PALANGKA RAYA-Keberadaan masyarakat adat di Kalimantan Tengah (Kalteng) perlu pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Maka dari itu, payung hukum dan turunannya pun harus disediakan pemerintah, baik lingkup pusat hingga daerah, dalam upaya mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Kendati regulasi itu sudah ada, sejumlah poin rancangan peraturan yang diformulasikan pemerintah daerah masih menuai kritik dari pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat adat.
Ketua Pelaksana Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Kalteng 2022-2027, Ferdi Kurnianto berpendapat, adanya peraturan daerah (perda) tingkat Provinsi Kalteng terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat perlu segera ditetapkan. Namun, ada sejumlah substansi pasal yang perlu diperbaiki sebelum perda itu resmi berlaku.
“Harus perbaiki dulu pasal-pasal yang kami nilai bermasalah, karena nantinya bisa jadi perda yang diskriminatif kalau tidak diperbaiki kesalahan pada muatan substansinya,” ujar Ferdi kepada wartawan di sela-sela acara peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia di Kawasan Pasar Datah Manuah, Palangka Raya, Sabtu (10/8/2024).
Pihaknya bersama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) koalisi sedang menyusun daftar masalah dari raperda terkait masyarakat adat tersebut. “Kami sudah menyusun inventarisasi masalah dari raperda itu,” ucapnya.
Poin pertama yang pihaknya soroti dari raperda itu adalah bagaimana pengakuan terkait wilayah adat atau masyarakat adat yang tinggal di pesisir pantai atau pulau-pulau kecil di Kalteng, karena yang termuat di raperda itu hanya mengatur tata cara pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat yang ada di daratan.
“Sementara garis pantai Kalteng itu cukup panjang, masyarakat adat juga banyak yang hidup di pesisir-pesisir itu,” tambahnya. Padahal, wilayah adat tidak hanya meliputi wilayah daratan, tetapi bisa melingkupi perairan, hal ini sesuai dengan undang-undang yang membahas terkait pulau-pulau kecil dan pesisir.
“Jadi, seandainya raperda itu ditetapkan tapi belum memasuki satu hal itu, maka selanjutnya tidak bisa diakui keberadaan masyarakat adat yang ada di pesisir,” ucapnya.
Pihaknya juga melihat bahwa dalam rancangan peraturan itu belum ada poin yang mengatur tentang tanggung jawab perusahaan dalam mendorong pengakuan masyarakat adat. Alasan pihaknya menekankan tanggung jawab perusahaan adalah karena di lapangan keberadaan perusahaan turut memengaruhi eksistensi masyarakat adat di Kalteng.
“Tak hanya itu, dalam raperda itu juga belum mengatur terkait dengan sanksi bagi perusahaan ketika melanggar hak-hak dan kehidupan masyarakat adat, yang termuat di draf itu hanya mengatur kewajiban perusahaan untuk melibatkan masyarakat adat dalam bekerja di situ,” imbuhnya.
Menurut Ferdi, masih ada seabrek persoalan yang pihaknya lihat belum bisa diselesaikan oleh raperda tersebut. Berdasarkan daftar inventarisasi masalah yang pihaknya susun usai membaca draft raperda itu, ada 23 poin masalah substansial yang belum terakomodasi. Tiga di antaranya sudah disebutkan.
Berdasarkan informasi yang pihaknya dapatkan, untuk saat ini raperda provinsi tersebut sudah ditetapkan oleh DPRD Provinsi Kalteng dan Pemprov Kalteng. Saat ini sedang dikonsultasikan di Kementerian Dalam Negeri untuk kemudian di-review lalu bakal dikembalikan ke Pemprov Kalteng jika ada revisi atau tambahan lagi. Ketika proses itu selesai, baru bisa diundang-undangkan.
“Masih ada waktu untuk mengubahnya sebelum diundangkan, kalau sudah diundangkan, dapat nomor perda, masuk dalam lembar daerah, maka kemudian tinggal implementasi. Akan sulit untuk mengubahnya kalau sudah sah, harus melalui judicial review, jika sudah begitu, kami tentu akan mengambil jalan judicial review,” tegasnya.
Ferdi juga menyoroti masih sedikitnya kabupaten/kota di Kalteng yang memiliki peraturan daerah untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat. Baru ada empat kabupaten di Kalteng yang sudah menetapkan peraturan itu, seperti Gunung Mas, Pulang Pisau, Sukamara, dan Lamandau.
“Untuk daerah-daerah lain, wilayah kabupaten termasuk wilayah kota sisanya, harus segera dipercepat pengesahan peraturan tingkat daerah untuk mengakomodasi pengakuan dan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat,” katanya.
Menurut Ferdi, ada sejumlah persoalan yang muncul di lapangan ketika perda tingkat kabupaten untuk mengakui hak-hak masyarakat adat tidak ada. Contohnya, ketika masyarakat ingin mendapatkan SK hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, maka pemerintah daerah harus juga punya perda tersebut.
“Ketika misalnya areal yang diusulkan menjadi hutan adat itu berada dalam kawasan hutan, tidak cukup hanya melalui SK bupati atau SK gubernur, makanya perda itu penting,” tambahnya.
Lalu, ketika ada konflik yang melibatkan masyarakat adat dengan pihak lain, salah satunya dengan perusahaan, maka masyarakat adat perlu mendapatkan jaminan hukum berkeadilan. Selama ini posisi masyarakat adat lemah karena regulasi pengakuannya masih belum ada untuk provinsi dan belum semua kabupaten memiliki regulasi yang sama.
“Misalnya di tahun 2019, ketika banyak peladang tradisional yang dituduh jadi pelaku pembakaran hutan dan lahan, banyak persidangan yang membuat mereka dicap bersalah. Meskipun ada regulasi bahwa masyarakat adat boleh berladang, tapi yang kena kasus itu tidak atau belum diakui secara hukum sebagai masyarakat adat,” jelas Ferdi. (dan/ala)