SATU tahun menjelang pensiun, tepatnya pada usia 65 tahun, Prof. Dr. H.M. Norsanie Darlan masih aktif meneliti. 2021 lalu telah me-launching hasil penelitiannya berjudul Peran Museum Balangan Dalam Upaya Pelestarian Budaya Dayak di Palangka Raya.
Penelitian itu termotivasi dari kunjungannya ke salah satu wilayah di perbatasan Kalteng dan Kaltim beberapa tahun lalu. Ia menemukan salah satu suku penganut Kaharingan yang menguburkan jenazah sesaat setelah seseorang meninggal dunia. Padahal yang ia ketahui, penganut Kaharingan di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Sungai Kahayan dan Katingan selalu menyemayamkan dahulu jenazah sebelum dikuburkan.
“Pada sisi lain saya menemukan bahwa masing-masing daerah di Kalteng ini memiliki adat dan tradisi khususnya terkait kematian,” katanya saat dibincangi di Perpustakaan Universitas Palangka Raya (UPR), Jumat (4/2).
Kebudayaan yang ada di daerah merupakan peninggalan dari nenek moyang Dayak Kalteng di masa lalu. Apabila budaya yang menjadi peninggalan dan bagian dari sejarah ini tidak diabadikan, maka perlahan akan hilang atau punah.
“Terkadang secara tidak sadar ketika orang-orang Dayak tidak mengamati kejadian-kejadian yang menjadi peninggalan nenek moyang masa lalu, maka sejarah itu akan hilang nanti, padahal suatu saat nanti itu diperlukan,” kata pria yang masih aktif mengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan (FKIP) UPR.
Penelitian yang berlangsung selama hampir dua tahun itu terkait beberapa hal. Salah satu tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui apakah betang sebuah bangunan rumah adat masyarakat suku Dayak masih ditempati. Juga ingin mengetahui apakah upacara perkawinan masyarakat suku Dayak saat ini tetap seperti zaman dahulu.
“Saya juga ingin mengetahui masih adakah upacara kehamilan masyarakat suku Dayak seperti yang dilaksanakan dahulu, termasuk ingin mengetahui bagaimana upacara kelahiran masyarakat suku Dayak, hingga mengetahui bagaimana upacara kematian masyarakat suku Dayak, apakah masih dilaksanakan atau tidak,” ucapnya.
Ia menyebut bahwa pengamatan untuk penelitiannya sudah dibuat sejak lama. Namun penelitian baru terlaksana dua tahun terakhir. Selain itu, penelitian ini juga bersumber dari Museum Balanga. Karena di museum itu tersaji berbagai peristiwa dan bukti sejarah, baik berupa bangunan rumah betang, foto-foto kejadian masa lampau, dan berbagai peragaan peristiwa seperti upacara perkawinan, kehamilan, kelahiran, dan kematian.
“Hasil penelitian, rumah betang di kawasan pedalaman Kalteng masih seperti semula. Hal ini sebagai ciri dari tingginya kebudayaan leluhur yang tidak ternilai harganya. Banyak dikunjung wisatawan berbagai penjuru daerah dan dunia,” ucap pria yang akan pensiun Oktober nanti.
Dikatakannya, Museum Balanga memang memiliki berbagai bukti peninggalan sejarah. Baik bukti fisik maupun berupa foto-foto. Museum ini sudah cukup sebagai bahan kajian bagi para antoropolog dan sejarawan. Museum ini lengkap menyajikan perjalanan hidup seseorang dari lahir hingga kematian.
“Namun antropolog belum mendalami begitu jauh sejarah dan kebudayaan, ahli sejarah juga tidak ada di Kalteng ini,” ucapnya.
Museum Balanga bisa dikatakan sudah cukup untuk melestarikan budaya Bumi Tambun Bungai. Meski demikian tetap harus dikembangkan. Diharapankan kekayaan budaya dari berbagai daerah se-Kalteng bisa diabadikan di museum ini.
“Saat ini yang ada hanya secara umum dan tidak mewakili dari semua daerah, ada banyak budaya yang tidak terpublikasi, tentunya harus digali oleh antropolog dan diabadikan di museum ini, agar budaya-budaya masyarakat Kalteng tetap lestari,” tegasnya.
Upaya dan perjuangan Profesor Norsanie selama ini dalam melestarikan kebudayaan Kalteng patut diapresiasi. Berbagai penelitian kebudayaan yang telah dibuatnya, suatu saat akan sangat bermanfaat bagi generasi penerus. “Nanti suatu saat ada yang memanfaatkan penelitian saya tentang siklus kehidupan manusia (masyarakat adat Dayak Kalteng, red),” pungkasnya. (*/ce/ala/ko)