PALANGKA RAYA-Kasus proyek pembangunan infrastruktur permukiman kumuh di Pulpis, menyeret Yopie Hendra sebagai terdakwa. Sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) megaproyek yang bersumber dari APBN tersebut, Yopie didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) pada kegiatan proyek di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) tahun 2016 lalu itu.
Yopie Hendra duduk sebagai terdakwa dan menjalani sidang perdananya di ruangan sidang II, gedung Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Kamis (8/12/2022). Sidang perdana yang dipimpin ketua majelis hakim Sri Rejeki Marsinta SH MH, beragenda pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pulpis, sekaligus pembacaan eksepsi dari penasihat hukum terdakwa. Yopie Hendra hadir di ruang sidang didampingi tim penasihat hukumnya, Pua Hardinata SH, Lukas Possy SH, dan Frans Yudi SH.
Dalam dakwaan yang dibacakan Alfonsus Hendriatmo SH dan Ricky Purba SH, jaksa penuntut menyatakan terdakwa Yopie Hendra selaku PPK telah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek tersebut. Disebutkan bahwa dugaan perbuatan korupsi tersebut dilakukan bersama terdakwa lainnya yakni saksi Ir TB. A. Rasyid selaku direktur PT Arkindo selaku pihak kontraktor pelaksana proyek pembangunan infrastruktur permukiman kumuh di kawasan Kahayan Hilir (dilakukan Penuntutan dengan berkas perkara terpisah).
Jaksa menyebut, pada 2016 lalu terdapat proyek pembangunan infrastruktur permukiman kumuh di kawasan Kahayan Hilir, Pulpis yang bersumber dari dana APBN tahun anggaran 2016, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal Cipta Karya Nomor MAK: 486551 Satker Pengembangan Kawasan Permukiman dan Penataan Bangunan Kalteng, berdasarkan DIPA dengan pagu anggaran senilai Rp6.330.700.000,00.
Sebelumnya, pihak Pemkab Pulpis melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Pulang Pisau Nomor: 289/2015 telah mengeluarkan penetapan lokasi kumuh dan permukiman kumuh seluas 24,99 hektare. Yopie Hendra kemudian ditetapkan sebagai PPK untuk pembangunan pemukiman kumuh tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor: 600/KPTS/M/2015.
“Pada 23 Maret 2016 dilakukan pengumuman lelang terkait pekerjaan pembangunan infrastruktur pemukiman kumuh kawasan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau,” kata jaksa.
Yang menjadi pemenang lelang proyek tersebut adalah PT Arkindo, dengan nilai penawaran sekitar Rp6.330.000.000.
Selanjutnya pada 27 Juni 2016, terdakwa Yopie Hendra bersama Direktur PT Arkindo Ir TB A. Rasyid melakukan penandatanganan surat perjanjian kerja proyek pembangunan permukiman kumuh di kawasan Kahayan Hilir itu.
Namun dalam proses pengerjaan yang dilakukan PT Arkindo, terdapat banyak perbedaan dan perubahan dari spesifikasi rencana awal. Diketahui pula bahwa pelaksanaan pekerjaan pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan oleh pihak lain yang tidak termasuk dalam struktur PT Arkindo.
“Bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur permukiman kumuh kawasan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau tersebut, saksi TB. A. Rasyid selaku direktur PT Arkindo tidak pernah melaksanakan kegiatan tersebut dan Yopie Hendra selaku PPK tidak pernah memperingatkan dan meminta Ir TB A Rasyid untuk melakukan adendum terkait hal itu” sebut jaksa.
Jaksa menambahkan, terdakwa bersama pihak pelaksana kontrak tidak pernah melakukan uji mutu terkait kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh pihak pelaksana kontrak, untuk memastikan kualitas pekerjaan telah sesuai kontrak.
“Terdakwa Yopie Hendra didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp3.485.318.603,71 (tiga miliar empat ratus delapan puluh lima juta tiga ratus delapan belas ribu enam ratus tiga rupiah tujuh puluh satu sen) atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut, sebagaimana tercantum dalam laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Kalimantan Tengah Nomor: SR-636/PW15/5/2018 tanggal 20 Desember 2018,” beber jaksa Alfonsus Hendriatmo SH yang membacakan dakwaan tersebut.
Yopie Hendra didakwa jaksa dengan dakwaan primer melanggar pasal 2 ayat (1) juncto pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambahkan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta dakwaan subsider melanggar pasal 3 juncto pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambahkan dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Setelah pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut, majelis hakim menanyakan kepada pihak penasihat hukum terdakwa perihal tanggapan atas dakwaan tersebut. mengatakan telah menyiapkan nota eksepsi.
“Yang mulia, eksepsi telah siap, bisa kami bacakan hari ini juga,” jawab Pua Hardinata SH selaku ketua tim penasihat hukum terdakwa Yopie.
Ketua majelis hakim pun kemudian mempersilakan penasihat hukum untuk membacakan pokok materi nota eksepsi.
Penasihat hukum terdakwa mengatakan bahwa dalam kasus korupsi ini, pihaknya menilai telah terjadi tindakan yang berlebihan terhadap kliennya dalam penanganan perkara yang dilakukan oleh pihak penuntut umum yakni Kejari Pulpis. Terutama terkait implementasi dari surat dakwaan, yakni penerapan pasal 55 ayat 1 KUHP terkait unsur dakwaan perbuatan pidana dilakukan bersama-sama, yang mana jaksa menyebut bahwa perbuatan korupsi yang dituduhkan kepada terdakwa Yopie Hendra dilakukan bersama-sama dengan tersangka lain.
“Nyatanya sampai detik ini tidak ada tanda-tanda terdakwa berikutnya, dan tersangka lain kapasitasnya hanya sebagai saksi belaka, ini dapat dilihat pada ekspos media massa,” ujar Pua.
Selain itu, penasihat hukum terdakwa juga menilai ada upaya tebang pilih dalam penetapan tersangka kasus korupsi ini. Sebab, tidak ada dari pihak pengawas proyek atau pelaksana lelang dan penerima hasil pekerjaan proyek yang ditetapkan sebagai tersangka.
“Untuk menetapkan tersangka, memang kewenangan pihak penuntut umum, tapi jangan disebutkan keberadaan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jika hal itu hanya eforia belaka, pihak penuntut umum tidak ada kemampuan untuk menetapkan,” ujar Pua.
Pihak penasihat hukum terdakwa berpendapat bahwa dalam perkara ini ada banyak kewenangan dan tanggung jawab yang mestinya ditanggung pihak lain, tapi malah dibebankan dan menjadi tanggung jawab kliennya.
“Seperti fungsi melaksanakan lelang, fungsi pengawasan, hingga proses pencairan pembayaran,” ujar Pua.
Atas dasar itu, Pua meminta mejelis hakim mengabulkan eksepsi pihaknya dan menyatakan menolak surat dakwaan yang diajukan penuntut umum.
Rencananya sidang kasus korupsi ini akan digelar kembali pada Kamis pekan depan, dengan agenda pembacaan tanggapan jaksa atas nota eksepsi. Sayangnya saat ditemui usai sidang, pihak jaksa penuntut enggan memberikan komentar kepada awak media.
“Kami tidak bisa memberi komentar, langsung ke kantor saja,” kata jaksa Ricky Purba.
Sementara, penasihat hukum terdakwa mempertanyakan tidak adanya terdakwa lain selain kliennya (Yopie Hendra) yang diajukan dalam persidangan. “Ada apa ini? masa jaksa cuma mengajukan Yopie saja yang jadi terdakwa perkara korupsi ini, sungguh tidak adil,” ucap Pua di hadapan awak media. (sja/ce/ala)