Oleh; Agus Pramono
SEKOLAH saya kapan bah (ayah,red)? Tanya anak saya yang bersekolah di pinggiran kota. Dia bertanya ketika melihat video anak-anak di salah satu SD di Palangka Raya.
“Belum tahu,”jawab saya. “Kamu mau makan bergizi gratis?”tanya saya. “Mau lah, sepertinya enak,”jawab anak saya.
Itulah gambaran curahan hati anak-anak sekolah yang ada di pinggiran kota. Dia begitu menanti makan bergizi gratis itu ada di sekolahnya.
Program ini sudah berjalan di Palangka Raya. Sudah sepekan. Sementara ada 16 sekolah yang sudah dapat jatah. Besok, menyusul program ini terlaksana di Sampit.
Program dari Presiden Prabowo Subianto dan Wakilnya Gibran Rakabuming Raka sangat bagus. Membantu tumbuh kembang anak lebih baik.
Dalam satu porsi, berisikan menu nasi, ayam, telur, sayur, dan buah. Apakah komposisi menu tersebut sudah mencukupi kebutuhan gizi anak-anak?
Dokter Adisti Cynthia selaku ahli gizi mengatakan iya. Menu yang disediakan sudah cukup memenuhi prinsip dasar gizi seimbang.
Namun, kata ahli gizi beda dengan para orang tua dan anak-anaknya. Sebagian mereka lebih menilai dari penampakan masakan. Lalu yang kedua dari sisi rasa.
Anak-anak dengan berbagai selera muncul bak juri kompetisi masak. Ada yang lahap makan, ada juga yang memandang wadah dengan wajah setengah meringis.
Ada yang sumringah melihat lauk ayam, telur, sayur, dan buah pisang tersaji di depan mereka. Ada juga yang langsung hilang selera.
Bagi yang menyajikan makanan, ini jadi dilema. Mau masak lebih enak, anggaran terbatas. Ya, anggaran dari pemerintah hanya Rp10 ribu.
Saya kok kepikiran, bagaimana anak-anak dari kalangan orang kaya makan menu yang harganya Rp10 ribu.
Bagaimana orang tua mereka mendorong anaknya agar mau makan menu seharga Rp10 ribu?
Doktrin dari orang tua adalah yang utama untuk menyukseskan program ini. Jika di rumah sudah biasa makan yang enak-enak, bilang saja jika makanan gratis di sekolah ini adalah makanan yang memenuhi gizi.
Bagi anak dari kalangan sederhana, tidak usah didoktrin lagi. Mereka pasti makan. Mereka makan demi bertahan hidup.
Tidak peduli bentuknya seperti apa, yang penting perut tidak keroncongan.
Mereka juga belum pasti makan nasi setiap siang. Jadi adanya program itu, orang tua mereka pasti girang.
Tapi, ya ujung-ujungnya kembali ke perut. Kalau lapar, ya dimakan saja. Kalau tidak suka? Ya, mau gimana lagi. Dia yang punya selera.(*)
*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos