Jumat, September 20, 2024
36.3 C
Palangkaraya

Elektabilitas Tinggi, Biaya Politik Rendah

PALANGKA RAYA – Sebagian masyarakat telah terbangun sebuah pola pikir, bahwa masuk dunia politik dengan terjun pada pemilihan legislatif (pileg) itu memerlukan biaya yang cukup besar.

Hal ini diperjelas oleh wakil rakyat di Kalimantan Tengah (Kalteng), yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalteng Faridawaty Darland Atjeh. Dia menjelaskan, berpolitik itu memang ada biaya yang sebutannya cost of politic.

”Misal biaya membuat pertemuan, memberi bantuan, biaya perjalanan, biaya bahan sosialisasi atau kampanye, hingga staf yang bantu kita pun perlu kita gajikan,” kata Faridawaty melalui WhatsApp, Rabu (15/2/2023) lalu.

Ketua DPW Nasdem Kalteng itu juga menjelaskan, bahwa setiap calon anggota legislative sebelumnya telah memiliki modal sendiri. Yakni elektabilitas yang tinggi dan sosial yang kuat.

“Tapi itu semua relatif ya. Kalau orang yang terukur sosial dan elektabilitasnya jelas, maka biaya menjadi tidak mahal. Buktinya ada kawan saya yang cuma punya uang longgar Rp 60 juta tapi terpilih,” jelasnya.

Baca Juga :  Sembilan Balon DPD Telah Memperbaiki Berkas

Sementara itu, Jhon Retei, pengamat politik Kalteng menyampaikan, biaya untuk maju pada pemilihan legislatif itu telah mempersiapkan cost of politic yakni dana yang memang harus dikeluarkan untuk transportasi, cetak kartu nama, spanduk di setiap kecamatan, biaya saksi dan relawan, serta akomodasi bertemu warga. Namun biaya politik masing-masing orang dan partai politik berbeda-beda. Belum lagi kalau ada money politik yang digunakan untuk membeli suara.

“Biaya untuk melakukan pertemuan maupun perjalanan, komsumsi, dan pembuatan spanduk itukan yang disebut dengan cost of politic,” tegas Jhon Retei.

“Berapa besar cost of politic itu tergantung dan variatif. Variatif itu bisa dipengaruhi oleh kapasitas si caleg. Apabila si caleg dikenal dengan baik, pemurah, dan sebelum masa pemilihan ia sudah banyak dikenal karena sering melakukan interaksi dengan masyarakat lingkungannya, maka biaya yang akan dikeluarkan relatif rendah,” tambah Jhon yang juga merupakan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya (UPR) itu.

Baca Juga :  Harus Memperketat Pengawasan Pemilu

Hal ini menurutnya, akan berbeda dilalui oleh tokoh yang notabene kurang dikenal masyarakat di lingkungan atau wilayah tertentu. Selain itu, juga aspek geografi dari wilayah masing-masing daerah pemilihan (dapil) juga berpengaruh terhadap cost of politic yang harus dikeluarkan.

Selain itu, cost of politik menurut mantan Bupati Katingan yang kini duduk di Komisi III DPRD Kalteng Duwel Rawing, merupakan biaya operasional dalam kampanye. Menurutnya tidak mungkin pada saat kampanye orang lain yang biayain atau masyarakat.

Duwel memiliki elektabilitas karena mantan bupati itu. Pada saat kampanye, ia mengaku tidak banyak biaya yang dikeluarkan menjelang pemilihan umum. “Pada saat kampanye, masyarakat datang bukan untuk apa-apa, tapi karena ingin bertemu karena merasa kenal makanya masyarakat datang. Itulah dengan elektabilitas tinggi maka akan mengurangi biaya dalam kampanye, maka modal yang dikeluarkan tidak menyentuh angka Rp 1 miliiar,” ungkap Duwel Rawing. (irj/ens)

PALANGKA RAYA – Sebagian masyarakat telah terbangun sebuah pola pikir, bahwa masuk dunia politik dengan terjun pada pemilihan legislatif (pileg) itu memerlukan biaya yang cukup besar.

Hal ini diperjelas oleh wakil rakyat di Kalimantan Tengah (Kalteng), yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalteng Faridawaty Darland Atjeh. Dia menjelaskan, berpolitik itu memang ada biaya yang sebutannya cost of politic.

”Misal biaya membuat pertemuan, memberi bantuan, biaya perjalanan, biaya bahan sosialisasi atau kampanye, hingga staf yang bantu kita pun perlu kita gajikan,” kata Faridawaty melalui WhatsApp, Rabu (15/2/2023) lalu.

Ketua DPW Nasdem Kalteng itu juga menjelaskan, bahwa setiap calon anggota legislative sebelumnya telah memiliki modal sendiri. Yakni elektabilitas yang tinggi dan sosial yang kuat.

“Tapi itu semua relatif ya. Kalau orang yang terukur sosial dan elektabilitasnya jelas, maka biaya menjadi tidak mahal. Buktinya ada kawan saya yang cuma punya uang longgar Rp 60 juta tapi terpilih,” jelasnya.

Baca Juga :  Sembilan Balon DPD Telah Memperbaiki Berkas

Sementara itu, Jhon Retei, pengamat politik Kalteng menyampaikan, biaya untuk maju pada pemilihan legislatif itu telah mempersiapkan cost of politic yakni dana yang memang harus dikeluarkan untuk transportasi, cetak kartu nama, spanduk di setiap kecamatan, biaya saksi dan relawan, serta akomodasi bertemu warga. Namun biaya politik masing-masing orang dan partai politik berbeda-beda. Belum lagi kalau ada money politik yang digunakan untuk membeli suara.

“Biaya untuk melakukan pertemuan maupun perjalanan, komsumsi, dan pembuatan spanduk itukan yang disebut dengan cost of politic,” tegas Jhon Retei.

“Berapa besar cost of politic itu tergantung dan variatif. Variatif itu bisa dipengaruhi oleh kapasitas si caleg. Apabila si caleg dikenal dengan baik, pemurah, dan sebelum masa pemilihan ia sudah banyak dikenal karena sering melakukan interaksi dengan masyarakat lingkungannya, maka biaya yang akan dikeluarkan relatif rendah,” tambah Jhon yang juga merupakan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya (UPR) itu.

Baca Juga :  Harus Memperketat Pengawasan Pemilu

Hal ini menurutnya, akan berbeda dilalui oleh tokoh yang notabene kurang dikenal masyarakat di lingkungan atau wilayah tertentu. Selain itu, juga aspek geografi dari wilayah masing-masing daerah pemilihan (dapil) juga berpengaruh terhadap cost of politic yang harus dikeluarkan.

Selain itu, cost of politik menurut mantan Bupati Katingan yang kini duduk di Komisi III DPRD Kalteng Duwel Rawing, merupakan biaya operasional dalam kampanye. Menurutnya tidak mungkin pada saat kampanye orang lain yang biayain atau masyarakat.

Duwel memiliki elektabilitas karena mantan bupati itu. Pada saat kampanye, ia mengaku tidak banyak biaya yang dikeluarkan menjelang pemilihan umum. “Pada saat kampanye, masyarakat datang bukan untuk apa-apa, tapi karena ingin bertemu karena merasa kenal makanya masyarakat datang. Itulah dengan elektabilitas tinggi maka akan mengurangi biaya dalam kampanye, maka modal yang dikeluarkan tidak menyentuh angka Rp 1 miliiar,” ungkap Duwel Rawing. (irj/ens)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/