Pada 2019, sepuluh perusahaan tercatat di Indonesia yang masuk dalam kategori ASEAN Asset Class berdasarkan ACGS. Hal ini menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Jumlah perusahaan tercatat yang masuk dalam ACGS tiap tahun juga mengalami peningkatan. Artinya sudah banyak perusahaan tercatat di Indonesia yang memiliki tata kelola yang baik.
Pada 2012, rata-rata total skor perusahaan di Indonesia baru mencapai 43,29 dan terus meningkat hingga mencapai 70,8 pada 2019. “Meski terus terjadi peningkatan tiap tahun dalam pencapaian ACGS, tapi masih ada potensi perbaikan skor negara kita, karena melihat secara umum bahwa kita masih tidak lebih tinggi dari negara lain yang berpartisipasi di ACGS kecuali Vietnam,” tutur Menko Airlangga.
Oleh karena itu, Menko berharap kepada perusahan-perusahan yang melantai di bursa untuk berpartisipasi penuh dalam menerapkan praktik tata kelola yang baik. Perusahaan Indonesia yang telah tercatat dalam ASEAN Asset Class tersebut dapat dijadikan contoh dan motivasi. Ke depannya, diharapkan skor rata-rata Indonesia dalam ACGS bisa meningkat, sehingga mendatangkan lebih banyak lagi investasi ke negara ini.
“Pandemi ini telah mengingatkan kita bahwa kesehatan hanyalah salah satu dari 17 Sustainable Development Goals (SDGs) PBB yang harus menjadi bagian dari keberlanjutan bisnis, baik di sektor publik maupun swasta. Dalam kaitannya dengan GCG, kita perlu mengubah prioritas dan mulai mengidentifikasi risiko lain yang menjadi bagian dari SDGs, seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, bencana alam, dan bencana lingkungan akibat ulah manusia,” terang Menko Airlangga.
Pasalnya, sebagai langkah pertama menuju model ekonomi yang lebih berkelanjutan, bisnis juga harus fokus pada dampak sosial dan lingkungannya. Untuk itu praktik Environmental, Social, and Governance (ESG) atau sering disebut Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) harus diterapkan di seluruh aktivitas bisnis. “Perusahaan perlu menyadari risiko dan mengumpulkan data yang relevan untuk membangun bisnis yang bertahan di masa depan,” imbuhnya.
Akan ada banyak kerugian yang harus ditanggung jika prinsip ESG ini tidak dijalankan di Indonesia, sebab karakteristik geografis negara kepulauan ini rentan terhadap perubahan iklim dan bencana. Selain itu, penerapan ESG juga terbukti berdampak positif bagi kinerja perusahaan.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk mewujudkan SDGs, melainkan perlu upaya kolektif dari stakeholder lain, seperti perusahaan (BUMN/swasta), media, dan lembaga pendidikan.
Praktik tata kelola yang efektif hanya dapat terwujud bila terjadi kesadaran bersama untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG, mulai dari akar rumput sampai pada jenjang para pengambil keputusan strategis,” pungkas Menko Airlangga. (hms/nue/ce/ala)