Senin, Mei 13, 2024
33.7 C
Palangkaraya

15 Hari Berlalu

Oleh; Agus Pramono

 

ISU Bangkal hangatnya masih terasa. Tapi suaranya mulai hening. Seperti malam. Hanya segelintir orang atau kelompok yang masih lantang mencari keadilan atas tragedi 7 Oktober lalu. Anda pasti sudah tahu. Gijik, pengunjuk rasa saat itu, tewas. Ada lubang bekas peluru di bagian tengah dada. Dua warga lainnya dirawat dengan bekas luka yang sama.

15 hari berlalu, simpati datang silih berganti kepada keluarga korban. Mulai dari Gubernur Kalteng yang memberi segepok uang. Saudaranya, Agustiar, pasang badan terhadap 20 warga yang sempat mencicipi jeruji besi.

15 hari berlalu, Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal membeberkan temuan. Ada enam poin fakta dikumpulkan dari hasil pengamatan maupun wawan­cara saksi dan korban. Sudah dilaporkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

15 hari berlalu, belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab. Polisi, yang menjadi pihak yang tersudut, memilih hati-hati dalam menyampaikan kebenaran. Mereka menunggu hasil uji balistik untuk memastikan adanya bukti kejahatan dengan menggunakan senjata api. Entah sampai kapan waktunya kebenaran dan fakta-fakta itu disampaikan.

Baca Juga :  Lima Desa Tuntut PT CKS Medco Realisasikan Plasma

Saya jadi ingat apa yang disampaikan Dahlan Iskan. Saat menghadiri momen wisuda mahasiswa universitas milik Panji Gumilang, bulan Mei lalu. Dalam orasi ilmiahnya, beliau menyampaikan soal kemunculan kebenaran baru.

Di zaman media sosial yang gila-gilaan saat ini, ujar beliau, ada muncul kebenaran baru. Berbeda dengan kebenaran. Dasarnya juga bukan dari fakta. Fakta tidak mencerminkan kebenaran. Kebenaran saja tidak cukup. Lho, kok bisa?

Kebenaran baru bertumpu pada persepsi. Dan persepsi dibentuk oleh framing atau sudut pandang. Jadi, jangan heran kalau masih ada kontra saat menyampaikan fakta-fakta di media sosial. Tidak ada gunanya juga berbantah-bantahan soal kebenaran di jejaring sosial itu.

Saya khawatir, jika pihak kepolisian mengulur-ulur waktu dalam menyampaikan kebenaran, akan kalah dengan kebenaran baru yang disuarakan masya­rakat. Upss, sekarang kan sudah kalah.

Serba salah ya? Iya. Andai di awal-awal dulu bisa membuat statement kebenaran baru. Misal nih; Iya, betul. Peluru yang bersarang di tubuh korban adalah peluru polisi. Tapi, kami masih menyelidiki siapa yang meletuskannya.

Baca Juga :  Sebuah Renungan di Usia 78

15 hari berlalu. Saya yakin, jika fakta-fakta hasil penye­lidikan itu disampaikan, enggak akan bisa memuaskan. Karena kebenaran baru sudah terbentuk. Contohnya sudah ada. Delapan hari yang lalu, Kapolda Kalteng Irjen Pol Nanang Avianto dan Kapolres Seruyan AKBP Ampi Mesias Van Bullow dimutasi.

Terus apa yang terjadi di media sosial? Mereka menyebut bahwa pucuk pimpinan itu lari dari tanggung jawab. Padahal sebelumnya, mereka meminta Kapolda Kalteng dicopot. Kepindahan Kapolda juga murni penyegaran di tubuh Polri. Tapi, persepsi menyebutkan jika dipindah karena dampak tragedi.

Kalau dipikir-pikir, kebenaran baru tidak hanya muncul di media sosial. Dunia nyata pun ada. Baik di lingkungan kerja, di masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga. Jika persepsi kelompok sudah cacat, seterusnya akan cacat. Mau membela diri de­ngan bilang; Aku lho sudah insaf.” Apakah kelompok orang akan percaya begitu saja? Enggak!(*)

*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos.

Oleh; Agus Pramono

 

ISU Bangkal hangatnya masih terasa. Tapi suaranya mulai hening. Seperti malam. Hanya segelintir orang atau kelompok yang masih lantang mencari keadilan atas tragedi 7 Oktober lalu. Anda pasti sudah tahu. Gijik, pengunjuk rasa saat itu, tewas. Ada lubang bekas peluru di bagian tengah dada. Dua warga lainnya dirawat dengan bekas luka yang sama.

15 hari berlalu, simpati datang silih berganti kepada keluarga korban. Mulai dari Gubernur Kalteng yang memberi segepok uang. Saudaranya, Agustiar, pasang badan terhadap 20 warga yang sempat mencicipi jeruji besi.

15 hari berlalu, Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal membeberkan temuan. Ada enam poin fakta dikumpulkan dari hasil pengamatan maupun wawan­cara saksi dan korban. Sudah dilaporkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

15 hari berlalu, belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab. Polisi, yang menjadi pihak yang tersudut, memilih hati-hati dalam menyampaikan kebenaran. Mereka menunggu hasil uji balistik untuk memastikan adanya bukti kejahatan dengan menggunakan senjata api. Entah sampai kapan waktunya kebenaran dan fakta-fakta itu disampaikan.

Baca Juga :  Lima Desa Tuntut PT CKS Medco Realisasikan Plasma

Saya jadi ingat apa yang disampaikan Dahlan Iskan. Saat menghadiri momen wisuda mahasiswa universitas milik Panji Gumilang, bulan Mei lalu. Dalam orasi ilmiahnya, beliau menyampaikan soal kemunculan kebenaran baru.

Di zaman media sosial yang gila-gilaan saat ini, ujar beliau, ada muncul kebenaran baru. Berbeda dengan kebenaran. Dasarnya juga bukan dari fakta. Fakta tidak mencerminkan kebenaran. Kebenaran saja tidak cukup. Lho, kok bisa?

Kebenaran baru bertumpu pada persepsi. Dan persepsi dibentuk oleh framing atau sudut pandang. Jadi, jangan heran kalau masih ada kontra saat menyampaikan fakta-fakta di media sosial. Tidak ada gunanya juga berbantah-bantahan soal kebenaran di jejaring sosial itu.

Saya khawatir, jika pihak kepolisian mengulur-ulur waktu dalam menyampaikan kebenaran, akan kalah dengan kebenaran baru yang disuarakan masya­rakat. Upss, sekarang kan sudah kalah.

Serba salah ya? Iya. Andai di awal-awal dulu bisa membuat statement kebenaran baru. Misal nih; Iya, betul. Peluru yang bersarang di tubuh korban adalah peluru polisi. Tapi, kami masih menyelidiki siapa yang meletuskannya.

Baca Juga :  Sebuah Renungan di Usia 78

15 hari berlalu. Saya yakin, jika fakta-fakta hasil penye­lidikan itu disampaikan, enggak akan bisa memuaskan. Karena kebenaran baru sudah terbentuk. Contohnya sudah ada. Delapan hari yang lalu, Kapolda Kalteng Irjen Pol Nanang Avianto dan Kapolres Seruyan AKBP Ampi Mesias Van Bullow dimutasi.

Terus apa yang terjadi di media sosial? Mereka menyebut bahwa pucuk pimpinan itu lari dari tanggung jawab. Padahal sebelumnya, mereka meminta Kapolda Kalteng dicopot. Kepindahan Kapolda juga murni penyegaran di tubuh Polri. Tapi, persepsi menyebutkan jika dipindah karena dampak tragedi.

Kalau dipikir-pikir, kebenaran baru tidak hanya muncul di media sosial. Dunia nyata pun ada. Baik di lingkungan kerja, di masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga. Jika persepsi kelompok sudah cacat, seterusnya akan cacat. Mau membela diri de­ngan bilang; Aku lho sudah insaf.” Apakah kelompok orang akan percaya begitu saja? Enggak!(*)

*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos.

Artikel Terkait

Sabar Fest

Los Dol

Saleh Mudik?

Terpopuler

Artikel Terbaru

/