Sabtu, November 23, 2024
23.7 C
Palangkaraya

Harga Pangan Melonjak Jelang Coblosan

PALANGKA RAYA-Sepekan menjelang pemungutan suara pemilihan umum (pemilu), harga sejumlah pangan di pasar-pasar tradisional Palangka Raya terpantau melonjak. Kenaikan tertinggi ada pada komoditas beras, daging ayam ras, minyak goreng, telur, dan cabai. Data tersebut berdasarkan pantauan harga pangan yang dijual di Pasar Besar Palangka Raya, Kamis (8/2).

Menurut keterangan Nurul, pedagang beras di Pasar Besar, kenaikan harga beras mulai terjadi awal minggu ini. Nurul mencontohkan harga beras merek Lahap 10 kg yang awalnya dijual seharga Rp149- Rp150 ribuan, kini dijual dengan harga Rp160 ribu. “Kami belinya saja seharga Rp157 (ribu),” kata Nurul kepada wartawan, kemarin.

Putri, pemilik toko sembako H Sidi yang mengaku sudah 20 tahun berjualan di Pasar Besar menyebut, kenaikan harga juga terjadi pada beras lokal seperti beras pangkoh. Harga beras pangkoh kemasan 14 kg yang biasa dijual di kisaran Rp190-195 ribu, kini naik menjadi Rp205 ribu. “Pokoknya semua beras sekarang naik,” terang Nurul.

Selain harga beras, komoditas bahan pokok yang juga mengalami kenaikan drastis adalah daging ayam. Daging ayam yang awalnya dijual sekitar Rp34-36 ribu/kg, kini naik menjadi Rp40 ribu-42 ribu/kg. “Naiknya sekitar Rp5-7 ribuan,” kata ibu Aya, pedagang daging ayam di Pasar Besar.

Ia mengatakan, naiknya harga jual daging ayam dikarenakan harga beli dari peternak yang juga melonjak. “Memang dari kandangnya sudah naik,” ujarnya.

Selain daging ayam, kenaikan harga juga terjadi pada telur ayam. Sejumlah pedagang telur di Pasar Besar menyebut, harga jual telur ayam mengalami kenaikan sekitar Rp1000-2000/kg. “Sekarang harga telur ayam sekilo Rp27.700, kemarin kami jual Rp26.500/kg,” tutur Habibah selaku penjual telur.

Sedangkan harga jual telur ayam per tabak, Habibah mengaku berada di kisaran Rp55 ribu hingga Rp60 ribu/tabak. Harga jual tersebut tergantung pada besar kecil ukuran telur yang dijual.

Kalteng Pos sempat menanyakan harga daging sapi yang dijual di Pasar Besar. Dari keterangan seorang pedagang, harga daging sapi lokal segar naik sebesar Rp5 ribu/kilogram. Harga daging sapi yang sebelumnya dijual Rp120 ribu/kilogram, kini dijual Rp125 ribu/kilogram. Sementara harga daging sapi beku justru mengalami penurunan dari Rp130 ribu/kilogram menjadi Rp110 ribu/kilogram.

Baca Juga :  Ancaman Kenaikan Harga Pangan Jelang Nataru

Satu satunya yang mulai naik adalah cabai, berdasarkan informasi harga cabai rawit yang sempat stabil di kisaran Rp40 ribu/kilogram, kini merangkak naik. “Sekarang cabai rawit jual 50 ribu/kilo,” kata salah seorang pedagang cabai.

“Harapan kami, pemerintah bisa membuat harga jual barang pokok murah, jadi banyak orang yang bisa menukar (membeli) dan kami pun nyaman jua menjualnya,” harapnya.

Kenaikan harga pangan di Kalteng mulai terasa belakangan ini. Harga daging ayam ras, beras, dan beberapa komoditas pangan lain mengalami kenaikan. Menurut pantauan Badan Pusat Statistik per Januari 2024, komoditas beras dan daging ayam ras menjadi penyumbang inflasi bulan tersebut. Pemerintah pun didorong agar menjaga stabilitas harga, terutama menjelang hari besar keagamaan Isra Mikraj.

Pemangku kebijakan perlu memastikan mobilitas komoditas berjalan baik dan lancar, sembari menjaga kapasitas pasokan tetap stabil. Pengamat ekonomi Fitria Husnatarina mengungkapkan, stabilitas pasokan pangan dapat terjaga jika jalur distribusi tidak terganggu. Di samping itu, produksi pangan mandiri dari daerah bersangkutan juga sebaiknya dapat terjaga sesuai dengan tingkat kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk.

“Yang juga penting adalah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, itu sifatnya urgen, bagaimana melakukan manajemen inflasi untuk komoditas seperti beras, terutama oleh OPD teknis yang menjadi input, proses, hingga output komoditas beras,” ungkap Fitria kepada Kalteng Pos, Kamis (8/2).

Menjaga stabilitas beras memerlukan langkah dari hulu ke hilir. Perlu dipastikan produksi beras di daerah dapat mencukupi dan sesuai pangsa pasar masyarakat. Menurut Fitria, untuk menjaga stabilitas harga beras di Kalteng, yang notabene menjadi komoditas yang sering mengalami fluktuasi harga, perlu ada sentra produksi beras berkelanjutan. Jika Kalteng memiliki kawasan produksi beras seperti food estate, maka perlu juga memikirkan untuk menyediakan kawasan industrinya.

“Tentunya juga perlu mempertimbangkan pangsa pasar dari beras yang dihasilkan, sentra industri juga cukup berperan penting untuk menjaga pasokan harga beras di suatu daerah tanpa bergantung pada daerah lain,” terangnya.

Baca Juga :  Disdik Susun Jadwal Belajar Tatap Muka Normal

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) itu menjelaskan, beras yang dihasilkan dari daerah sentra produksi beras harus dipastikan dapat diterima pasar. Maka dari itu, program untuk produksi pangan berkelanjutan dalam rangkaian grand design membutuhkan konsep pendanaan yang besar.

“Terkait dengan upaya yang dilakukan sejauh ini, saya pikir masih parsial, upayanya terpisah-pisah, kita belum memiliki grand design untuk mengatasi pola inflasi beras secara jangka panjang,” tuturnya.

Menurut Fitria, operasi pasar seperti pasar murah, pasar penyeimbang, dan bantuan pangan merupakan program jangka pendek. Perlu dipikirkan program jangka panjang yang lebih komprehensif. Karena menurutnya, tidak selamanya anggaran pemerintah sanggup menanggung upaya jangka pendek tersebut secara terus-menerus.

“Ini bukan sebuah program yang dalam jangka panjang bisa bertahan, ada belanja modal yang dibutuhkan, ini bersifat event dan tidak menyelesaikan masalah secara jangka panjang,” tuturnya.

Naik turunnya harga beras adalah tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan. Beras menjadi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi ketersediaan kadang kala terganggu, karena belum ada bahan lain yang dapat menggantikan peran beras sebagai pangan pokok.

“Tentunya membangun sebuah infrastruktur kedaulatan pangan, terutama komoditas beras perlu ada grand design kawasan pengolahan komoditas beras hingga jalur distribusi, bentuk ketersediaan konsumsi masyarakat, itu yang perlu dijaga,” jelasnya.

Pemprov Kalteng sudah mencanangkan pembangunan rice milling unit (RMU) atau alat penggilingan padi skala besar di dua daerah, yakni Pulang Pisau dan Kotawaringin Timur. Menanggapi soal itu, Fitra menyambut baik. Ia mengatakan, keberadaan peralatan tersebut sudah merupakan bentuk intervensi adanya kawasan pengolahan padi menjadi beras.

“Ini salah satu inisiasi yang baik untuk memitigasi bentuk dari potensi komoditas beras menjadi penyumbang inflasi, tentunya jika dua saja tidak cukup, perlu ada penambahan untuk menjangkau kebutuhan semua daerah,” tuturnya. (dan/zia/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Sepekan menjelang pemungutan suara pemilihan umum (pemilu), harga sejumlah pangan di pasar-pasar tradisional Palangka Raya terpantau melonjak. Kenaikan tertinggi ada pada komoditas beras, daging ayam ras, minyak goreng, telur, dan cabai. Data tersebut berdasarkan pantauan harga pangan yang dijual di Pasar Besar Palangka Raya, Kamis (8/2).

Menurut keterangan Nurul, pedagang beras di Pasar Besar, kenaikan harga beras mulai terjadi awal minggu ini. Nurul mencontohkan harga beras merek Lahap 10 kg yang awalnya dijual seharga Rp149- Rp150 ribuan, kini dijual dengan harga Rp160 ribu. “Kami belinya saja seharga Rp157 (ribu),” kata Nurul kepada wartawan, kemarin.

Putri, pemilik toko sembako H Sidi yang mengaku sudah 20 tahun berjualan di Pasar Besar menyebut, kenaikan harga juga terjadi pada beras lokal seperti beras pangkoh. Harga beras pangkoh kemasan 14 kg yang biasa dijual di kisaran Rp190-195 ribu, kini naik menjadi Rp205 ribu. “Pokoknya semua beras sekarang naik,” terang Nurul.

Selain harga beras, komoditas bahan pokok yang juga mengalami kenaikan drastis adalah daging ayam. Daging ayam yang awalnya dijual sekitar Rp34-36 ribu/kg, kini naik menjadi Rp40 ribu-42 ribu/kg. “Naiknya sekitar Rp5-7 ribuan,” kata ibu Aya, pedagang daging ayam di Pasar Besar.

Ia mengatakan, naiknya harga jual daging ayam dikarenakan harga beli dari peternak yang juga melonjak. “Memang dari kandangnya sudah naik,” ujarnya.

Selain daging ayam, kenaikan harga juga terjadi pada telur ayam. Sejumlah pedagang telur di Pasar Besar menyebut, harga jual telur ayam mengalami kenaikan sekitar Rp1000-2000/kg. “Sekarang harga telur ayam sekilo Rp27.700, kemarin kami jual Rp26.500/kg,” tutur Habibah selaku penjual telur.

Sedangkan harga jual telur ayam per tabak, Habibah mengaku berada di kisaran Rp55 ribu hingga Rp60 ribu/tabak. Harga jual tersebut tergantung pada besar kecil ukuran telur yang dijual.

Kalteng Pos sempat menanyakan harga daging sapi yang dijual di Pasar Besar. Dari keterangan seorang pedagang, harga daging sapi lokal segar naik sebesar Rp5 ribu/kilogram. Harga daging sapi yang sebelumnya dijual Rp120 ribu/kilogram, kini dijual Rp125 ribu/kilogram. Sementara harga daging sapi beku justru mengalami penurunan dari Rp130 ribu/kilogram menjadi Rp110 ribu/kilogram.

Baca Juga :  Ancaman Kenaikan Harga Pangan Jelang Nataru

Satu satunya yang mulai naik adalah cabai, berdasarkan informasi harga cabai rawit yang sempat stabil di kisaran Rp40 ribu/kilogram, kini merangkak naik. “Sekarang cabai rawit jual 50 ribu/kilo,” kata salah seorang pedagang cabai.

“Harapan kami, pemerintah bisa membuat harga jual barang pokok murah, jadi banyak orang yang bisa menukar (membeli) dan kami pun nyaman jua menjualnya,” harapnya.

Kenaikan harga pangan di Kalteng mulai terasa belakangan ini. Harga daging ayam ras, beras, dan beberapa komoditas pangan lain mengalami kenaikan. Menurut pantauan Badan Pusat Statistik per Januari 2024, komoditas beras dan daging ayam ras menjadi penyumbang inflasi bulan tersebut. Pemerintah pun didorong agar menjaga stabilitas harga, terutama menjelang hari besar keagamaan Isra Mikraj.

Pemangku kebijakan perlu memastikan mobilitas komoditas berjalan baik dan lancar, sembari menjaga kapasitas pasokan tetap stabil. Pengamat ekonomi Fitria Husnatarina mengungkapkan, stabilitas pasokan pangan dapat terjaga jika jalur distribusi tidak terganggu. Di samping itu, produksi pangan mandiri dari daerah bersangkutan juga sebaiknya dapat terjaga sesuai dengan tingkat kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk.

“Yang juga penting adalah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, itu sifatnya urgen, bagaimana melakukan manajemen inflasi untuk komoditas seperti beras, terutama oleh OPD teknis yang menjadi input, proses, hingga output komoditas beras,” ungkap Fitria kepada Kalteng Pos, Kamis (8/2).

Menjaga stabilitas beras memerlukan langkah dari hulu ke hilir. Perlu dipastikan produksi beras di daerah dapat mencukupi dan sesuai pangsa pasar masyarakat. Menurut Fitria, untuk menjaga stabilitas harga beras di Kalteng, yang notabene menjadi komoditas yang sering mengalami fluktuasi harga, perlu ada sentra produksi beras berkelanjutan. Jika Kalteng memiliki kawasan produksi beras seperti food estate, maka perlu juga memikirkan untuk menyediakan kawasan industrinya.

“Tentunya juga perlu mempertimbangkan pangsa pasar dari beras yang dihasilkan, sentra industri juga cukup berperan penting untuk menjaga pasokan harga beras di suatu daerah tanpa bergantung pada daerah lain,” terangnya.

Baca Juga :  Disdik Susun Jadwal Belajar Tatap Muka Normal

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) itu menjelaskan, beras yang dihasilkan dari daerah sentra produksi beras harus dipastikan dapat diterima pasar. Maka dari itu, program untuk produksi pangan berkelanjutan dalam rangkaian grand design membutuhkan konsep pendanaan yang besar.

“Terkait dengan upaya yang dilakukan sejauh ini, saya pikir masih parsial, upayanya terpisah-pisah, kita belum memiliki grand design untuk mengatasi pola inflasi beras secara jangka panjang,” tuturnya.

Menurut Fitria, operasi pasar seperti pasar murah, pasar penyeimbang, dan bantuan pangan merupakan program jangka pendek. Perlu dipikirkan program jangka panjang yang lebih komprehensif. Karena menurutnya, tidak selamanya anggaran pemerintah sanggup menanggung upaya jangka pendek tersebut secara terus-menerus.

“Ini bukan sebuah program yang dalam jangka panjang bisa bertahan, ada belanja modal yang dibutuhkan, ini bersifat event dan tidak menyelesaikan masalah secara jangka panjang,” tuturnya.

Naik turunnya harga beras adalah tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan. Beras menjadi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi ketersediaan kadang kala terganggu, karena belum ada bahan lain yang dapat menggantikan peran beras sebagai pangan pokok.

“Tentunya membangun sebuah infrastruktur kedaulatan pangan, terutama komoditas beras perlu ada grand design kawasan pengolahan komoditas beras hingga jalur distribusi, bentuk ketersediaan konsumsi masyarakat, itu yang perlu dijaga,” jelasnya.

Pemprov Kalteng sudah mencanangkan pembangunan rice milling unit (RMU) atau alat penggilingan padi skala besar di dua daerah, yakni Pulang Pisau dan Kotawaringin Timur. Menanggapi soal itu, Fitra menyambut baik. Ia mengatakan, keberadaan peralatan tersebut sudah merupakan bentuk intervensi adanya kawasan pengolahan padi menjadi beras.

“Ini salah satu inisiasi yang baik untuk memitigasi bentuk dari potensi komoditas beras menjadi penyumbang inflasi, tentunya jika dua saja tidak cukup, perlu ada penambahan untuk menjangkau kebutuhan semua daerah,” tuturnya. (dan/zia/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/