FILM yang disutradarai oleh Bachtiar Siagian dan diproduksi pada tahun 1957 ini mengisahkan perjuangan masyarakat serta sejumlah prajurit Indonesia dalam menghadapi agresi militer Belanda di wilayah Karo, Sumatra Utara, pada masa Revolusi.
“Lokasinya bukan di Berastagi, tapi lebih masuk ke dalam, ke arah pegunungan,” jelas penggiat film Hafiz Rancajale mengenai tempat pengambilan gambar film Turang, yang dilakukan di Desa Seberaya serta beberapa desa lain di wilayah Kabanjahe, Kabupaten Karo.
“Kalau dipikir-pikir, perlengkapan syuting zaman dulu itu kan besar-besar semua. Kameranya saja luar biasa besarnya,” lanjut Hafiz, yang juga menyutradarai film dokumenter Bachtiar, yang mengangkat kisah kehidupan Bachtiar Siagian.
Menurut Hafiz, hal yang layak dicatat dari proses produksi film ini adalah berbagai tantangan teknis serta keberanian sang sutradara untuk melibatkan penduduk lokal sebagai pemeran.
Pengambilan gambar langsung di lokasi nyata, pendekatan yang mengedepankan realisme, serta penggunaan aktor dari kalangan masyarakat setempat mencerminkan semangat neorealisme yang menjadi ciri khas film Turang.
Film dengan gaya seperti ini biasanya merepresentasikan kehidupan masyarakat biasa secara realistis dan apa adanya.
Turang pertama kali ditayangkan di Istana Negara di hadapan Presiden Sukarno. Pada tahun 1960, film ini dinobatkan sebagai film terbaik dalam ajang Pekan Apresiasi Film Nasional—yang kemudian berkembang menjadi Festival Film Indonesia.
Hilangnya Turang, bersama dengan film-film karya Bachtiar Siagian lainnya maupun film-film dari sutradara yang dikenal berpandangan ‘kiri’, tak bisa dipisahkan dari kejadian politik tahun 1965.
Orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak yang ditahan atau dibunuh, termasuk para anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI.
Bachtiar sendiri ditahan dan menjalani masa hukuman selama 12 tahun di Pulau Buru akibat keterlibatannya di Lekra.
Karya para seniman yang terkait dengan Lekra juga mengalami nasib buruk serupa—”kalau tidak dihancurkan, ya disensor,” ujar Bunga Siagian. (*afa)