untuk mencari kayu. Memikirkan bagaimana bisa tersesat, disertai keanehan demi keanehan yang terjadi, membuat bulu romanya berdiri. Ia merasa tak kuasa, lalu merapalkan doa-doa, meminta pertolongan Yang Kuasa.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

KEESOKAN harinya, Kamis (17/11/2022) Sahdi berusaha kembali mencari jalan pulang. Namun tetap nihil hasil. Rasa lapar pun menyerang. Lantas ia mencari tumbuhan hutan yang sekiranya bisa dijadikan pengganjal perut. Didapatinya empat buah gandis atau kandis (buah hutan yang masam seperti jeruk) berukuran kecil berwarna hijau.

“Kumakan empat buah itu langsung, lalu dalam hati berkata, mudah-mudahan buah gandis ini bisa menghilangkan rasa laparku. Tapi wallahu a lam, kita enggak tau, kumakan empat biji buah gandis itu, empat hari juga aku hilang,” tuturnya.

Dua hari sudah ia tersesat di hutan. Tidur tak karuan. Sempat berusaha mencari pendopo yang bisa dijadikan tempat berteduh, tapi semuanya tergenang air. Alhasil ia terpaksa terpaksa tidur di dahan pohon.

“Tidak tenang tidurnya. Kalau mulai terlelap, saya berusaha untuk sadar lagi, biar tidak jatuh, karena saya tidur sambil mencengkeram ranting, kalau saya terlelap dan cengkeraman terlepas, pasti jatuh,” ungkapnya.

Meski sudah berusaha, tapi kekuatan fisiknya punya keterbatasan. Pernah sekali jatuh karena terlelap. “Tengah malam satu kali aku nyebur, pas mau hanyut tidur, terkejut, lalu terlepas pegangan, ya nyebur jadinya,” ucap Sahdi sembari tersenyum kecil.

Memasuki hari ketiga, Jumat (18/11), turun hujan. Keanehan kembali dialami pria kelahiran Kapuas itu. Kali ini ia mendengar orang memukul garantung, tapi ia urung mencari sumber suara itu karena menurutnya terlalu jauh. Meski harus menahan rasa dingin, pagi itu Sahdi mencoba lagi menemukan jalan pulang. Ia membawa serta pisau untuk menebas rumput yang menghalangi pandangannya. Namun hingga sore tiba, jalan pulang tak kunjung ditemukan. Sesekali berenang menyusuri beberapa parit kecil. Pencarian jalan selama tiga hari itu selalu diselingi Sahdi dengan berenang.

Baca Juga :  Bupati Meresmikan Majelis Raudhatul Muhibbin

“Selama tiga hari aku itu seolah ada yang mendampingi, jadi saat berenang itu aku tidak merasa capek, berenang terus,” tuturnya.

“Rintis (jalan setapak) itu enggak ketemu, aku malah nyasar, badanku sudah penuh duri-duri. Saya sudah mikir, bisa mati juga kalau gini terus. Rupanya Allah berkehendak lain. Hari jumat itu, saya tidur lagi di hutan, hujan lebat dan angin kencang,” tambahnya.

Badannya gemetar. Rasa dingin yang teramat sangat melesak dalam tubuhnya. Kerutan tanda penuaan di sekujur tubuh makin bertambah karena rasa dingin yang menyiksa. Bibirnya tak kuasa lagi menahan agar tidak gemeretak. Yang dikenakannya hanyalah celana training. Baju dilepas karena basah.

“Pasrah saja dalam kondisi seperti itu, alhamdulillah saya tidak merasa lapar, setelah makan buah gandis itu tidak merasa lapar lagi, tidak pernah ada bunyi keroncongan di perut,” katanya.

Meski tidak kelaparan, tapi rasa dingin terus berkecamuk. Dalam kondisi itu ia bersikukuh untuk tidur. Masih di tempat yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Pencarian jalan pulang pada hari ketiga belum membuahkan hasil. Malam itu ia bermimpi sudah pulang ke rumah dalam kondisi selamat.

Memasuki hari keempat, Sahdi melakukan pencarian jalan pulang dengan berenang. Hari itu langit terang benderang. Setelah beberapa saat berenang, akhirnya ia menemukan apu-apu terhampar pada danau di tengah hutan. Di tempat itu juga tumbuh pohon kayu tanpa daun. Lokasi yang pas untuk meminta pertolongan dari atas pohon, agar suaranya bisa terdengar dari berbagai penjuru. Ia pun memanjat pohon itu hingga puncak, lalu berteriak meminta bantuan.

“Sampai ujung, lalu saya teriak minta tolong, tapi enggak ada yang nyahut,” tuturnya sambil menirukan suara minta tolong.

“Sekalian saja saya berjemur sampai badan terasa hangat, kemudian turun lagi ke air. Namanya air putih keruh, ya dingin sekali, tapi karena dalam posisi nyasar, rasa dingin itu tidak terasa lagi,” ungkapnya.

Baca Juga :  Titian Permudah Mobilitas Perekonomian

Kemudian Sahdi melanjutkan pencarian jalan dengan berenang. Lalu ia menemukan tempat terang yang di sisinya terdapat bekas lukah (alat penangkap ikan terbuat dari kawat yang diletakkan tak seberapa dalam dari permukaan air) yang terpasang pada pinggir pematang. Tanda-tanda kehidupan terlihat. Muncul secercah harapan dalam hatinya. Sahdi pun memutuskan untuk mengikuti arah bekas lukah yang dipasang berjejer itu, hingga akhirnya menemukan lanting. Namun tenaganya sudah banyak terkuras. Hanya bisa berenang sampai di pertengahan menuju lanting. Tubuhnya tak mampu lagi bergerak. Lemas. Beruntung pertolongan Tuhan datang pada saat yang tepat.

“Pas saya berenang menuju lanting, sudah enggak mampu, sampai tengah-tengah saja, badanku lemas sekali. Nah waktu itu kebetulan melihat orang sekampung bernama Bapak Nanda. Langsung saya teriak minta tolong, beruntung didengar, lalu dia datang memberi pertolongan, untuk naik ke perahu saja saya sudah enggak mampu, dia yang ngangkat saya,” tutur anak kedelapan dari sepuluh bersaudara itu.

Tuhan masih memberi kesempatan bagi Sahdi untuk hidup. Padahal pria kelahiran 1979 itu sempat pesimistis saat menyadari telah tersesat di hutan dan tak tahu juntrungannya. Beruntung selama tersesat ia tak pernah bertemu hewan-hewan buas yang bisa membahayakan nyawanya. Satu-satunya yang menjadi momok baginya kala itu adalah rasa dingin dan rasa takut karena berada di hutan tanpa teman.

Tragedi itu memberikan pelajaran berharga baginya untuk tidak lagi bekerja sendiri di area hutan. ”Ya Allah, tobat kubilang, enggak mau lagi aku nyasar, siksa sekali,” ungkapnya.

Hikmah besar dipetik Sahdi dari pengalamannya ini. Karena itu ia menyarankan orang sekampungnya untuk tidak sendirian jika ingin memasuki wilayah hutan agar tidak sampai nyasar. “Namanya di hutan, mau minta tolong ke siapa kalau tersesat, jangan sampai nyasar, itu pesan saya kepada teman-teman, kalau kerja janganlah sendiri, paling tidak ada yang menemani, kalau sudah hampir sore, ya cepat pulang,” tandasnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/