PALANGKA RAYA-Sekelompok warga di Jalan Hiu Putih VIII A, Kelurahan Bukit Tunggal melakukan perlawanan hukum atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya. Mereka menilai ada kejanggalan dalam putusan yang mengabulkan gugatan Hj Musrifah yang mengklaim sebagai pemegang sertifikat hak milik (SHM) di atas tanah yang masyarakat tempati.
Warga merasa aneh dan ganjil dengan hasil sidang putusan yang dikeluarkan majelis hakim PTUN terkait kasus sengketa tanah antara pihak penggugat Hj Musrifah dengan BPN kota Palangka Raya selaku tergugat. Tidak terima putusan yang dinilai merugikan masyarakat, sekelompok warga yang bermukim di Jalan Hiu Putih VIII, VIIIA, VIIIB, IX dan Gang Bambang melakukan langkah hukum luar biasa.
Warga melalui kuasa hukumnya akan melaporkan sejumlah pihak dan juga hasil putusan yang dikeluarkan majelis hakim PTUN yang memutus perkara nomor 2/G /2023/PTUN.PLK. Laporan akan disampaikan kepada Presiden RI, Komisi Yudisial ( KY), Satgas Nasional Anti Mafia Tanah dan juga pihak Kementerian ATR/BPN. Hal itu disampaikan Kuasa hukum dari warga yakni Ismail SH dan Ari Yunus Hendrawan di kantor LBH Mustika Bangsa di Jalan Hiu Putih, Palangka Raya, Sabtu (22/7).
“Kami bersama para warga akan melakukan langkah hukum luar biasa melaporkan kasus ini ke presiden RI melalui Kantor Staf Presiden (KSP) dan ke Komisi Yudisial,” kata Ari Yunus Hendrawan.
Ari mengatakan pertimbangan pihaknya melaporkan kasus ini ke komisi yudisial, karena banyak kejanggalan yang ada di dalam pertimbangan putusan majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
“Kami meminta kepada komisi yudisial untuk mereview semua pertimbangan hakim ini, apakah putusan hakim ini sudah benar apa tidak dan sudah sesuai dengan karakter integritas atau tidak,” ucap Ari.
Ari menegaskan bahwa dalam kasus sengketa lahan antara Hj Musrifah dan Hj Halidah melawan Kepala Kantor BPN Palangka Raya ini, warga Jalan Hiu Putih yang dalam perkara bertindak sebagai pihak tergugat intervensi merasa sangat dirugikan atas putusan majelis hakim. Banyak pertimbangan hukum terkait putusan yang dikeluarkan majelis hakim yang dirasa sangat berlawanan dengan berbagai alat bukti yang diajukan di persidangan maupun fakta yang ada di lapangan.
Di tempat yang sama, kuasa hukum warga lainnya, Ismail menyampaikan sejumlah kejanggalan yang ditemukan dalam persidangan. Di antaranya terkait alas hak yang dimiliki oleh pihak penggugat Hj Musrifah dkk untuk pembuatan sertifikat tanah.
Berdasarkan keterangan saksi yang diajukan pihak penggugat menyebutkan bahwa alas hak yang dimiliki oleh pihak penggugat untuk mengajukan pembuatan sertifikat tanah ke BPN Palangka Raya adalah SKT. Namun, saat persidangan faktanya alas hak yang dimiliki oleh pihak tergugat tersebut bukanlah SKT melainkan berupa SK dari wali kota yang dikeluarkan pada tahun 1990 terkait izin pembukaan lahan di kawasan Jalan Hiu Putih yang diberikan pihak Pemko Palangka Raya kepada pihak penggugat tersebut.
Ismail menyebut, di dalam SK wali kota tahun 1990 tersebut, telah tertulis butir diktum yang menyatakan bahwa pihak pemko memberikan izin kepada pihak tergugat dalam jangka waktu 3 tahun untuk melakukan pembukaan lahan di kawasan Jalan Hiu Putih VIII tersebut.
Di dalam SK tersebut juga tertulis diktum yang menyatakan dengan tegas bahwa, apabila dalam jangka waktu tiga tahun, pihak penerima izin tidak juga melakukan pembukaan lahan, maka lahan tersebut kembali menjadi milik negara dan otomatis dikuasai kembali oleh negara.
Dikatakannya pula bahwa fakta di lapangan ternyata sampai masa waktu tiga tahun sejak SK wali kota tersebut dikeluarkan, pihak penerima izin tidak juga kunjung melakukan pembukaan lahan. Sehingga otomatis lahan tersebut seharusnya kembali menjadi lahan milik negara.
“SK wali kota milik penggugat itu tahun 1990 berarti tahun 1993 karena lahan itu tidak digarap dan dikuasai sesuai peruntukannya mana otomatis penguasaan itu dinyatakan sudah berakhir dan batal secara hukum, dan lahan tersebut kembali menjadi tanah milik negara,” ujar Ismail yang menambahkan bahwa secara otomatis pula hak dari warga untuk menguasai tanah tersebut dari tahun 1993 hingga tahun 2023 sekarang secara hukum adalah sudah sah.
Selain itu disebut fakta proses penerbitan 32 sertifikat milik tergugat yang diketahui dikeluarkan BPN pada tahun 2008 sangat aneh dan janggal. Ketua RT O5/RW10 dan pihak kelurahan bukit Tunggal sendiri mengaku sama sekali tidak tahu tentang adanya proses penerbitan sertifikat milik para penggugat tersebut.
“Bahkan pihak RT dan pihak kelurahan bukit juga tidak pernah tahu ada proses pengukuran untuk penerbitan sertifikat milik tergugat,” ujar Ismail.
Menurut Ismail dalam proses penerbitan sertifikat tanah, memegang asas aturan contradictoire delimitatie yaitu seluruh pihak yang berkepentingan dan berbatasan dengan lahan yang akan di sertifikat harus mengetahui dan di undang pada saat dilakukan pengukuran tanah oleh pihak BPN. Faktanya, di lapangan tidak satupun warga yang mengetahui dan diundang saat proses pengukuran lahan untuk penerbitan sertifikat milik tergugat tersebut dilakukan.
Sehingga dengan tidak dilaksanakan nya asas Contradictoire Delimitatie ini menurut Ismail, seharusnya proses penerbitan sertifikat milik tergugat haruslah dinyatakan batal demi hukum. Namun disebut Ismail berbagai fakta dalam persidangan itu tidak dihiraukan oleh majelis hakim PTUN. Majelis hakim menyatakan pihak penggugat Hj Musrifah tetap dimenangkan dan mengabulkan seluruh tuntutan yang ada di dalam gugatannya tersebut.
Pihak kuasa hukum warga pun memastikan akan mengajukan proses permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Banjarmasin. “Kami akan melakukan upaya hukum banding dengan tegas terkait putusan PTUN tersebut,” kata Ari.
Menurut pengacara berkacamata ini, masalah sengketa tanah di Jalan Hiu Putih VIII ini dan berbagai masalah konflik sengketa tanah yang terjadi di Palangka Raya tidak lepas dari kinerja pegawai maupun mantan pegawai kantor BPN kota
“Kami meminta kepada pihak kementerian ATR untuk memeriksa para pegawai di kantor BPN palangka raya karena terjadi nya kadus ini diduga tidak lepas akibat adanya campur tangan dari oknum pegawai di BPN,”tandas Ari Yunus setiawan.
Di tempat yang sama, Virgo Antonnadi selaku perwakilan dari warga mengatakan bahwa salah satu fakta yang paling aneh ditemukan di dalam persidangan ini adalah terkait obyek alamat lokasi lahan yang menjadi sengketa di persidangan.
“Lokasi lahan sengketa yang diajukan pihak penggugat punya alamat Jalan Hiu Putih VIII ujung dalam, RT 00/RW 00 sementara warga memiliki alamat yang jelas,” terang Virgo yang menyebutkan bahwa alamat RT 00/RW 00 tersebut tidak ada dan tidak dikenal oleh warga Jalan Hiu Putih maupun para warga Kelurahan Bukit Tunggal.
“Cari saja di Kelurahan Bukit Tunggal, tidak ada alamat RT 00/RW 00 itu,” jelas virgo yang menambahkan bahwa wilayah tersebut sebenarnya masuk di wilayah RT 05 /RW 10.
Namun fakta keanehan alamat lahan yang dimiliki pihak Hj Musrifah itu sama sekali tidak dihiraukan dan dipertimbangkan oleh majelis hakim PTUN. Terkait keluarnya 32 sertifikat tanah yang dimiliki pihak penggugat Hj Musrifah dkk yang dikatakan dikeluarkan lewat program prona pada tahun 2008, dikatakan Virgo sama sekali tidak pernah diketahui oleh para warga.
Menurut Virgo, berdasarkan keterangan Mantan Lurah Bukit Tunggal pada saat persidangan digelar, pada tahun 2008 tidak pernah ada jatah program prona di Kelurahan Bukit Tunggal.
Virgo menyebutkan pula seharusnya proses administrasi penerbitan sertifikat tanah lewat program prona haruslah diketahui oleh pihak dari Kelurahan Bukit Tunggal. Terlebih disebutnya pula bahwa pada tahun 2006 hingga 2009 telah ada larangan yang termuat di dalam SK.Menteri Kehutanan No.759/Kota/Um/10/1982 Jo. No.174/Kpts/Um/3/1983 tentang Penunjukan Area Hutan di Wilayah Propinsi DATI I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 Ha tgl.13 April 2007 dan Surat Gubernur Kalteng No.522.11/1089/Ek tertanggal tgl.3 Juli 2007.
Intinya tentang penangguhan dan larangan penerbitan sertifikat tanah di wilayah kawasan Jalan Hiu Putih VIII dan IX dan kawasan kota palangka raya pada umumnya karena masih masuk di dalam kawasan hutan konservasi. Sehingga menurut nya proses administrasi penerbitan 32 sertifikat lahan milik pihak penggugat di atas kawasan hamparan lahan seluas 6 hektare itu pada tahun 2008 tersebut adalah aneh dan janggal.
“Proses lahir nya 32 sertifikat milik penggugat dalam satu tahun yang sama, yakni di tahun 2008 merupakan salah satu fakta kejanggalan yang kami temukan dalam persidangan,” ujarnya.
Hal lain lagi yang juga dirasa menimbulkan kekecewaan dari pihak warga adalah kenyataan bahwa pihak BPN kota sendiri selaku pihak tergugat utama dalam sengketa ini ternyata sama sekali tidak mengajukan seorang pun saksi fakta untuk dihadirkan di persidangan. Praktis untuk melawan gugatan dari pihak penggugat Hj Musrifah, para saksi yang dihadirkan adalah saksi fakta yang diajukan para warga sendiri selaku pihak tergugat intervensi.
Virgo sendiri mengaku tidak mengetahui pasti alasan penyebab kenapa pihak BPN kota tidak menghadirkan seorangpun saksi fakta untuk membantah gugatan yang diajukan pihak tergugat. Virgo mengatakan bahwa warga sendiri juga bertanya-tanya alasan pihak BPN Palangka Raya tidak mengajukan seorangpun saksi fakta untuk dihadirkan dalam persidangan ini. Padahal saat persidangan majelis hakim sendiri disebut Virgo telah meminta kepada pihak BPN Palangka Raya untuk menghadirkan saksi fakta dari pihak mereka.
Akibat tidak adanya saksi fakta dari pihak BPN, disebut Virgo menjadi salah satu penyebab kekalahan pihak BPN dalam kasus gugatan ini.
“Lantaran pihak tergugat I yakni pihak BPN tidak mengajukan saksi fakta menjadi salah satu bagian pemicu kekalahan ini,” katanya.(sja/irj/ala)