Jumat, November 22, 2024
25.1 C
Palangkaraya

Dari Workshop Hak Atas Pangan dan Gizi Fian Indonesia dan Walhi

Pegiat Lingkungan; Masyarakat Lokal Mampu Menjaga Ketahanan Pangan

Pemerintah sudah mencanangkan proyek food estate alias lumbung pangan sebagai upaya untuk menjawab potensi krisis pangan yang bisa saja terjadi di masa depan. Namun, pegiat lingkungan menilai solusi itu tidaklah urgen untuk diterapkan saat ini. Sebab, masyarakat lokal sudah memiliki cara tersendiri untuk menjaga ketersediaan pangan mereka sesuai dengan akar budaya masyarakat setempat.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

DIREKTUR Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengatakan, pemerintah selama ini sudah mencanangkan proyek pembukaan lahan pertanian skala besar seperti food estate untuk menyikapi tantangan krisis pangan. Namun, Bayu menyebut hal itu tidak menjawab tantangan yang benar-benar terjadi di lapangan.

 

“Sistem pangan di setiap daerah itu pasti tidak dijalankan dengan memastikan berbagai macam aspek, ini yang tidak dilihat oleh pemerintah, bukan menjawab tantangan yang ada malah menambah persoalan baru,” kata Bayu kepada wartawan usai mengikuti workshop hak atas pangan dan gizi di Hotel Fovere Palangka Raya, Senin (6/5).

 

Bayu mencontohkan, pada program food estate di Kalteng, proyek lumbung pangan itu jauh dari kearifan masyarakat lokal. Maka dari itu eksistensinya pun menimbulkan konflik dan kerentanan pemenuhan pangan secara mandiri terjadi di masyarakat yang sebelumnya mampu berdikari dalam memproduksi kebutuhan pangannya.

 

“Saat ini, masyarakat yang sebelumnya mampu memproduksi pangan secara mandiri, hari ini mereka bergantung dari suplai atau distribusi dari luar, karena tanah atau lahan tidak bisa mereka kelola lagi dengan sistem pertanian lokal,” sebutnya.

Baca Juga :  Ancaman Kenaikan Harga Pangan Jelang Nataru

 

Pemerintah menerapkan sistem pertanian sawah dalam proyek food estate. Tetapi, yang luput dari perhatian pemerintah adalah tidak mempersiapkan faktor pendukung seperti kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan mereka untuk produksi pangan dengan sistem sawah itu masih menjadi masalah.

 

“Selain faktor pendukung, faktor teknis juga masih mengalami kendala, seperti belum memadainya infrastruktur pertanian,” ucapnya.

 

Menurut Bayu, sistem pemenuhan pangan di masyarakat Kalteng seharusnya sudah mapan tanpa adanya proyek food estate sekalipun. Hal itu terlihat ketika pandemi Covid-19 terjadi, masyarakat adat cenderung aman dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan mereka.

 

“Kita bisa cek dalam kasus pandemi Covid-19, masyarakat lokal itu cenderung aman ketahanan pangannya, karena mereka menerapkan sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan, mereka memiliki keragaman atau diversifikasi pangan yang mencakup banyak komoditas, mereka juga bisa menjaga stok pangan itu cukup dalam jangka panjang,” jelasnya.

 

Maka dari itu, Bayu menyimpulkan, keputusan pemerintah dengan melaksanakan pengembangan pangan skala luas dan monokultur dengan konsep food estate itu tidak relevan dengan situasi di Kalteng atau kondisi di Indonesia saat ini.

 

“Karena sebenarnya produksi pangan di daerah kita itu aman, sudah bagus, walaupun ada tantangan seperti semakin berkurangnya petani, berkurangnya lahan pertanian, tapi produksi kita aman, tantangan utamanya adalah distribusi,” tuturnya.

Baca Juga :  Berdaya Guna, Ramah, dan Ramai Dikunjungi

 

Menurut Bayu, tantangan yang dihadapi hari ini adalah bagaimana agar lokasi sentra produksi pangan yang hari ini terpusat di Jawa, khususnya padi, sulit untuk terdistribusi ke wilayah-wilayah lain yang coba diintervensi untuk mengonsumsi beras.

 

“Itu menjadi masalah utama kalau kita bicara krisis pangan. Pemerintah menyebut seolah-olah krisis pangan akan terjadi, padahal kalau kita cek data dari Bulog, setidaknya pada tahun 2020 itu stok pangan kita aman, masih cukup sampai setahun ke depan,” tuturnya.

 

Berdasarkan pengalaman pihaknya dalam melakukan studi perilaku komunitas, Bayu menyebut proyek food estate tidak cocok dijalankan dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan di Kalteng. Konsepnya perlu diubah yang disesuaikan dengan kondisi atau budaya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangannya.

 

“Jadi disesuaikan dengan budaya, tipologinya, lingkungannya, dan praktik yang dilakukan tadi,” tuturnya.

 

Menurut Bayu, berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, dalam konteks ketahanan pangan untuk satu komoditas padi saja, sistem pertanian lokal dengan cara berladang berkontribusi lebih dari 50 persen untuk kebutuhan beras di Kalteng.

 

“Tetapi itu kemudian mengalami penurunan signifikan setelah adanya larangan membakar diterapkan oleh pemerintah pada tahun 2015, acuannya dari BPS sendiri, bisa dilihat kontribusi padi yang didapat dari hasil pertanian berladang itu,” ucapnya. (*/ala)

Pemerintah sudah mencanangkan proyek food estate alias lumbung pangan sebagai upaya untuk menjawab potensi krisis pangan yang bisa saja terjadi di masa depan. Namun, pegiat lingkungan menilai solusi itu tidaklah urgen untuk diterapkan saat ini. Sebab, masyarakat lokal sudah memiliki cara tersendiri untuk menjaga ketersediaan pangan mereka sesuai dengan akar budaya masyarakat setempat.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

DIREKTUR Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengatakan, pemerintah selama ini sudah mencanangkan proyek pembukaan lahan pertanian skala besar seperti food estate untuk menyikapi tantangan krisis pangan. Namun, Bayu menyebut hal itu tidak menjawab tantangan yang benar-benar terjadi di lapangan.

 

“Sistem pangan di setiap daerah itu pasti tidak dijalankan dengan memastikan berbagai macam aspek, ini yang tidak dilihat oleh pemerintah, bukan menjawab tantangan yang ada malah menambah persoalan baru,” kata Bayu kepada wartawan usai mengikuti workshop hak atas pangan dan gizi di Hotel Fovere Palangka Raya, Senin (6/5).

 

Bayu mencontohkan, pada program food estate di Kalteng, proyek lumbung pangan itu jauh dari kearifan masyarakat lokal. Maka dari itu eksistensinya pun menimbulkan konflik dan kerentanan pemenuhan pangan secara mandiri terjadi di masyarakat yang sebelumnya mampu berdikari dalam memproduksi kebutuhan pangannya.

 

“Saat ini, masyarakat yang sebelumnya mampu memproduksi pangan secara mandiri, hari ini mereka bergantung dari suplai atau distribusi dari luar, karena tanah atau lahan tidak bisa mereka kelola lagi dengan sistem pertanian lokal,” sebutnya.

Baca Juga :  Ancaman Kenaikan Harga Pangan Jelang Nataru

 

Pemerintah menerapkan sistem pertanian sawah dalam proyek food estate. Tetapi, yang luput dari perhatian pemerintah adalah tidak mempersiapkan faktor pendukung seperti kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan mereka untuk produksi pangan dengan sistem sawah itu masih menjadi masalah.

 

“Selain faktor pendukung, faktor teknis juga masih mengalami kendala, seperti belum memadainya infrastruktur pertanian,” ucapnya.

 

Menurut Bayu, sistem pemenuhan pangan di masyarakat Kalteng seharusnya sudah mapan tanpa adanya proyek food estate sekalipun. Hal itu terlihat ketika pandemi Covid-19 terjadi, masyarakat adat cenderung aman dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan mereka.

 

“Kita bisa cek dalam kasus pandemi Covid-19, masyarakat lokal itu cenderung aman ketahanan pangannya, karena mereka menerapkan sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan, mereka memiliki keragaman atau diversifikasi pangan yang mencakup banyak komoditas, mereka juga bisa menjaga stok pangan itu cukup dalam jangka panjang,” jelasnya.

 

Maka dari itu, Bayu menyimpulkan, keputusan pemerintah dengan melaksanakan pengembangan pangan skala luas dan monokultur dengan konsep food estate itu tidak relevan dengan situasi di Kalteng atau kondisi di Indonesia saat ini.

 

“Karena sebenarnya produksi pangan di daerah kita itu aman, sudah bagus, walaupun ada tantangan seperti semakin berkurangnya petani, berkurangnya lahan pertanian, tapi produksi kita aman, tantangan utamanya adalah distribusi,” tuturnya.

Baca Juga :  Berdaya Guna, Ramah, dan Ramai Dikunjungi

 

Menurut Bayu, tantangan yang dihadapi hari ini adalah bagaimana agar lokasi sentra produksi pangan yang hari ini terpusat di Jawa, khususnya padi, sulit untuk terdistribusi ke wilayah-wilayah lain yang coba diintervensi untuk mengonsumsi beras.

 

“Itu menjadi masalah utama kalau kita bicara krisis pangan. Pemerintah menyebut seolah-olah krisis pangan akan terjadi, padahal kalau kita cek data dari Bulog, setidaknya pada tahun 2020 itu stok pangan kita aman, masih cukup sampai setahun ke depan,” tuturnya.

 

Berdasarkan pengalaman pihaknya dalam melakukan studi perilaku komunitas, Bayu menyebut proyek food estate tidak cocok dijalankan dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan di Kalteng. Konsepnya perlu diubah yang disesuaikan dengan kondisi atau budaya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangannya.

 

“Jadi disesuaikan dengan budaya, tipologinya, lingkungannya, dan praktik yang dilakukan tadi,” tuturnya.

 

Menurut Bayu, berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, dalam konteks ketahanan pangan untuk satu komoditas padi saja, sistem pertanian lokal dengan cara berladang berkontribusi lebih dari 50 persen untuk kebutuhan beras di Kalteng.

 

“Tetapi itu kemudian mengalami penurunan signifikan setelah adanya larangan membakar diterapkan oleh pemerintah pada tahun 2015, acuannya dari BPS sendiri, bisa dilihat kontribusi padi yang didapat dari hasil pertanian berladang itu,” ucapnya. (*/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/