Senin, Mei 12, 2025
24.1 C
Palangkaraya

Sengkarut Sertifikat di Kotim, Ada Dugaan Mafia Tanah Melibatkan Oknum BPN

 

SAMPIT-Sengketa agraria kembali menjadi sorotan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah.

Sebidang lahan di kawasan Km 6 Jalan Jenderal Sudirman, Bina Karya, Kelurahan Pasir Putih, yang telah bersertifikat sejak awal 1990-an, kini menjadi pusat konflik hukum setelah terbit puluhan sertifikat hak milik (SHM) baru di atas lahan yang sama.

Kuasa hukum pemilik tanah, Nio Hermanto, Edward Saragih, menyebut sedikitnya terdapat 44 SHM baru yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotim tanpa dasar yang jelas dan tanpa pembatalan atas dua sertifikat lama yang sah secara hukum.

“Klien kami memiliki dua SHM, yakni No. 3279 seluas 9.973 meter persegi dan No. 3285 dengan luas 18.239 meter persegi. Keduanya terbit pada tahun 1993 dan 1994, dan tidak pernah dibatalkan secara hukum. Tapi di atas lahan itu kini berdiri puluhan bangunan dengan sertifikat baru,” ujar Edward, Senin (12/5/2025).

Edward menyayangkan sikap BPN yang berdalih tanah tersebut dianggap terbengkalai. Menurutnya, alasan itu tidak berdasar karena di atas lahan itu terdapat kandang ayam aktif sebagai bukti fisik pemanfaatan tanah.

Baca Juga :  Pelajar SMPN 2 Juara 3 Open Turnamen Panglima TNI

“Alasan mereka sangat mengada-ada. Bahkan, yang lebih mengherankan, BPN meminta kami untuk mencari sendiri siapa yang menerbitkan sertifikat-sertifikat baru itu. Ibarat disuruh mencari jarum di tumpukan jerami,” tegasnya.

Proses penerbitan sertifikat baru disebut terjadi dalam rentang waktu 2015 hingga 2022. Namun, Edward menyoroti bahwa tidak pernah dilakukan pengukuran ulang oleh petugas BPN.

Padahal, menurut aturan, pembatalan atau penggantian sertifikat hanya bisa dilakukan melalui keputusan pengadilan, bukan secara sepihak oleh institusi pertanahan.

“Berdasarkan pengecekan melalui aplikasi Sentuh Tanahku dan pengukuran di lapangan, kami menemukan 38 sertifikat yang tumpang tindih. Bisa jadi jumlah aslinya lebih dari itu,” ucapnya.

Beberapa sertifikat baru yang muncul tercatat atas nama Eny Suryanti, Gumer, Irawan Henry, Gunawan Henry, Yayasan Kustiana, hingga Pandang Silalahi.

Diketahui, tanah tersebut awalnya dibeli Nio dari seorang mantan jaksa bernama Taufik yang pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Sampit. Proses jual beli dilakukan pada 1997, dan sertifikat telah resmi dibalik nama atas nama Nio Hermanto tanpa sengketa hukum kala itu.

Baca Juga :  Siap Amankan Nataru, Polda Kalteng Gelar Operasi Lilin Telabang 2021 Selama 10 Hari

Langkah hukum sempat ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya. Namun, dalam putusan perkara Nomor 13/G/2023/PTUN.PLK, hakim menyatakan bahwa sengketa ini masuk ranah kepemilikan, sehingga tidak menjadi kewenangan PTUN melainkan pengadilan perdata.

“Karena mediasi gagal dan PTUN menyatakan tidak berwenang, kami akan menempuh jalur pidana. Kami menduga ada satu oknum BPN, pejabat setingkat kepala seksi, yang merekayasa semua ini,” ungkap Edward.

Pihaknya berkomitmen untuk melaporkan kasus ini secara pidana guna mengungkap siapa saja yang terlibat dalam dugaan praktik mafia tanah. Ia juga menyerukan keterlibatan pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN, serta aparat penegak hukum agar tidak tinggal diam.

“Kotim tidak akan pernah maju jika praktik seperti ini dibiarkan terus terjadi. Ini bukan hanya persoalan klien kami, tapi mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan integritas lembaga pertanahan,” pungkasnya. (mif)

 

SAMPIT-Sengketa agraria kembali menjadi sorotan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah.

Sebidang lahan di kawasan Km 6 Jalan Jenderal Sudirman, Bina Karya, Kelurahan Pasir Putih, yang telah bersertifikat sejak awal 1990-an, kini menjadi pusat konflik hukum setelah terbit puluhan sertifikat hak milik (SHM) baru di atas lahan yang sama.

Kuasa hukum pemilik tanah, Nio Hermanto, Edward Saragih, menyebut sedikitnya terdapat 44 SHM baru yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kotim tanpa dasar yang jelas dan tanpa pembatalan atas dua sertifikat lama yang sah secara hukum.

“Klien kami memiliki dua SHM, yakni No. 3279 seluas 9.973 meter persegi dan No. 3285 dengan luas 18.239 meter persegi. Keduanya terbit pada tahun 1993 dan 1994, dan tidak pernah dibatalkan secara hukum. Tapi di atas lahan itu kini berdiri puluhan bangunan dengan sertifikat baru,” ujar Edward, Senin (12/5/2025).

Edward menyayangkan sikap BPN yang berdalih tanah tersebut dianggap terbengkalai. Menurutnya, alasan itu tidak berdasar karena di atas lahan itu terdapat kandang ayam aktif sebagai bukti fisik pemanfaatan tanah.

Baca Juga :  Pelajar SMPN 2 Juara 3 Open Turnamen Panglima TNI

“Alasan mereka sangat mengada-ada. Bahkan, yang lebih mengherankan, BPN meminta kami untuk mencari sendiri siapa yang menerbitkan sertifikat-sertifikat baru itu. Ibarat disuruh mencari jarum di tumpukan jerami,” tegasnya.

Proses penerbitan sertifikat baru disebut terjadi dalam rentang waktu 2015 hingga 2022. Namun, Edward menyoroti bahwa tidak pernah dilakukan pengukuran ulang oleh petugas BPN.

Padahal, menurut aturan, pembatalan atau penggantian sertifikat hanya bisa dilakukan melalui keputusan pengadilan, bukan secara sepihak oleh institusi pertanahan.

“Berdasarkan pengecekan melalui aplikasi Sentuh Tanahku dan pengukuran di lapangan, kami menemukan 38 sertifikat yang tumpang tindih. Bisa jadi jumlah aslinya lebih dari itu,” ucapnya.

Beberapa sertifikat baru yang muncul tercatat atas nama Eny Suryanti, Gumer, Irawan Henry, Gunawan Henry, Yayasan Kustiana, hingga Pandang Silalahi.

Diketahui, tanah tersebut awalnya dibeli Nio dari seorang mantan jaksa bernama Taufik yang pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Sampit. Proses jual beli dilakukan pada 1997, dan sertifikat telah resmi dibalik nama atas nama Nio Hermanto tanpa sengketa hukum kala itu.

Baca Juga :  Siap Amankan Nataru, Polda Kalteng Gelar Operasi Lilin Telabang 2021 Selama 10 Hari

Langkah hukum sempat ditempuh melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya. Namun, dalam putusan perkara Nomor 13/G/2023/PTUN.PLK, hakim menyatakan bahwa sengketa ini masuk ranah kepemilikan, sehingga tidak menjadi kewenangan PTUN melainkan pengadilan perdata.

“Karena mediasi gagal dan PTUN menyatakan tidak berwenang, kami akan menempuh jalur pidana. Kami menduga ada satu oknum BPN, pejabat setingkat kepala seksi, yang merekayasa semua ini,” ungkap Edward.

Pihaknya berkomitmen untuk melaporkan kasus ini secara pidana guna mengungkap siapa saja yang terlibat dalam dugaan praktik mafia tanah. Ia juga menyerukan keterlibatan pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN, serta aparat penegak hukum agar tidak tinggal diam.

“Kotim tidak akan pernah maju jika praktik seperti ini dibiarkan terus terjadi. Ini bukan hanya persoalan klien kami, tapi mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan integritas lembaga pertanahan,” pungkasnya. (mif)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/