Sudah pernah mengalami kegagalan dalam bercocok tanam. Bukan hanya sekali. Berulang kali. Namun itu tak membuat Surya putus asa. Menanam, menanam, dan menanam lagi. Sampai memetik hasil yang memuaskan.
RIDANI, Palangka Raya
RUMAH kayu beratap seng itu dikelilingi tanaman berdaun hijau. Tampak begitu subur, meski belum tinggi dan berbuah. Di situlah Surya tinggal. Sehari-hari ia menghabiskan waktu untuk merawat tanaman cabai dan terung. Sayangnya, waktu penulis berkunjung, belum ada yang berbuah. Katanya satu bulan lagi baru bisa dipanen.
Sudah sejak 2011, pemuda berusia 27 tahun itu mulai bercocok tanam di pekarangan rumah itu. Lokasinya di Jalan Betutu 2, Kota Palangka Raya. Luas pekarangan 20×80 meter persegi (m2). Bukan empunya sendiri, melainkan milik warga yang ingin pekarangannya tak menjadi semak belukar.
“Di sini ada 500 tanaman cabai dan 500 tanaman terung,” ucapnya kepada Kalteng Pos, Senin (6/2).
Jika dibandingkan dengan tanah di Pulau Jawa, sudah pasti berbeda. Di sini kualitasnya kurang subur. Harus sering-sering diolah untuk menyuburkan tanah. Pria yang dikaruniai satu anak itu menjelaskan, satu batang bisa berbuah delapan buah terung. Tergantung perawatan dan kesuburan tanah. Rajin memupuk dan menyiram. Dan tak kalah pentingnya, harus rutin menyemprotkan cairan pembasmi hama.
“Kalau 500 batang bisa menghasilkan dua ribu buah terung. Kalau Lombok, enggak terhitung bijinya,” ucapnya lalu tertawa.
Awal proses penanaman, Surya mengeluarkan modal berkisar Rp2 juta. Makin banyak modal yang disiapkan, makin bagus hasil yang didapatkan. Misalnya, menggunakan pupuk dengan kualitas bagus. Untuk pupuk kimia, sebut pemuda asal Trenggalek, Jawa Timur itu, harganya sangat mahal. Sekitar Rp1 juta. Sementara untuk pupuk kandang, per karung dibeli seharga Rp30 ribu.
“Untung keuntungan bersih, ya minimal hampir sama dengan modal,” ujarnya.
Menurut Surya, kondisi cuaca juga memengaruhi kualitas tanaman dan buah yang dihasilkan. Penyakit daun keriting menjadi momok bagi para petani. Jika hujan sering turun dan tidak rutin menyemprotkan cairan antihama, sudah bisa dipastikan akan gagal panen.
“Sering gagal, mas. Sudah menjadi hal biasa. Meski begitu, saya terus menanam, tidak mau menyerah,” katanya.
Untuk harga jual, Surya menyebut sangat fluktuatif. Dia bersyukur sejauh ini harga jual masih bisa bersaing dengan cabai atau terung yang didatangkan dari luar Palangka Raya.
Surya berharap harga pupuk tidak makin mahal, karena pupuk merupakan bahan penting yang cukup memengaruhi kuantitas dan kualitas hasil panen.
“Selama ini kami hanya dapat subsidi pupuk untuk tanaman cabai,” tutupnya. (ce/ram)