Potongan kecil kayu, serbuk, atau ampas kayu sering dianggap tidak bernilai. Namun di tangan Sulistiyo, limbah kayu yang tidak dianggap itu justru disulap menjadi karya seni dan barang bernilai jual tinggi.
MUTOHAROH, Palangka Raya
BERBAGAI barang dari limbah kayu dapat dijumpai di Galeri Tio Art, Jalan G Obos, Kompleks Bhayangkara II Blok C Nomor 2. Berawal dari hobi, pria yang akrab disapa Tiyo itu berhasil mengubah limbah kayu menjadi karya seni bernilai tinggi.
“Dulu, potongan kayu yang tersisa dari proses pengolahan hanya dibuang atau dibakar, sangat disayangkan, padahal masih bisa dimanfaatkan, akhinya saya beli itu dengan harga yang murah, lalu saya coba olah menjadi barang yang bernilai. Selain punya harga jual, juga bisa mengurangi limbah kayu untuk menjaga kebersihan lingkungan,” ucap Tiyo.
Galeri Tio Art memiliki dua bagian utama. Bagian depan digunakan untuk memajang hasil karya, sementara bagian belakang merupakan tempat produksi.
Karya yang dipajang pun beragama. Mulai dari lampu meja, lukisan, hingga plakat dan piala. Sebagian besar berbahan dasar limbah kayu.
Ayah tiga anak itu memulai usaha ini sejak 2014 lalu. Ia mengatakan, kecintaannya pada kayu berawal dari hobi yang ia tekuni sejak kecil.
Namun ia juga mengakui bahwa semua itu dilakukan secara autodidak. Hanya melihat dari gambar, lalu mencoba mengaplikasikan, hingga menghasilkan suatu produk seni.
“Sejak kecil saya memang suka main kayu, jadi coba-coba buat, lihat gambar terus aplikasikan. Intinya, selama ada kemauan pasti jadi. Memang awalnya enggak rapi, tapi lama-lama terbiasa dan hasilnya bagus,” tuturnya.
Di mata Tiyo, limbah kayu tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga bernilai seni. Ia juga mengombinasikan budaya lokal Dayak dalam desain karyanya.
Corak khas Dayak banyak ditemukan pada hasil karyanya, seperti plakat, piala, hingga lukisan kayu. Namun produk utamanya adalah plakat dan piala dari kayu.
“Selain menjual produk, saya juga ingin memperkenalkan budaya, minimal bisa memperkenalkan, sehingga barang yang saya jual bukan sekadar barang biasa,” ujarnya.
Berbicara soal proses pembuatan produk, Tiyo mengaku bergantung pada tingkat kesulitan. Untuk pembuatan plakat sederhana, ia mampu menyelesaikan dalam sehari. Namun, untuk karya yang lebih detail, proses pembuatannya membutuhkan waktu lebih lama.
“Misalnya plakat dengan ornamen batang garing, biasanya saya bisa selesaikan satu dalam sehari, tergantung besar keci dan kesulitan coraknya, makin kecil produk makin sulit pengerjaannya, karena rawan patah. Sebaliknya, kalau produknya besar, lebih mudah dikerjakan,” jelasnya.
Di sudut ruangan Galeri Tio, terpajang lukisan burung hantu nan cantik. Tiyo mengaku lukisan burung hantu itu terbuat dari serbuk kayu. Lukisan itu pernah dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Karya tersebut, selain membutuhkan keahlian, juga memanfaatkan limbah serbuk kayu yang selama ini sering diabaikan. Untuk harga jualnya, Tiyo tidak membuat patokan. Hanya berdasarkan kecocokan dengan calon pembeli saat tawar-menawar.
Tiyo memasarkan hasil karyanya secara offline maupun online. Secara online, ia memanfaatkan media sosial seperti Instagram, Facebook, dan shopee. Meski memiliki akun di Shopee, ia mengaku kurang aktif di platform ini.
“Penjualan kami cukup seimbang antara offline dan online, 50 banding 50. Banyak pembeli yang datang langsung ke galeri untuk melihat karya kami. Ada juga yang beli secara online. Biasanya kalau mau pesan, beberapa hari sebelumnya. Kalau dalam jumlah banyak, jauh-jauh hari orang sudah pesan,” ungkapnya.
Tiyo mengaku menghadapi tantangan dalam menyesuaikan selera pasar. Meski begitu, ia selalu mengupayakan yang terbaik pada tiap produk, baik dari segi bahan baku maupun model karya.
“Seni itu soal selera, tidak semua orang langsung suka dengan karya yang kita buat, tetapi saya selalu berusaha menampilkan sesuatu yang berbeda, terutama dengan menambahkan nilai seni dan budaya di tiap produk,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya mempertahankan budaya lokal melalui karya-karyanya. Plakat kayu dengan corak budaya Dayak memiliki nilai lebih dibanding plakat plastik.
“Selain lebih unik, orang yang menerima plakat ini biasanya merasa lebih bangga karena ada aspek budaya,” tambahnya sembari menyebut harga jual di kisaran Rp200 ribu hingga Rp500 ribu.
“Tergantung tawaran. Kalau cocok, dilepas (dijual, red),” ucapnya sembari tersenyum.
Ke depan, Sulistiyo berharap seni olahan limbah kayu ini bisa memberikan dampak yang lebih luas, baik secara ekonomi, seni, maupun lingkungan. Selain itu, ia berharap para kaum muda dapat tertarik melestarikan budaya yang diwujudkan dalam karya-karya seni berbahan kayu. Ia berpendapat, dewasa ini banyak orang lebih menyukai karya mebel kayu ketimbang seni kayu.
“Semoga makin banyak orang yang peduli pada limbah, jangan hanya membuang atau membakarnya. Semoga ke depannya banyak anak muda yang turut serta melestarikan budaya lewat karya dari kayu. Kalau mebel kayu banyak, tetapi seni kayu sedikit saja,” tutupnya. (*/ce/ala)