Pameran Inovasi Pendidikan Kalteng Berkah menampilkan banyak karya inovasi dan kreativitas siswa-siswi dan guru tingkat SMA/SMK/SLB se-Kalteng. Salah satu wujud kreativitas yang menonjol diperlihatkan oleh SLBN 2 Pangkalan Bun. Mereka menampilkan karya seni berupa gambar yang dibentuk dari untaian demi untaian benang.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
GALLERY String Art SLBN 2 Pangkalan Bun. Tulisan itu terpampang jelas di depan tenda salah satu peserta Pameran Inovasi Pendidikan Kalteng Berkah di Aula Kantor Dinas Pendidikan Kalteng, lokasi pameran hasil kreativitas siswa-siswi sekolah luar biasa (SLB). Dalam tenda itu, salah satu siswa sedang berkonsentrasi menguntai benang dari paku ke paku yang dibentuk melingkar. Untaian demi untaian itu akhirnya membentuk wajah seseorang.
Saya (penulis, red) pun tertarik setelah melihat salah satu karya yang dihasilkan. Setelah saya mendekat, tampak wajah Gubernur Kalteng yang terbentuk dari untaian-untaian benang yang ditumpuk-tumpuk itu. Berbentuk bulat sesuai bentuk paku yang menjadi titik untaian benang. Sungguh karya yang luar biasa. Proses pembuatannya pun cukup rumit. Memikirkannya saja, saya sudah pusing.
Setelah asyik melihat siswa itu menguntai benang demi benang membentuk gambar yang dinamakan seni benang itu, saya disapa oleh pria bertubuh sedikit tambun. “Panggilannya Aan ini, Mas. Nama lengkapnya Anugrah Fathur Rohman, siswa kami,” ucap Waldianto sembari menunjuk siswa yang tengah fokus dengan benang-benang di depannya.
Waldianto memperkenalkan diri. Ia merupakan guru mata pelajaran prakarya di SLBN 2 Pangkalan Bun. Saban hari ia melatih beberapa siswa yang memiliki minat dalam seni menggambar menggunakan benang, yang memang merupakan salah satu mata pelajaran prakarya di sekolah itu. Masuk dalam mata pelajaran prakarya string art.
“Setiap hari, ini jadi mata pelajaran di sekolah, prakarya bagian string art. Di situ siswa-siswi yang memiliki minat dalam pelajaran itu kami latih dan bimbing,” ungkap Waldianto di tenda pameran, Selasa (15/11).
Menggambar dalam string art membutuhkan tingkat imajinasi yang tinggi dan kecermatan untuk memilih jenis benang yang dapat membentuk gradasi tertentu, sehingga dapat menghasilkan gambar yang diinginkan. “Jadi kita harus bisa mengkreasikan benang mana saja agar bisa dapat gradasinya,” ucapnya.
Berbeda seperti melukis di atas kanvas, lanjut Waldianto, proses pembuatan gambar dalam string art memerlukan imajinasi yang tinggi. Sebab, benang memiliki warna yang terbatas. Berbeda dengan cat acrylic yang dapat dicampur sehingga menghasilkan warna yang beragam. Dalam seni string art, seseorang harus bisa mengkreasikan benang mana yang harus dapat gradasinya, sehingga pada akhirnya bisa menghasilkan gambar yang diinginkan.
Sebagai seorang guru yang mengajarkan hal serumit itu kepada siswa-siswi SLB, Waldianto justru mengaku tertantang. Dikatakannya, para siswa SLB bisa cepat menangkap pelajaran yang diajarkan. Tergantung dari keuletan, minat dan bakat mereka, serta kesabaran yang ekstra. “Misalkan kalau tidak ada minat dan bakat, lalu kita nyerah, itu tidak boleh, kita harus sabar, sabar, dan sabar,” tuturnya.
Menurutnya tidak ada kriteria khusus bagi siswa SLB untuk mempelajari string art. Namun sebagian besar yang mengikuti pelajaran string art ini adalah tunarungu dan tunagrahita.
“Kalau tunarungu seperti Anugrah Fathur Rohman itu, daya tangkapnya lumayan cepat, tunagrahita agak sedikit lambat. Ke depannya saya juga akan mengajarkan untuk yang autis,” ucapnya.
Waldianto menambahkan, lukisan string art yang dihasilkan para siswa sudah dalam mulai dipasarkan. Ia menyebut bahwa hasil karya para siswa itu punya peluang besar laku terjual di pasaran. “Sasaran pemasaran kami adalah kafe-kafe, kantor-kantor dinas, maupun tempat lain,” ucapnya.
Untuk bisa menghasilkan satu produk string art, kata Waldianto, butuh waktu tiga hingga lima hari pengerjaan. Tergantung besar kecil ukuran gambar dan kerumitan sketsanya.
“Paling cepat itu tiga hari, paling lama lima hari. Kalau yang berwarna, bisa sampai dua minggu lamanya. Tergantung ukuran dan tingkat kerumitan,” pungkasnya. (ce/ram)