Jumat, September 20, 2024
22.8 C
Palangkaraya

Tanah Diklaim Singkang, Warga Jalan Jintan dan Pramuka Siap Adu Data

PALANGKA RAYA-Menyikapi pernyataan Singkang yang mengkalim sebagai pemegang sah tanah di belakang kawasan Masjid Raya Darussalam, sekelompok warga yang merasa tanahnya diklaim pun bereaksi. Mereka menyatakan siap adu data atau dokumen terkait legalitas kepemilihan lahan yang masuk wilayah Kelurahan Menteng itu.

Ketua RT 03/RW 06 Diarto mengatakan, jika memang Singkang betul-betul merasa memiliki tanah di wilayah itu, seharusnya Singkang menunjukkan bukti kepemilikan tanah itu. Apabila memang tanah itu sudah dimilikinya sejak lama, lantas mengapa baru sekarang ia mengklaim tanah yang notabene telah dimiliki sejumlah warga. Bahkan sebagian warga telah mendirikan bangunan dengan status kepemilikan tanah berupa sertifikat hak milik (SHM).

“Sedangkan Singkang itu sudah beberapa kali berusaha mengklaim tanah di sini, empat kali dengan sekarang ini, selama tiga kali sebelumnya dia enggak pernah berhasil,” ucap Diarto kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Minggu (29/1).

Diarto mengatakan, jika memang Singkang merasa pada posisi benar dan punya dasar yang jelas, sebaiknya menemui warga secara langsung. Ia mengaku baru menjabat sebagai RT sejak 2008 lalu, sehingga tidak begitu mengetahui detail asal-muasal tanah masing-masing warga. Namun, Diarto melanjutkan, sejak menjabat sebagai RT, di wilayahnya tidak ada pemilik tanah bernama Singkang.

“Tanah di situ tidak ada yang atas nama Singkang, dia itu memang enggak sekali dua kali, tapi berkali-kali, kalau merasa dia punya tanah di situ, kenapa orang membangun dimintain duit, lalu dipaksa harus membayar sekian, itu kan pemerasan namanya,” ungkap Diarto.

Adapun tanah yang ia miliki di Jalan Jintan itu ia beli dari mantan Lurah Menteng Zaen Panalu. Diarto menyebut lurah Zaen Panalu sendiri telah membuat surat pernyataan bahwa selama periode 1997-2007 tidak pernah menandatangani surat tanah atas nama Singkang di wilayah yang ia tinggali.

“Surat pernyataannya itu sudah ada, diulas sama mantan lurah dan kasipem yang dulu, itu sudah dipegang pengacara kami, Pak Taufik,” ucapnya.

Diarto juga mempersoalkan upaya Singkang dalam melegalkan surat dengan meminta tanda tangan dari ketua RT 05, bukan ke ketua RT 03 yang merupakan pemimpin pada wilayah tanah yang diklaim.

“Wilayah itu bukan wilayah RT 05, bahkan dari tahun-tahun lalu wilayah RT di sini itu masuk wilayah RT 03. Karena RT dulu enggak mau menandatangani, sehingga dia kerja sama dengan RW, yang menandatangani itu adalah RT 05, padahal itu bukan wewenang RT 05, karena wilayah ini masuk wilayah RT 03,” jelasnya.

Lalu, menurut Diarto, surat Singkang yang terdapat tanda tangan lurah sebelumnya Zaen Panalu dan Sumberdinata, bukan tanda tangan yang sebenarnya dari kedua orang itu.

“Tanda tangannya enggak sama, saya sudah cek betul-betul tanda tangan keduanya, makanya kembali lagi ke pernyataan Pak Zaen Panalu bahwa sejak tahun 1997 hingga 2007 tidak pernah menandatangani surat tanah atas nama Singkang di lingkungan RT 03/RW 06,” tandasnya.

Harapan agar masalah sengketa tanah ini segera diselesaikan melalui mediasi atau jalur ligitasi diutarakan oleh Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palangka Raya Saubari Kusmiran, salah satu warga yang tanahnya juga ikut diklaim Singkang.

Saubari mengaku mengetahui Singkang telah membeli tanah di lokasi itu tahun 2000 lalu dari seseorang bernama H Hapid, termasuk tanahnya yang juga tidak luput dari klaim Singkang.

Baca Juga :  2023, Diprediksi Terjadi Kemarau Panjang

“Kita tunggu saja, istilahnya Singkang mengaku juga memiliki tanah di situ dan mau menggarap itu, pada prinsipnya kami sama-sama membeli dari orang lain, tapi bedanya saya beli dari ahli waris tanah di situ, yaitu Sukarjo,” kata Saubari kepada Kalteng Pos via sambungan telepon WhatsApp, kemarin.

Saubari mengaku menyerahkan urusan sengketa tanah ini kepada Akhmad Taufik selaku kuasa hukum pihaknya. “Bagaimana tindakan selanjutnya, itu akan ditangani oleh Pak Taufik, jika bisa dimediasi atau musyawarah, silakan, tapi kalau tidak bisa, terpaksa lewat jalur hukum,” ucapnya.

Menurut Saubari, karena kedua belah pihak sama-sama merasa memiliki tanah itu, maka tinggal membuktikan saja sejauh mana kepemilikan Singkang dan sejauh mana kepemilikan pihaknya atas tanah itu.

“Kami bisa membuktikan bahwa kami memiliki tanah itu, karena kami bayar pajak sejak pertama kali beli sampai tahun 2022 ini. Nah, pertanyaan kami, Pak Singkang bayar pajak enggak? Kita ini negara hukum kan, artinya kita punya hak dan kewajiban, hak kita memiliki tanah dan kewajiban kita bayar pajak. Apakah kewajiban itu dijalankan enggak? Kalau kami sih dijalankan, tapi bagaimana dengan Pak Singkang?” ucap Saubari.

Karena itu, Saubari menegaskan bahwa pihaknya tetap mempertahankan kepemilikan atas tanah yang selama ini memang mereka miliki secara legal. “Jadi kita sandingkan saja, siapa yang benar-benar memiliki berdasarkan bukti faktualnya, secara administrasi, selanjutnya siapa yang betul-betul memiliki, bisa dibuktikan dari itu,” tambahnya.

Ia mengakui bahwa tanah yang ia miliki di Jalan Merica yang juga diklaim oleh Singkang, sejauh ini masih berstatus surat keterangan tanah (SKT). Meski demikian, sebagian warga di kompleksnya sudah menagntongi sertifikat. “Sebagian sudah punya sertifikat, masa dikalahkan oleh SKT? Bahkan sebagian sudah ada bangunan, maka, salahnya di situ,” tandasnya.

Terkait status legalitas kepemilikan lahan oleh warga berikut surat-suratnya dijelaskan lebih lanjut oleh Akhmad Taufik selaku kuasa hukum. Taufik mengatakan, jika Singkang mengaku membeli tanah dari H Hapid pada 2000 lalu, maka hal itu tidaklah mungkin, karena pada 2 Juni 2008 Singkang membuat surat atas nama H Hapid.

“Karena penerbitan sertifikat atas nama Muhammad Taufik itu pada Juni 2008, lalu atas itu H Hapid dikatakan oleh Singkang memberikan kuasa atas nama Songkang dengan surat kuasa tertanggal 21 Mei 2008. Lalu atas surat itu saya pribadi waktu itu sudah mengajukan surat kepada Pak Wali Kota M Riban Satia, didelegasikan oleh Camat Jekan Raya Muhammad Said Sulaiman,” jelas Taufik kepada Kalteng Pos via sambungan telepon, kemarin.

Taufik menyebut, proses penyelesaian kepemilikan lahan waktu itu ada proses mediasi. Mediasi dilaksanakan pada 16 Juni 2009 dan 30 Juli 2009. Namun Singkang W Kesuma (nama lengkap Singkang) tidak pernah hadir. Lalu pada 21 Juli 2009 camat Jekan Raya menerbitkan surat nomor 100.138/269/pen/VII/09 perihal laporan hasil pelaksanaan musyawarah penyelesaian hasil sengketa tanah di belakang Masjid Raya Darussalam antara Sukarjo Ardjan Bajau dengan H Hapid beserta Akhmad Taufik (ia sendiri, red) sebagai pembeli.

“Dalam surat itu pada alinea kedua dinyatakan bahwa penguasaan tanah antara kedua belah pihak dilihat dari tahun pembuatannya, lebih lama Sukarjo Ardjan Bajau yang sudah menguasai tanah sejak tahun 1982, sedangkan penguasaan oleh H Hapid pada tahun 1984,” jelasnya.

Di surat yang sama, lanjut Taufik, dalam alinea ketiga tanda tangan H Hapid dalam surat kepemilikan pada tahun 1984 berbeda jauh dengan surat kuasa yang ditunjukkan oleh Singkang W Kesuma pada tanggal 31 Mei 2008.

Baca Juga :  Bereskan Konflik Tanah demi Keamanan Investasi

“Maka dari itu, andaikan tanah itu dibeli oleh Singkang pada tahun 2000 dari H Hapid, itu hal yang tidak mungkin, karena surat camat itu akan terbit dan Singkang mengatasnamakan H Hapid tahun 2008, padahal kita tahun kan bukan tahun itu,” katanya.

Taufik juga menyoroti soal surat tanah milik Singkang yang ditandatangani oleh Lurah Menteng Zein Panaru dan Sumberdinata. Dikatakannya, dalam berita acara pemeriksaan tanah nomor 5 tahun 1994 yang diterbitkan 14 Maret 2007, oleh Zein Panaru dan Sumberdinata sendiri, dalam surat pernyataan yang mereka tulis tanggal 24 Januari 2023 tidak pernah membuat surat tanah tersebut.

“Jadi mereka berdua lurah menteng sebelumnya itu sudah menuliskan pernyataan bahwa mereka tidak menuliskan surat itu,” jelasnya.

Maka dari itu, Taufik menegaskan jika memang Singkang sudah lama memiliki tanah sejak tahun 2000 dan lunas tahun 2007 sesuai pernyataannya itu, maka sudah barang tentu Singkang akan ribut lebih awal dengan warga. Sementara Singkang sendiri baru mulai mempermasalahkan kepemilikan tanah itu atas warga pada 2010. Terhitung sejak tahun itu, sudah empat kali Singkang mempermasalahkan tanah warga di Jalan Pramuka dan Jalan Jintan.

Taufik menjelaskan, pada waktu itu tanah di belakang Masjid Raya Darussalam punya dua pemilik, yakni Sukarjo Ardjan Bajau dengan surat tanah tahun 1982 dan H Hapid dengan surat tanah tahun 1984.

“Sejak 2010 dia punya pondok di daerah tanah yang diklaimnya saat ini itu, jadi masyarakat yang punya tanah di daerah itu suruh mendaftar ke dia di pondok itu, tapi pada waktu Sukardjo Ardjan Bajau masih hidup, dia tidak berani berhadapan dengan orang itu,” jelasnya.

Taufik mengakui lahan yang ia miliki di lokasi yang disengketakan oleh Singkang di Jalan Jintan itu memang belum SHM. Sudah beberapa kali mengajukan sertifikat ke BPN, tapi selalu gagal karena lahan masih termasuk dalam kawasan hutan produksi yang dikonversi (HPK).

“Tapi sudah ada beberapa yang terbit sertifikat,” katanya.

Berdasarkan pengamatannya, ia menduga Singkang berbohong dan menipu orang. Menurutnya, jika memang benar Singkang membeli tanah dari H Hapid pada 2000, maka tidak mungkin menerima kuasa dari H Hapid pada tahun 2008.

“Kita pakai logika saja, kalau dia (Singkang, red) mengklaim punya tanah di situ sejak tahun 2000, lalu lunas tahun 2007, tidak mungkin dia akan menerima kuasa dari H Hapid pada tanggal 31 Mei 2008,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa pihaknya akan siap meladeni Singkang jika berniat menempuh jalur hukum. Pihaknya tengah meminta penegakan hukum dari polda maupun polres untuk menindak Singkang dengan pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 perihal penggunaan surat palsu.

Pihaknya juga meminta agar surat itu dicabut oleh lurah. Selaku pengacara warga ia tidak akan membiarkan warga membayar ganti rugi kepada Singkang.

“Intinya kami sebagai warga hanya meminta lurah membatalkan surat tanah Singkang, kalau tidak dibatalkan akan kami pidanakan orangnya, bukan hanya Singkang, tapi juga lurahnya,” tegasnya.

Menurut Taufik, hal itu perlu dilakukan karena disinyalir lurah juga ikut terjerat pasal 55 terkait menggunakan surat palsu. “Dari sisi kepegawaian, saya sudah minta kepada wali kota untuk memberhentikan lurah Menteng, itu sudah disampaikan, intinya sekarang tinggal menunggu proses,” tandasnya. (dan/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Menyikapi pernyataan Singkang yang mengkalim sebagai pemegang sah tanah di belakang kawasan Masjid Raya Darussalam, sekelompok warga yang merasa tanahnya diklaim pun bereaksi. Mereka menyatakan siap adu data atau dokumen terkait legalitas kepemilihan lahan yang masuk wilayah Kelurahan Menteng itu.

Ketua RT 03/RW 06 Diarto mengatakan, jika memang Singkang betul-betul merasa memiliki tanah di wilayah itu, seharusnya Singkang menunjukkan bukti kepemilikan tanah itu. Apabila memang tanah itu sudah dimilikinya sejak lama, lantas mengapa baru sekarang ia mengklaim tanah yang notabene telah dimiliki sejumlah warga. Bahkan sebagian warga telah mendirikan bangunan dengan status kepemilikan tanah berupa sertifikat hak milik (SHM).

“Sedangkan Singkang itu sudah beberapa kali berusaha mengklaim tanah di sini, empat kali dengan sekarang ini, selama tiga kali sebelumnya dia enggak pernah berhasil,” ucap Diarto kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Minggu (29/1).

Diarto mengatakan, jika memang Singkang merasa pada posisi benar dan punya dasar yang jelas, sebaiknya menemui warga secara langsung. Ia mengaku baru menjabat sebagai RT sejak 2008 lalu, sehingga tidak begitu mengetahui detail asal-muasal tanah masing-masing warga. Namun, Diarto melanjutkan, sejak menjabat sebagai RT, di wilayahnya tidak ada pemilik tanah bernama Singkang.

“Tanah di situ tidak ada yang atas nama Singkang, dia itu memang enggak sekali dua kali, tapi berkali-kali, kalau merasa dia punya tanah di situ, kenapa orang membangun dimintain duit, lalu dipaksa harus membayar sekian, itu kan pemerasan namanya,” ungkap Diarto.

Adapun tanah yang ia miliki di Jalan Jintan itu ia beli dari mantan Lurah Menteng Zaen Panalu. Diarto menyebut lurah Zaen Panalu sendiri telah membuat surat pernyataan bahwa selama periode 1997-2007 tidak pernah menandatangani surat tanah atas nama Singkang di wilayah yang ia tinggali.

“Surat pernyataannya itu sudah ada, diulas sama mantan lurah dan kasipem yang dulu, itu sudah dipegang pengacara kami, Pak Taufik,” ucapnya.

Diarto juga mempersoalkan upaya Singkang dalam melegalkan surat dengan meminta tanda tangan dari ketua RT 05, bukan ke ketua RT 03 yang merupakan pemimpin pada wilayah tanah yang diklaim.

“Wilayah itu bukan wilayah RT 05, bahkan dari tahun-tahun lalu wilayah RT di sini itu masuk wilayah RT 03. Karena RT dulu enggak mau menandatangani, sehingga dia kerja sama dengan RW, yang menandatangani itu adalah RT 05, padahal itu bukan wewenang RT 05, karena wilayah ini masuk wilayah RT 03,” jelasnya.

Lalu, menurut Diarto, surat Singkang yang terdapat tanda tangan lurah sebelumnya Zaen Panalu dan Sumberdinata, bukan tanda tangan yang sebenarnya dari kedua orang itu.

“Tanda tangannya enggak sama, saya sudah cek betul-betul tanda tangan keduanya, makanya kembali lagi ke pernyataan Pak Zaen Panalu bahwa sejak tahun 1997 hingga 2007 tidak pernah menandatangani surat tanah atas nama Singkang di lingkungan RT 03/RW 06,” tandasnya.

Harapan agar masalah sengketa tanah ini segera diselesaikan melalui mediasi atau jalur ligitasi diutarakan oleh Staf Ahli Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palangka Raya Saubari Kusmiran, salah satu warga yang tanahnya juga ikut diklaim Singkang.

Saubari mengaku mengetahui Singkang telah membeli tanah di lokasi itu tahun 2000 lalu dari seseorang bernama H Hapid, termasuk tanahnya yang juga tidak luput dari klaim Singkang.

Baca Juga :  2023, Diprediksi Terjadi Kemarau Panjang

“Kita tunggu saja, istilahnya Singkang mengaku juga memiliki tanah di situ dan mau menggarap itu, pada prinsipnya kami sama-sama membeli dari orang lain, tapi bedanya saya beli dari ahli waris tanah di situ, yaitu Sukarjo,” kata Saubari kepada Kalteng Pos via sambungan telepon WhatsApp, kemarin.

Saubari mengaku menyerahkan urusan sengketa tanah ini kepada Akhmad Taufik selaku kuasa hukum pihaknya. “Bagaimana tindakan selanjutnya, itu akan ditangani oleh Pak Taufik, jika bisa dimediasi atau musyawarah, silakan, tapi kalau tidak bisa, terpaksa lewat jalur hukum,” ucapnya.

Menurut Saubari, karena kedua belah pihak sama-sama merasa memiliki tanah itu, maka tinggal membuktikan saja sejauh mana kepemilikan Singkang dan sejauh mana kepemilikan pihaknya atas tanah itu.

“Kami bisa membuktikan bahwa kami memiliki tanah itu, karena kami bayar pajak sejak pertama kali beli sampai tahun 2022 ini. Nah, pertanyaan kami, Pak Singkang bayar pajak enggak? Kita ini negara hukum kan, artinya kita punya hak dan kewajiban, hak kita memiliki tanah dan kewajiban kita bayar pajak. Apakah kewajiban itu dijalankan enggak? Kalau kami sih dijalankan, tapi bagaimana dengan Pak Singkang?” ucap Saubari.

Karena itu, Saubari menegaskan bahwa pihaknya tetap mempertahankan kepemilikan atas tanah yang selama ini memang mereka miliki secara legal. “Jadi kita sandingkan saja, siapa yang benar-benar memiliki berdasarkan bukti faktualnya, secara administrasi, selanjutnya siapa yang betul-betul memiliki, bisa dibuktikan dari itu,” tambahnya.

Ia mengakui bahwa tanah yang ia miliki di Jalan Merica yang juga diklaim oleh Singkang, sejauh ini masih berstatus surat keterangan tanah (SKT). Meski demikian, sebagian warga di kompleksnya sudah menagntongi sertifikat. “Sebagian sudah punya sertifikat, masa dikalahkan oleh SKT? Bahkan sebagian sudah ada bangunan, maka, salahnya di situ,” tandasnya.

Terkait status legalitas kepemilikan lahan oleh warga berikut surat-suratnya dijelaskan lebih lanjut oleh Akhmad Taufik selaku kuasa hukum. Taufik mengatakan, jika Singkang mengaku membeli tanah dari H Hapid pada 2000 lalu, maka hal itu tidaklah mungkin, karena pada 2 Juni 2008 Singkang membuat surat atas nama H Hapid.

“Karena penerbitan sertifikat atas nama Muhammad Taufik itu pada Juni 2008, lalu atas itu H Hapid dikatakan oleh Singkang memberikan kuasa atas nama Songkang dengan surat kuasa tertanggal 21 Mei 2008. Lalu atas surat itu saya pribadi waktu itu sudah mengajukan surat kepada Pak Wali Kota M Riban Satia, didelegasikan oleh Camat Jekan Raya Muhammad Said Sulaiman,” jelas Taufik kepada Kalteng Pos via sambungan telepon, kemarin.

Taufik menyebut, proses penyelesaian kepemilikan lahan waktu itu ada proses mediasi. Mediasi dilaksanakan pada 16 Juni 2009 dan 30 Juli 2009. Namun Singkang W Kesuma (nama lengkap Singkang) tidak pernah hadir. Lalu pada 21 Juli 2009 camat Jekan Raya menerbitkan surat nomor 100.138/269/pen/VII/09 perihal laporan hasil pelaksanaan musyawarah penyelesaian hasil sengketa tanah di belakang Masjid Raya Darussalam antara Sukarjo Ardjan Bajau dengan H Hapid beserta Akhmad Taufik (ia sendiri, red) sebagai pembeli.

“Dalam surat itu pada alinea kedua dinyatakan bahwa penguasaan tanah antara kedua belah pihak dilihat dari tahun pembuatannya, lebih lama Sukarjo Ardjan Bajau yang sudah menguasai tanah sejak tahun 1982, sedangkan penguasaan oleh H Hapid pada tahun 1984,” jelasnya.

Di surat yang sama, lanjut Taufik, dalam alinea ketiga tanda tangan H Hapid dalam surat kepemilikan pada tahun 1984 berbeda jauh dengan surat kuasa yang ditunjukkan oleh Singkang W Kesuma pada tanggal 31 Mei 2008.

Baca Juga :  Bereskan Konflik Tanah demi Keamanan Investasi

“Maka dari itu, andaikan tanah itu dibeli oleh Singkang pada tahun 2000 dari H Hapid, itu hal yang tidak mungkin, karena surat camat itu akan terbit dan Singkang mengatasnamakan H Hapid tahun 2008, padahal kita tahun kan bukan tahun itu,” katanya.

Taufik juga menyoroti soal surat tanah milik Singkang yang ditandatangani oleh Lurah Menteng Zein Panaru dan Sumberdinata. Dikatakannya, dalam berita acara pemeriksaan tanah nomor 5 tahun 1994 yang diterbitkan 14 Maret 2007, oleh Zein Panaru dan Sumberdinata sendiri, dalam surat pernyataan yang mereka tulis tanggal 24 Januari 2023 tidak pernah membuat surat tanah tersebut.

“Jadi mereka berdua lurah menteng sebelumnya itu sudah menuliskan pernyataan bahwa mereka tidak menuliskan surat itu,” jelasnya.

Maka dari itu, Taufik menegaskan jika memang Singkang sudah lama memiliki tanah sejak tahun 2000 dan lunas tahun 2007 sesuai pernyataannya itu, maka sudah barang tentu Singkang akan ribut lebih awal dengan warga. Sementara Singkang sendiri baru mulai mempermasalahkan kepemilikan tanah itu atas warga pada 2010. Terhitung sejak tahun itu, sudah empat kali Singkang mempermasalahkan tanah warga di Jalan Pramuka dan Jalan Jintan.

Taufik menjelaskan, pada waktu itu tanah di belakang Masjid Raya Darussalam punya dua pemilik, yakni Sukarjo Ardjan Bajau dengan surat tanah tahun 1982 dan H Hapid dengan surat tanah tahun 1984.

“Sejak 2010 dia punya pondok di daerah tanah yang diklaimnya saat ini itu, jadi masyarakat yang punya tanah di daerah itu suruh mendaftar ke dia di pondok itu, tapi pada waktu Sukardjo Ardjan Bajau masih hidup, dia tidak berani berhadapan dengan orang itu,” jelasnya.

Taufik mengakui lahan yang ia miliki di lokasi yang disengketakan oleh Singkang di Jalan Jintan itu memang belum SHM. Sudah beberapa kali mengajukan sertifikat ke BPN, tapi selalu gagal karena lahan masih termasuk dalam kawasan hutan produksi yang dikonversi (HPK).

“Tapi sudah ada beberapa yang terbit sertifikat,” katanya.

Berdasarkan pengamatannya, ia menduga Singkang berbohong dan menipu orang. Menurutnya, jika memang benar Singkang membeli tanah dari H Hapid pada 2000, maka tidak mungkin menerima kuasa dari H Hapid pada tahun 2008.

“Kita pakai logika saja, kalau dia (Singkang, red) mengklaim punya tanah di situ sejak tahun 2000, lalu lunas tahun 2007, tidak mungkin dia akan menerima kuasa dari H Hapid pada tanggal 31 Mei 2008,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa pihaknya akan siap meladeni Singkang jika berniat menempuh jalur hukum. Pihaknya tengah meminta penegakan hukum dari polda maupun polres untuk menindak Singkang dengan pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 perihal penggunaan surat palsu.

Pihaknya juga meminta agar surat itu dicabut oleh lurah. Selaku pengacara warga ia tidak akan membiarkan warga membayar ganti rugi kepada Singkang.

“Intinya kami sebagai warga hanya meminta lurah membatalkan surat tanah Singkang, kalau tidak dibatalkan akan kami pidanakan orangnya, bukan hanya Singkang, tapi juga lurahnya,” tegasnya.

Menurut Taufik, hal itu perlu dilakukan karena disinyalir lurah juga ikut terjerat pasal 55 terkait menggunakan surat palsu. “Dari sisi kepegawaian, saya sudah minta kepada wali kota untuk memberhentikan lurah Menteng, itu sudah disampaikan, intinya sekarang tinggal menunggu proses,” tandasnya. (dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/