PALANGKA RAYA-Mediasi masalah pertanahan di Jalan Pramuka dan Jintan antara puluhan warga dengan Singkang Willem Kusuma pada pertemuan pertama tidak menemui kata sepakat. Hari ini, Kamis (9/2/2023), kedua belah pihak yang berseteru akan dimediasi kembali oleh pihak Kelurahan Menteng untuk penyelesaian sengketa.
Singkang Willem Kusuma mengatakan akan tetap meminta pihak kelompok M Taufik untuk memperlihatkan data autentik dan asli yang dimiliki terkait kepemilikan tanah di Jalan Pramuka.
“Karena saya sudah memperlihatkan semua data asli dan autentik yang saya punyai kepada forum, saya juga minta mereka (kubu Taufik) harus bisa memperlihatkan data otentik dan asli, bukan data fotokopi,” kata Singkang, Selasa (7/2/2023).
Singkang mengatakan, tujuan pihaknya mendesak kelompok M Taufik memperlihatkan data asli adalah untuk membuktikan bahwa data fotokopi yang pernha diperlihatkan pada mediasi pertama di kantor Kelurahan Menteng memang merupakan kopian dokumen asli.
“Mereka harus bisa membuktikan darimana mereka memperoleh tanah itu, asal-usulnya itu yang ingin kami cari tahu, bukti aslinya itu dari mana, bukan bukti fotokopi,” ucap Singkang.
Dikatakannya, data fotokopi yang diperlihatkan kelompok M Taufik pada mediasi pertama, juga pernah diperlihatkan kepadanya saat mediasi di kantor BPN pada 2008 lalu.
“Data itu semuanya tip ex merah, pakai tip ex mesin tik dan mereka tidak mampu memperlihatkan bukti aslinya,” ujarnya.
Singkang menduga di antara warga dalam kelompok Taufik sudah ada yang tahu bahwa bukti yang diperlihatkan pada mediasi tersebut tidak punya bukti asli.
“Karena dalam pertemuan kemarin itu mereka semua diam, tidak ada satu pun yang bicara bahwa ada yang megang bukti asli,” tuturnya.
Apabila dalam mediasi pada hari ini kelompok M Taufik tidak bisa memperlihatkan data autentik kepemilikan tanah, maka tidak ada pilihan lain selain harus angkat kaki dari tanah atau lahan yang ditempati sekarang ini.
“Saya tidak pernah jual untuk Anda (warga), saya juga tidak pernah hibah untuk Anda, jadi bagi yang ada di situ, tolong angkat kaki saja,” tegasnya.
Terkait isu yang menyebutkan bahwa pihak Kelurahan Menteng mencabut SPPT miliknya yang sudah ditandatangani oleh lurah, Singkang menyebut kabar itu tidak benar.
“Enggak ada itu, saya sudah tanya saat pertemuan kemarin, kata lurah (kabar) itu tidak benar, tidak ada itu,” terangnya.
“Saya sudah minta, SKT mereka itulah yang dicabut, karena tidak jelas dari mana riwayat tanah mereka itu,” tambahnya.
Mengenai informasi yang menyebut bahwa ada beberapa warga sudah menagntongi SHM sebagai bukti kepemilikan tanah, Singkang menantang warga bersangkutan untuk memperlihatkan bukti asli SHM. Ia menegaskan bahwa wilayah tersebut ditetapkan BPN sebagai kawasan zona merah, sehingga tidak bisa diterbitkan sertifikat tanah.
“Sudah berulangkali kali saya ajukan pembuatan sertifikat ke BPN, tapi selalu dijawab tidak bisa karena masih zona merah,” tutur Singkang yang menduga SHM yang dikantongi warga kemungkinan merupakan sertifikat palsu.
Singkang memastikan siap menghadapi pihak yang merasa keberatan dengan langkahnya tersebut dan membawa persoalan ke jalur hukum. “Silakan jika ada yang mau melapor ke polisi atau pengadilan, tidak masalah, karena saya mempertahankan hak saya,” ujarnya.
Terpisah, Akhmad Taufik selaku pengacara warga mengatakan pihaknya bersikukuh tidak berdamai dengan Singkang W Kesuma.
“Kami minta Singkang diproses sesuai hukum yang berlaku, surat tanah yang ia punya dicabut, dibatalkan, itu yang kami harapkan, kami bersikukuh dengan pandirian kami,” ucap Taufik kepada Kalteng Pos, kemarin. 6
Taufik menyebut, pada intinya warga tak ingin berdamai maupun berkompromi dengan Singkang W Kesuma. Perkara ini telah dilaporkan ke kepolisian atas dugaan pengunaan dokumen atau surat tanah palsu.
“Perkara pembatalan atau pencabutan surat tanah atas nama Singkang W Kesuma juga kami lanjutkan, tengah kami upayakan melalui forum mediasi yang dimotori oleh pihak kelurahan,” jelasnya.
Ia menilai surat atau dokumen yang ditunjukkan Singkang W Kesuma dalam mediasi beberapa waktu lalu tidak valid serta cacat prosedur. Jika memang Singkang mengaku pada tahun 2007 punya tanah, lantas mengapa Singkang memakai nama H Hapid pada tahun 2008. “Padahal jika memang sudah punya tanah sebelum tahun itu, kan dia bisa bertindak atas nama sendiri,” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan Taufik, H Hapid justru pernah menggugat kepemilikan tanah itu pada 2013 lalu. Apabila benar sudah ada alih kepemilikan, mustahil H Hapid selaku pemilik asal tanah melakukan gugatan.
Surat tanah yang diperlihatkan Singkang, yang mana tertulis surat keputusan (SK) wali kota, menurut Taufik surat itu bukan merupakan surat hak kepemilikan, melainkan surat izin lokasi. Pada poin empat surat tersebut tertera bahwa surat itu hanya berlaku satu tahun yaitu tanggal 18 Juni 1993 sampai 18 Juni 1994. “Nah, surat itu pun bukan untuk Singkang, melainkan untuk PT milik Haji Romli,” ucapnya.
Apabila Singkang tetap menggunakan SK wali kota itu sebagai dasar klaimnya, maka tidak ada alasan hukum bagi Singkang untuk mengklaim.
“SK wali kota bukan tidak sah, tapi peruntukannya bukan untuk kepemilikan, tapi izin lokasi dari pemerintah kota untuk perusahaan developer milik Haji Romli untuk melakukan pembangunan kawasan perumahan. Tetapi sesuai ketentuan yang berlaku di dalamnya, PT tersebut tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk mengganti rugi kepada pemilik lahan di situ, sehingga kemudian tidak terlaksana, maka dengan sendirinya masa berlaku surat itu berakhir tanggal 18 Juni 1994,” jelasnya.
Selanjutnya terkait klaim Singkang bahwa di daerah itu terdapat lahan seluas 7,5 hektare milik H Hapid, menurut Taufik, hal itu bersinggungan dengan update pernyataan H Hapid pada tahun 1994 yang menyatakan bahwa tanah atas nama H Hapid hanya tersisa 26 meter.
Taufik menegaskan bahwa solusi yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) tidak akan terjadi. Masyarakat, lanjut Taufik, karena sudah merasa memiliki tanah, telah membeli dengan susah payah, memelihara dan merawat tanah, serta sebagian sudah ada yang membangun rumah di atasnya, maka masyarakat bersikukuh mempertahankan hak milik.
“Sementara saudara Singkang itu kan pernyataannya sudah memelihara, tidak bersengketa, padahal faktanya kan tidak, jadi masyarakat tidak akan setuju dengan win-win solution, tidak akan, kami ingin Singkang dan Perry diproses secara hukum,” tuturnya.
Singkang pernah mengklaim memiliki tanah itu sejak 2007, sementara lurah Menteng dan Kasi Pemerintahan Kelurahan Menteng yang menjabat kala itu menyatakan tidak pernah menandatangani surat-surat tanah atas nama Singkang W Kesuma.
“Surat tanah yang diklaim oleh Singkang ditandatangani ketua RT 05, sementara lokasi objek tanah yang diklaim di wilayah RT 03. Dari segi kewenangan, surat tanah itu harus memenuhi unsur pasal 64 juncto pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 2014,” jelasnya.
Menanggapi surat pernyataan pemilik tanah (SPPT) yang ditandatangani Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari atas nama Singkang W Kesuma baru-baru ini, Taufik menyebut hal itu merupakan hasil ketidakcermatan pihak kelurahan.
“Kenapa tidak cermat, karena lokasinya beda. Luas tanahnya itu kan 58×30, di atas surat nomor 235 tahun 2007 itu atas haknya, tidak ada yang menyebutkan luas tanah lebarnya segitu,” tuturnya.
Taufik selaku kuasa hukum warga berharap agar pihak kelurahan lebih bijaksana dalam mempertimbangkan perlunya pencabutan SPPT atas nama Singkang W Kesuma yang pernah ditandatangani. (sja/dan/ce/ala)