PALANGKA RAYA – Pengamat Politik Jhon Retei menjelaskan, Indonesia menganut sistem demokrasi, maka pemilihan mestinya menggunakan sistem proporsional terbuka. Hal ini dikarenakan setiap calon memiliki hak yang sama untuk bisa duduk di kursi legislatif.
Karena ada perbedaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup saat penetapan calon terpilih. Yakni pemilu sistem proporsional terbuka, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan pemilu sistem proporsional tertutup, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut dan ditentukan partai politik. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2.
“Kalau di terbuka, setiap calon memiliki peluang yang sama. Sedangkan tertutup itu, nomor urut sangat berpengaruh pada siapa yang akan duduk, dan itu biasanya diduduki oleh pimpinan partai, ketua, sekretaris, bendahara partai,” ucap Jhon Retei, Senin (20/2/2023).
Karena pemilu sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup yang kedua adalah metode pemberian suara. Pada pemilu sistem proporsional terbuka, pemilih memilih salah satu nama calon. Sedangkan pada pemilu sistem proporsional tertutup, pemilih memilih partai politik.
Pada pemilu sistem proporsional terbuka, memungkinkan hadirnya kader yang tumbuh dan besar dari bawah dan menang karena adanya dukungan massa. Sedangkan pemilu sistem proporsional tertutup didominasi kader yang mengakar ke atas karena kedekatannya dengan elite parpol, bukan karena dukungan massa.
Pada pemilu sistem proporsional terbuka, mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih serta terbangunnya kedekatan antarpemilih.
Pada pemilu sistem proporsional tertutup, memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya serta mampu meminimalisir praktik politik uang.
“Tapi kalau saya rasa apabila alasannya karena maraknya money politic, tidak menutup kemungkinan pada proporsional tertutup juga marak terjadinya hal tersebut,” tegasnya.
Jhon Retei yang juga merupakan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya (UPR) ini menjelaskan, sistem saat ini sudah sangat bagus. Walaupun masih banyak kekurangan di berbagai sektor, namun menurutnya, bukan dengan mengubah sistem untuk mengurangi kekurangan tersebut. Tetapi dievaluasi dan dicari rumusan bagaimana menyempurnakan sistem yang ada.
“Kalau ingin memperbaiki sistem, ya diperbaiki kekurangan, bukan dengan mengubah sistem dan kembali ke sistem yang lama. Proporsional terbuka sudah menjadi sistem layaknya negara demokrasi, dimana semua ditentukan di rakyat,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Yohannes F Ering yang pernah mengikuti dua sistem tersebut mengaku lebih sepakat sistem dikembalikan dengan proporsional tertutup.
“Ya sudah bukan menjadi rahasia lagi, karena proses seleksi kader partai pada proporsional tertutup itu berjalan dengan semestinya, jadi tidak lagi karena ada kemampuan finansial bisa kujuk-kujuk maju dan terpilih,” ucapnya.
Kader PDIP itu meyakinkan bahwa partai bisa menyeleksi secara objektif. Bahkan ia juga yakin bahwa dengan sistem tersebut cost of politic setiap calon bisa lebih diminimalisir. “Bukan berarti sistem tertutup bebas politik uang, akan tetapi bisa lebih diperkecil,” ucapnya.
“Ya saya kira sudah saatnya 2-3 kali pemilihan terbuka diganti dengan proporsional tertutup, bagaimana pun potensi komflik, benturan internal sesama caleg, karena sesuai dengan undang-undang peserta pemilu adalah partai, jadi sudah seharusnya sistem pemilu sesuai dengan konstitusi yang ada,” tegas Yohanes Freddy Ering.
Berbeda dengan Achmad Rasyid. Salah satu anggota legislatif yang juga duduk di kursi DPRD Kalteng yang pernah mengikuti pemilu proporsional tertutup dan terbuka mengaku lebih sepakat proposional terbuka tetap dilanjutkan.
“Karena dengan proporsional tertutup, calon yang nomor urutnya ada di bawah, maka keseringan mereka tidak mau bekerja dalam kampanye,” ucapnya.
Karena pada sistem tertutup, yang akan duduk itu yang menduduki nomor urut teratas. Karena pada pemilu sistem proporsional terbuka, pemilih memilih salah satu nama calon. Sedangkan pada pemilu sistem proporsional tertutup, pemilih memilih partai politik.
“Karena masyarakat ingin melihat figur yang ada pada partai tersebut, maka dengan nomor 9 pun mereka kalau elektabilitas tinggi maka masyarakat bisa memilihnya,” ungkap Achmad Rasyid.
“Hadirnya wacana ini (sistem proporsional tertutup) karena ada kepentingan-kepentingan partai besar di pusat, karena banyak pengurus pusat banyak kalah dengan pengurus daerah, karena banyak pengurus pusat di DPR RI tidak mendapatkan kursi dibanding pengurus provinsi,” tegas Rasyid. (irj/ens)