Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Usut Punya Usut, Korban Tewas Konflik Bangkal Merupakan Anggota TBBR

PALANGKA RAYA-Warga Desa Bangkal, James Watt mengungkapkan, warga tengah berduka di lokasi rumah duka korban bernama Gijik (35). Almarhum merupakan anggota TBBR wilayah setempat yang aktif ikut serta menuntut realisasi plasma dari pihak PT HMBP I. Saat kejadian, Gijik tertembak di bagian dada dan tewas di tempat.

Dua orang rekan Gijik lainnya, Taufik Nurahman dan Ambaryanto, luka-luka. Pihaknya menduga akibat senjata api dari polisi yang bertugas. Sementara pihak kepolisian menyebut mereka tidak menggunakan senjata api dan mengatakan telah menangkap sejumlah warga yang membawa senjata api. Akan tetapi, James membantah hal itu. Ia menegaskan warga tidak membawa senjata api.

“Saya dengar pada saat di tempat kejadian warga tidak ada membawa senjata api, masyarakat yang ikut aksi dan berdekatan dengan almarhum menegaskan tidak ada, yang jelas yang melakukan penindakan kemarin itu dari brimob,” kata James saat dihubungi Kalteng Pos, Minggu (8/10).

Ia menegaskan pihak warga tidak membawa senjata api, tetapi hanya membawa senjata tajam seperti pisau dan mandau. Warga yang membawa egrek pun ada, cuman ditujukan hanya untuk memengaruhi pihak aparat agar mendesak pihak perusahaan supaya merealisasikan tuntutan masyarakat.

“Ada juga narasi berita yang mengatakan warga memanen sawit, nggak ada, masyarakat baru memasang tenda, setelah selesai memasang tenda tempat mereka istirahat, datanglah aparat brimob bersenjata lengkap,” sebutnya.

James menyebut, penyerangan oleh aparat terhadap warga di sana pada Sabtu kemarin itu bukan yang pertama kalinya. Disebutkannya, pada kali pertama yakni 16 September 2023 lalu, aparat menyerang warga menggunakan gas air mata. Lalu pada 23 September 2023, masyarakat kembali menuntut haknya, aparat menyerang menggunakan tembakan gas beserta senjata berpeluru karet.

“Polisi itu sudah tahu apa yang seharusnya mereka lakukan, seharusnya mereka itu mendesak pihak perusahaan agar memenuhi tuntutan masyarakat, jangan malah membubarkan masyarakat yang menuntut haknya, itukan sepihak,” tuturnya.

James menjelaskan, peristiwa berdarah itu terjadi pukul 12.00 WIB di lokasi lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Lahan di luar HGU memiliki luasan 1175 hektare (ha). Karena lahan itu tidak satu hamparan, maka masyarakat bersepakat untuk memplotting lahan tersebut supaya satu tempat.

Baca Juga :  Gawat Nih! 59 Ribu Keluarga di Kalteng Berisiko Stunting

“Di satu tempat itu mereka menduduki lahan itu supaya tidak mengganggu lahan milik PT HMBP I, itu tujuan mereka. Masyarakat menduduki lahan itu bukan tanpa alasan, karena masyarakat menduduki posisi lahan di luar HGU milik PT HMBP I,” ungkapnya.

Dari pengakuan sebagian besar warga, James menyebut kericuhan yang terjadi Sabtu kemarin itu dimulai dari tindakan represif aparat, khususnya pasukan brimob kepolisian. Pihak kepolisian ingin membubarkan kerumunan warga, masyarakat merasa dipojokkan, sehingga melawan dan tetap bertahan dari tindakan aparat kepolisian.

“Walaupun mediasi demi mediasi sudah dilakukan, antara pemerintah desa dan perusahaan, tetapi masyarakat merasa tidak memuaskan apa yang mereka tuntut, tuntutan masyarakat lahan di luar HGU itu dikembalikan ke masyarakat,” bebernya.

Ada sejumlah tuntutan warga yang tidak diindahkan oleh pihak perusahaan. James menyebut, masyarakat Desa Bangkal cukup sabar dengan sikap pihak PT HMBP. Sebab, sengketa antara masyarakat dan PT HMBP sudah terjadi cukup lama. Sejak tahun 2013, James menceritakan, sudah ada MoU antara perusahaan dan masyarakat untuk merealisasikan plasma sebesar 2 hektare per kartu keluarga (KK). Direalisasikan oleh PT HMBP pada Januari 2014. Namun, apa yang disepakati seperti pada kesepakatan pertama pihak perusahaan selalu mengingkari janji itu.

“Perusahaan wanprestasi dari kesepakatan pertama tersebut. Jadi dari situlah perjuangan warga masyarakat dengan kemarahan mereka atas janji-janji PT HMBP yang tak kunjung direalisasikan, sehingga masyarakat habis kesabaran,” sebutnya.

Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Bangkal dan PT HMBP I itu terjadi tentu ada sebab dan ada akibat. Sebab perusahaan yang mengingkari janji berakibat pada kemarahan warga desa setempat. James menyebut warga akan terus memperjuangkan nasib mereka.

“Warga menolak keberadaan perusahaan itu, kami mendesak pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mencabut izin PT HMBP supaya tidak membuat permasalahan di kemudian hari. Masyarakat sangat trauma dengan kejadian-kejadian yang dihadapi saat ini,” terangnya.

Terkait dengan tewasnya seorang warga dari desa setempat, James berharap proses hukum nanti harus ada dan bisa berjalan seadil-adilnya. Terkait dengan kematian korban apakah menggunakan peluru tajam atau bukan, James menyebut ada banyak saksi yang melihat pada saat kejadian aparat menembak dengan peluru tajam.

Baca Juga :  Satu Gedung Walet di Desa Ayawan Ludes Diamuk si Jago Merah

“Masyarakat punya bukti berupa video pada saat kejadian di TKP. Ada suara teriakan berupa perintah melakukan penembakan, itu merupakan suara dari komandan pasukan kepolisian. Kalau kena peluru tajam, nggak mungkin sampai tembus dada,” bebernya.

Dari kejadian kemarin, James menyebut warga berharap bagi yang melakukan pelanggaran hukum harus diproses secara hukum dengan seadil-adilnya. Kalau memang terbukti bersalah, warga meminta agar pihak aparat yang memerintah dan diperintah agar dicopot dari jabatannya.

“Copot dari jabatannya, jangan sampai hanya dimutasi saja, nanti menular. Kita ini negara pancasila, bukan bangsa terjajah. Masyarakat bukan teroris. Copot jabatannya, berhentikan dengan tidak hormat, harus menjalani hukuman yang setimpal sesuai aturan,” tutur James seraya menegaskan itulah harapan dari masyarakat.

James menyebut apabila tidak ada tindakan berupa realisasi plasma 20 persen dari pihak perusahaan, maka masyarakat tidak akan berhenti memperjuangkan hal itu. Masyarakat akan tetap terus melakukan upaya memperjuangkan hak mereka. Karena pihak masyarakat tidak memiliki uang untuk menuntut ke pengadilan, James menyebut masyarakat tidak akan jera menuntut realisasi atas hak mereka.

Pihaknya mendesak pemerintah agar mencabut izin PT HMBP I di wilayah Desa Bangkal dan meminta pemerintah daerah agar segera merealisasikan kewajiban plasma 20 persen itu untuk menyejahterakan masyarakat setempat.

“Proses hukum bagi yang terbukti melaksanakan pelanggaran hukum, khususnya untuk pihak aparat kepolisian atau brimob yang melakukan penindakan kepada almarhum Gijik. Proses dia secara hukum, copot dia dari jabatannya,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo mendesak agar kasus ini diusut tuntas pada proses pidana pembunuhan. Pihaknya menilai aparat kepolisian telah melakukan pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing. Inilah yang harus diusut tuntas dan harus dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

“Kasus ini harus diusut tuntas ke proses pidana pembunuhan. Komnas HAM harus turun tangan lapangan segera melakukan investigasi,” kata Aryo, kemarin.(dan)

PALANGKA RAYA-Warga Desa Bangkal, James Watt mengungkapkan, warga tengah berduka di lokasi rumah duka korban bernama Gijik (35). Almarhum merupakan anggota TBBR wilayah setempat yang aktif ikut serta menuntut realisasi plasma dari pihak PT HMBP I. Saat kejadian, Gijik tertembak di bagian dada dan tewas di tempat.

Dua orang rekan Gijik lainnya, Taufik Nurahman dan Ambaryanto, luka-luka. Pihaknya menduga akibat senjata api dari polisi yang bertugas. Sementara pihak kepolisian menyebut mereka tidak menggunakan senjata api dan mengatakan telah menangkap sejumlah warga yang membawa senjata api. Akan tetapi, James membantah hal itu. Ia menegaskan warga tidak membawa senjata api.

“Saya dengar pada saat di tempat kejadian warga tidak ada membawa senjata api, masyarakat yang ikut aksi dan berdekatan dengan almarhum menegaskan tidak ada, yang jelas yang melakukan penindakan kemarin itu dari brimob,” kata James saat dihubungi Kalteng Pos, Minggu (8/10).

Ia menegaskan pihak warga tidak membawa senjata api, tetapi hanya membawa senjata tajam seperti pisau dan mandau. Warga yang membawa egrek pun ada, cuman ditujukan hanya untuk memengaruhi pihak aparat agar mendesak pihak perusahaan supaya merealisasikan tuntutan masyarakat.

“Ada juga narasi berita yang mengatakan warga memanen sawit, nggak ada, masyarakat baru memasang tenda, setelah selesai memasang tenda tempat mereka istirahat, datanglah aparat brimob bersenjata lengkap,” sebutnya.

James menyebut, penyerangan oleh aparat terhadap warga di sana pada Sabtu kemarin itu bukan yang pertama kalinya. Disebutkannya, pada kali pertama yakni 16 September 2023 lalu, aparat menyerang warga menggunakan gas air mata. Lalu pada 23 September 2023, masyarakat kembali menuntut haknya, aparat menyerang menggunakan tembakan gas beserta senjata berpeluru karet.

“Polisi itu sudah tahu apa yang seharusnya mereka lakukan, seharusnya mereka itu mendesak pihak perusahaan agar memenuhi tuntutan masyarakat, jangan malah membubarkan masyarakat yang menuntut haknya, itukan sepihak,” tuturnya.

James menjelaskan, peristiwa berdarah itu terjadi pukul 12.00 WIB di lokasi lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Lahan di luar HGU memiliki luasan 1175 hektare (ha). Karena lahan itu tidak satu hamparan, maka masyarakat bersepakat untuk memplotting lahan tersebut supaya satu tempat.

Baca Juga :  Gawat Nih! 59 Ribu Keluarga di Kalteng Berisiko Stunting

“Di satu tempat itu mereka menduduki lahan itu supaya tidak mengganggu lahan milik PT HMBP I, itu tujuan mereka. Masyarakat menduduki lahan itu bukan tanpa alasan, karena masyarakat menduduki posisi lahan di luar HGU milik PT HMBP I,” ungkapnya.

Dari pengakuan sebagian besar warga, James menyebut kericuhan yang terjadi Sabtu kemarin itu dimulai dari tindakan represif aparat, khususnya pasukan brimob kepolisian. Pihak kepolisian ingin membubarkan kerumunan warga, masyarakat merasa dipojokkan, sehingga melawan dan tetap bertahan dari tindakan aparat kepolisian.

“Walaupun mediasi demi mediasi sudah dilakukan, antara pemerintah desa dan perusahaan, tetapi masyarakat merasa tidak memuaskan apa yang mereka tuntut, tuntutan masyarakat lahan di luar HGU itu dikembalikan ke masyarakat,” bebernya.

Ada sejumlah tuntutan warga yang tidak diindahkan oleh pihak perusahaan. James menyebut, masyarakat Desa Bangkal cukup sabar dengan sikap pihak PT HMBP. Sebab, sengketa antara masyarakat dan PT HMBP sudah terjadi cukup lama. Sejak tahun 2013, James menceritakan, sudah ada MoU antara perusahaan dan masyarakat untuk merealisasikan plasma sebesar 2 hektare per kartu keluarga (KK). Direalisasikan oleh PT HMBP pada Januari 2014. Namun, apa yang disepakati seperti pada kesepakatan pertama pihak perusahaan selalu mengingkari janji itu.

“Perusahaan wanprestasi dari kesepakatan pertama tersebut. Jadi dari situlah perjuangan warga masyarakat dengan kemarahan mereka atas janji-janji PT HMBP yang tak kunjung direalisasikan, sehingga masyarakat habis kesabaran,” sebutnya.

Konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Bangkal dan PT HMBP I itu terjadi tentu ada sebab dan ada akibat. Sebab perusahaan yang mengingkari janji berakibat pada kemarahan warga desa setempat. James menyebut warga akan terus memperjuangkan nasib mereka.

“Warga menolak keberadaan perusahaan itu, kami mendesak pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mencabut izin PT HMBP supaya tidak membuat permasalahan di kemudian hari. Masyarakat sangat trauma dengan kejadian-kejadian yang dihadapi saat ini,” terangnya.

Terkait dengan tewasnya seorang warga dari desa setempat, James berharap proses hukum nanti harus ada dan bisa berjalan seadil-adilnya. Terkait dengan kematian korban apakah menggunakan peluru tajam atau bukan, James menyebut ada banyak saksi yang melihat pada saat kejadian aparat menembak dengan peluru tajam.

Baca Juga :  Satu Gedung Walet di Desa Ayawan Ludes Diamuk si Jago Merah

“Masyarakat punya bukti berupa video pada saat kejadian di TKP. Ada suara teriakan berupa perintah melakukan penembakan, itu merupakan suara dari komandan pasukan kepolisian. Kalau kena peluru tajam, nggak mungkin sampai tembus dada,” bebernya.

Dari kejadian kemarin, James menyebut warga berharap bagi yang melakukan pelanggaran hukum harus diproses secara hukum dengan seadil-adilnya. Kalau memang terbukti bersalah, warga meminta agar pihak aparat yang memerintah dan diperintah agar dicopot dari jabatannya.

“Copot dari jabatannya, jangan sampai hanya dimutasi saja, nanti menular. Kita ini negara pancasila, bukan bangsa terjajah. Masyarakat bukan teroris. Copot jabatannya, berhentikan dengan tidak hormat, harus menjalani hukuman yang setimpal sesuai aturan,” tutur James seraya menegaskan itulah harapan dari masyarakat.

James menyebut apabila tidak ada tindakan berupa realisasi plasma 20 persen dari pihak perusahaan, maka masyarakat tidak akan berhenti memperjuangkan hal itu. Masyarakat akan tetap terus melakukan upaya memperjuangkan hak mereka. Karena pihak masyarakat tidak memiliki uang untuk menuntut ke pengadilan, James menyebut masyarakat tidak akan jera menuntut realisasi atas hak mereka.

Pihaknya mendesak pemerintah agar mencabut izin PT HMBP I di wilayah Desa Bangkal dan meminta pemerintah daerah agar segera merealisasikan kewajiban plasma 20 persen itu untuk menyejahterakan masyarakat setempat.

“Proses hukum bagi yang terbukti melaksanakan pelanggaran hukum, khususnya untuk pihak aparat kepolisian atau brimob yang melakukan penindakan kepada almarhum Gijik. Proses dia secara hukum, copot dia dari jabatannya,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo mendesak agar kasus ini diusut tuntas pada proses pidana pembunuhan. Pihaknya menilai aparat kepolisian telah melakukan pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing. Inilah yang harus diusut tuntas dan harus dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

“Kasus ini harus diusut tuntas ke proses pidana pembunuhan. Komnas HAM harus turun tangan lapangan segera melakukan investigasi,” kata Aryo, kemarin.(dan)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/