Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Agustusan, Ada Pilu dalam Gelak Tawa

SEPOTONG pesan iseng masuk grup WhatsApp komunitas minggu-minggu belakangan. Bunyinya: Selamat memperingati hari gang buntu nasional.

Meski hanya candaan, hal itu memang sebuah kenyataan. Tiap tahun pada Agustus, para pengendara motor atau mobil harus pandai-pandai memprediksi situasi jalan yang akan dilalui. Utamanya, jalanan kampung atau perumahan harus ditutup karena beberapa kegiatan. Mulai memperbarui cat berem, mempercantik kampung dengan lampu hias, memasang umbul-umbul dan bendera, mengadakan berbagai macam lomba, sampai mempersiapkan tirakatan. Itu semua –semua orang sudah tahu–dilakukan demi peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Di tempat-tempat tertentu digelar upacara. Dari kantor kecamatan sampai Istana Presiden.

Untuk lebih memeriahkan perayaan, digelar beragam lomba, utamanya bagi anak-anak dan balita. Keluguan dan kelucuan mereka cukup menghibur dan mengundang gelak tawa. Tidak hanya untuk anak dan balita, bapak-bapak dan emak-emak – dengan segala kelucuannya– juga bersemangat tampil dalam lomba. Untuk para senior itu, biasanya panitia memilihkan jenis lomba yang sesuai dengan usia mereka. Untuk bapak-bapak, ada sepak bola dengan kostum wajib: sarung atau daster. Mereka boleh memakai daster istrinya atau daster pembantunya. Yang jelas, tak boleh menggunakan daster baru.

Sedangkan bagi emak-emak, selain ada berbagai lomba individual, ada lomba secara tim: sepak bola. Bedanya, di tengah permainan ada break musik. Semua pemain wajib berjoget ria. Semua itu sekadar untuk lucu-lucuan, tentu bukan untuk prestasi.

Berbagai lomba, semisal panjat pohon pinang, lari karung, makan kerupuk, dan mengambil uang koin yang ditancapkan dalam buah labu bertabur tepung atau bedak dengan mulut, itu konon dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.

Baca Juga :  Menikmati Sore dengan Susur Sungai

Hanya, perayaan seperti itu tidak ’’dalam rangka’’ Hari Kemerdekaan RI, melainkan bergantung pada hajat para pejabat Belanda. Mulai ulang tahun, pernikahan, kelulusan, dan lain-lain. Yang jelas, tidak ada hajat khitanan.

Perayaan tersebut juga diselenggarakan pada Agustus. Tapi, bukan tanggal 17, melainkan tanggal 31 untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, ratu Belanda yang memerintah negeri itu pada 1890 hingga 1948.

Menurut seseorang yang hidup di salah satu kota kecil di Indonesia pada masa itu, meski hanya perayaan berupa hiburan, banyak polisi yang berjaga di tempat acara dan sekitar rumah tuan Walondo (Belanda).

Mereka (polisi) konon berjaga untuk mengantisipasi serangan para pejuang kemerdekaan Indonesia yang selalu mencari waktu untuk bergerak.

Perayaan seperti itu, lanjut dia, biasanya memang digelar di tanah lapang di depan rumah besar tuan Walondo, sementara penghuninya melihat tontonan itu dari teras rumah ditemani berbotol wiski, brendi, dan sejenisnya. Ada juga apem dan berbagai jenis roti serta penganan lain.

Jika ada anak-anak berlarian mendekati teras, tuan Belanda itu melempar mereka dengan apem atau sepotong roti yang tentu menjadi rebutan anak-anak yang umumnya bertelanjang dada tersebut.

Anak-anak itu kemudian melakukan tabik (hormat dengan meletakkan telapak tangan di sisi kening, seperti militer) dengan mengucap, ’’Tabik, Tuan.’’ Biasanya tuan Belanda lantas melemparkan lagi apem, roti, atau sebiji permen (gula-gula).

Tuan Belanda mungkin bermaksud baik dengan perayaan-perayaan seperti itu. Selain hiburan untuk rakyat kecil, jajahannya, hal tersebut memupuk rasa kerja sama (gotong royong), kekompakan, dan kekuatan seperti dalam lomba panjat pohon pinang. Demikian juga jenis lomba-lomba yang lain, mengandung nilai filosofi positif.

Baca Juga :  Pelaku Usaha Wisata Air Hitam Berharap Tetap Bisa Beroperasi saat Lebaran

Namun, beberapa kalangan menilai, lomba-lomba seperti itu dilakukan hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat yang sedang berjuang demi kemerdekaan. Tentu jiwa pejuang tak membiarkan rakyat terlena. Apalagi jika bangsanya hanya diperlakukan sebagai bahan lelucon. Bangsa yang lucu.

Karena itu, sangat dianjurkan kepada panitia untuk –secara bertahap– menyelipkan –kalau tidak bisa menggantikan– jenis lomba lucu-lucuan tersebut dengan lomba yang lebih memicu kreativitas dan kecerdasan.

Tanpa lomba-lomba ’’tradisional’’ itu, suasana mungkin saja kurang seru. Tidak ada keseruan ketika melihat peserta panjat pinang melorot ke bawah. Atau kelucuan anak-anak dengan mulut menganga mencoba menggigit kerupuk yang digantung dengan seutas tali. Seru, lucu. Tapi, terselip rasa pilu.

Hanya untuk mendapatkan selembar kaus murah di pucuk pohon, harus diraih dengan susah payah. Rela tubuh berlepotan oli atau pelumas lain yang dioleskan ke batang pinang.

Bahkan, ancaman patah tulang atau cedera bisa saja terjadi jika peserta paling bawah yang menjadi tumpuan pemanjat lain tak kuat menahan beban. Otomatis peserta lain di atasnya akan berjatuhan. Perjuangannya tak sebanding dengan nilai hadiah yang ingin diraih.

Panitia yang kreatif pasti bisa membuat lomba yang lucu, aman, dan cerdas. Seru, lucu, tanpa rasa pilu. Tanpa khawatir generasi mendatang menjadi bangsa yang lucu.

Lebih pilu lagi, sudah 78 tahun merdeka, tapi masih ada kelaparan di Papua Tengah sana. Bahkan, ada yang sampai meninggal dunia.

Sementara di Jakarta dan di kota-kota lain ada banyak pesta gelak tawa. Uang negara jadi bancakan seperti duwite mbahe dewe. Sungguh tidak lucu. (*)

SEPOTONG pesan iseng masuk grup WhatsApp komunitas minggu-minggu belakangan. Bunyinya: Selamat memperingati hari gang buntu nasional.

Meski hanya candaan, hal itu memang sebuah kenyataan. Tiap tahun pada Agustus, para pengendara motor atau mobil harus pandai-pandai memprediksi situasi jalan yang akan dilalui. Utamanya, jalanan kampung atau perumahan harus ditutup karena beberapa kegiatan. Mulai memperbarui cat berem, mempercantik kampung dengan lampu hias, memasang umbul-umbul dan bendera, mengadakan berbagai macam lomba, sampai mempersiapkan tirakatan. Itu semua –semua orang sudah tahu–dilakukan demi peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Di tempat-tempat tertentu digelar upacara. Dari kantor kecamatan sampai Istana Presiden.

Untuk lebih memeriahkan perayaan, digelar beragam lomba, utamanya bagi anak-anak dan balita. Keluguan dan kelucuan mereka cukup menghibur dan mengundang gelak tawa. Tidak hanya untuk anak dan balita, bapak-bapak dan emak-emak – dengan segala kelucuannya– juga bersemangat tampil dalam lomba. Untuk para senior itu, biasanya panitia memilihkan jenis lomba yang sesuai dengan usia mereka. Untuk bapak-bapak, ada sepak bola dengan kostum wajib: sarung atau daster. Mereka boleh memakai daster istrinya atau daster pembantunya. Yang jelas, tak boleh menggunakan daster baru.

Sedangkan bagi emak-emak, selain ada berbagai lomba individual, ada lomba secara tim: sepak bola. Bedanya, di tengah permainan ada break musik. Semua pemain wajib berjoget ria. Semua itu sekadar untuk lucu-lucuan, tentu bukan untuk prestasi.

Berbagai lomba, semisal panjat pohon pinang, lari karung, makan kerupuk, dan mengambil uang koin yang ditancapkan dalam buah labu bertabur tepung atau bedak dengan mulut, itu konon dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda.

Baca Juga :  Menikmati Sore dengan Susur Sungai

Hanya, perayaan seperti itu tidak ’’dalam rangka’’ Hari Kemerdekaan RI, melainkan bergantung pada hajat para pejabat Belanda. Mulai ulang tahun, pernikahan, kelulusan, dan lain-lain. Yang jelas, tidak ada hajat khitanan.

Perayaan tersebut juga diselenggarakan pada Agustus. Tapi, bukan tanggal 17, melainkan tanggal 31 untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, ratu Belanda yang memerintah negeri itu pada 1890 hingga 1948.

Menurut seseorang yang hidup di salah satu kota kecil di Indonesia pada masa itu, meski hanya perayaan berupa hiburan, banyak polisi yang berjaga di tempat acara dan sekitar rumah tuan Walondo (Belanda).

Mereka (polisi) konon berjaga untuk mengantisipasi serangan para pejuang kemerdekaan Indonesia yang selalu mencari waktu untuk bergerak.

Perayaan seperti itu, lanjut dia, biasanya memang digelar di tanah lapang di depan rumah besar tuan Walondo, sementara penghuninya melihat tontonan itu dari teras rumah ditemani berbotol wiski, brendi, dan sejenisnya. Ada juga apem dan berbagai jenis roti serta penganan lain.

Jika ada anak-anak berlarian mendekati teras, tuan Belanda itu melempar mereka dengan apem atau sepotong roti yang tentu menjadi rebutan anak-anak yang umumnya bertelanjang dada tersebut.

Anak-anak itu kemudian melakukan tabik (hormat dengan meletakkan telapak tangan di sisi kening, seperti militer) dengan mengucap, ’’Tabik, Tuan.’’ Biasanya tuan Belanda lantas melemparkan lagi apem, roti, atau sebiji permen (gula-gula).

Tuan Belanda mungkin bermaksud baik dengan perayaan-perayaan seperti itu. Selain hiburan untuk rakyat kecil, jajahannya, hal tersebut memupuk rasa kerja sama (gotong royong), kekompakan, dan kekuatan seperti dalam lomba panjat pohon pinang. Demikian juga jenis lomba-lomba yang lain, mengandung nilai filosofi positif.

Baca Juga :  Pelaku Usaha Wisata Air Hitam Berharap Tetap Bisa Beroperasi saat Lebaran

Namun, beberapa kalangan menilai, lomba-lomba seperti itu dilakukan hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat yang sedang berjuang demi kemerdekaan. Tentu jiwa pejuang tak membiarkan rakyat terlena. Apalagi jika bangsanya hanya diperlakukan sebagai bahan lelucon. Bangsa yang lucu.

Karena itu, sangat dianjurkan kepada panitia untuk –secara bertahap– menyelipkan –kalau tidak bisa menggantikan– jenis lomba lucu-lucuan tersebut dengan lomba yang lebih memicu kreativitas dan kecerdasan.

Tanpa lomba-lomba ’’tradisional’’ itu, suasana mungkin saja kurang seru. Tidak ada keseruan ketika melihat peserta panjat pinang melorot ke bawah. Atau kelucuan anak-anak dengan mulut menganga mencoba menggigit kerupuk yang digantung dengan seutas tali. Seru, lucu. Tapi, terselip rasa pilu.

Hanya untuk mendapatkan selembar kaus murah di pucuk pohon, harus diraih dengan susah payah. Rela tubuh berlepotan oli atau pelumas lain yang dioleskan ke batang pinang.

Bahkan, ancaman patah tulang atau cedera bisa saja terjadi jika peserta paling bawah yang menjadi tumpuan pemanjat lain tak kuat menahan beban. Otomatis peserta lain di atasnya akan berjatuhan. Perjuangannya tak sebanding dengan nilai hadiah yang ingin diraih.

Panitia yang kreatif pasti bisa membuat lomba yang lucu, aman, dan cerdas. Seru, lucu, tanpa rasa pilu. Tanpa khawatir generasi mendatang menjadi bangsa yang lucu.

Lebih pilu lagi, sudah 78 tahun merdeka, tapi masih ada kelaparan di Papua Tengah sana. Bahkan, ada yang sampai meninggal dunia.

Sementara di Jakarta dan di kota-kota lain ada banyak pesta gelak tawa. Uang negara jadi bancakan seperti duwite mbahe dewe. Sungguh tidak lucu. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/