PALANGKA RAYA-Eksistensi Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rungan di Gunung Mas (Gumas) kini sudah diakui negara. Masyarakat setempat akhirnya bisa bernapas lega, setelah beberapa tahun memperjuangkan hutan adat mereka agar bisa diakui negara. Mereka juga berharap pemerintah dan lembaga terkait mau memberikan pendampingan terkait pengelolaan hutan adat, seiring dengan adanya pengakuan status MHA oleh negara.
MHA merupakan sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah adat tertentu secara turun-temurun yang keberadaannya diakui negara. Untuk mendapatkan pengakuan MHA, masyarakat adat perlu menajukan usulan kepada kepala daerah dan sepengetahuan damang atau kepala adat setempat. Pengusulan tersebut merupakan hasil kesepakatan yang disahkan dalam rapat mantir dan disusun dalam bentuk berita acara kesepakatan.
Jika MHA berada pada lintas kabupaten dan atau kota, maka usulan diajukan kepada gubernur. Namun apabila MHA berada dalam satu wilayah kabupaten atau kota, maka usulan cukup diajukan kepada bupati atau wali kota setempat.
Pengusulan MHA diserahkan kepada panitia MHA yang telah dibentuk oleh kepala daerah, dengan melampirkan bukti-bukti atau syarat yang akan diverifikasi. Ada beberapa hal yang menjadi syarat pengajuan MHA. Antara lain sejarah MHA, bentuk pemerintahan adat, wilayah adat, dokumen hukum adat yang berlaku, harta kekayaan, sumber daya alam, simbol adat, kesenian, dan daerah sakral.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: 7924/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/8/2023 tentang Penetapan Status Hutan Adat Dalam Wilayah MHA Rungan Seluas Kurang Lebih 5.416 Hektare. Terdiri dari Kelurahan Mungku Baru dan Kecamatan Rakumpit, Kota Palangka Raya, serta Desa Parempei dan Desa Bereng Malaka, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas.
Ketua MHA Rungan, Hermanto mengatakan, sejak 2016 pihaknya sudah mulai memperjuangkan pengakuan atas MHA Rungan. Saat itu MHA Rungan masih sebatas pengurus adat hingga di tingkat kelurahan.
“Kemudian kepengurusan organisasi berubah menjadi lembaga dan akhirnya sekarang kami sudah mendapat legalitas beserta detail hutan adatnya,” kata Hermanto kepada wartawan usai menghadiri penyerahan SK pengakuan MHA Rungan di Kantor Gubernur Kalteng, Senin (13/11).
MHA sendiri didapatkan melalui SK Gubernur Kalteng. Sementara untuk teknis hutan adatnya disahkan oleh KLHK. Hermanto menyebut, awalnya pihaknya memasuki dari hutan adat yang termasuk wilayah Kota Palangka Raya. Namun kemudian desa tetangga yang masuk wilayah Gunung Mas, yakni Desa Parempei dan Desa Bereng Malaka juga menginginkan untuk bergabung menjadi satu kesatuan dalam MHA Rungan.
“Satu MHA, yakni MHA Rungan, itu terdiri dari dua desa dan satu kelurahan, berbeda dengan MHA lain yang satu MHA satu desa,” tuturnya.
Kelurahan Mungku Baru sendiri, lanjut Hermanto, lebih banyak mengurusi terkait hutan ulin. Ada sekitar 230-an hektare hutan hamparan ulin dari KLHK yang ditetapkan menjadi zona lindung, sehingga tidak bisa diganggu gugat. Hamparan hutan ulin itu berada di Hutan Tabalien.
“Hutan ulin itu enggak mungkin kami babat atau kami apa-apakan, mungkin kami cari mitra untuk pemanfaatan berkelanjutan di lingkup Hutan Tabalien itu,” tambahnya.
Sementara untuk Desa Parempei dan Desa Bereng Malaka menyimpan Kaleka Buleng dan Kaleka Siang. Hermanto menyebut hutan adat yang akan pihaknya kelola lebih lanjut itu menyimpan banyak sekali potensi, terutama untuk obat-obatan tradisional. Juga ada potensi ekowisata.
“Kami memang belum ada rencana untuk pemberdayaan dan pengelolaan, tetapi dalam waktu dekat akan kami susun,” ucapnya.
Hermanto berharap agar upaya pihaknya mengelola hutan adat didukung dan dibantu pemerintah daerah atau lembaga-lembaga lain yang berkecimpung dalam pemberdayaan masyarakat adat.
“Mudah-mudahan ada bantuan dari pemerintah dan lembaga terkait dalam upaya melestarikan hutan adat ini, karena tentu tidak akan lepas dari kendala-kendala,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Program Rungan Yayasan Borneo Nature Indonesia, YB Anugrah Wicaksono mengatakan, jauh sebelum diakui pemerintah, pihaknya terus melakukan pendampingan untuk masyarakat bentang Rungan.
“BNF bekerja di satu bentang alam yang namanya Rungan-Kahayan, antara Sungai Rungan dan Sungai Kahayan. Fokus dari kami terkait dengan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan,” tambahnya.
Anugrah mengatakan, pihaknya menemukan tradisi unik masyarakat Kelurahan Mungku Baru. Masyarakat setempat memercayai ada hutan adat yang keramat, yakni Hutan Tabalien. Sebelum diakui negara, hutan tersebut berstatus hutan negara dan hak kelolanya masuk kawasan konsesi PT Taiyoung Engreen.
“Kami memberikan pendampingan kepada masyarakat karena menyadari bahwa hutan itu sudah dikelola oleh masyarakat Mungku Baru dan sekitarnya, itu sudah lama sekali, bahkan mungkin sebelum negara Indonesia berdiri,” tuturnya.
Saat itu masih belum ada pengakuan dari pemerintah terkait dengan keberadaan masyarakat adat tersebut plus hutan adatnya. Pihaknya pun berusaha menjembatani masyarakat setempat agar dapat menempuh mekanisme formal yang sudah disediakan oleh negara, yakni lewat pengakuan MHA.
“MHA ini dalam prosesnya, masyarakat mengusulkan Kelurahan Mungku Baru di Kota Palangka Raya, tetapi karena posisi hutan adatnya sampai ke wilayah Kabupaten Gunung Mas, maka prosesnya harus naik ke pemerintah provinsi,” jelasnya.
Dalam proses pengakuan MHA, lanjut Anugrah, ada lima komponen yang harus dipenuhi. Yakni adat istiadat, hukum adat, pemerintahan adat, harta kekayaan termasuk pengetahuan adat, serta wilayah adat.
“Dalam proses penggalian lima komponen itu, kami menemukan bahwa masyarakat adat yang tinggal di Mungku Baru masih satu rumpun dengan masyarakat Desa Parempei dan Desa Bereng Malaka, sementara dua desa itu masuk wilayah Gunung Mas,” terangnya.
Dari temuan itu, lanjut Anugrah, masyarakat dari dua desa tersebut memutuskan bergabung untuk menjadi satu kesatuan, yang kemudian menyebut diri sebagai MHA Rungan. Merekalah yang kemudian memproses pengusahaan pengakuan hutan adat itu di tingkat provinsi.
“Prosesnya lama sekali, kami mulai tahu bahwa di dalam situ ada masyarakat adat dan hutan adat yang mereka lindungi sejak tahun 2016, jadi prosesnya panjang,” tambahnya. Untuk bisa memberikan pengakuan atas MHA Rungan tersebut, juga harus ada regulasi di tingkat daerah. Hal itulah yang mendukung pengusulan Pergub Tata Cara Pengakuan MHA pada 2022 lalu.
Anugrah menambahkan, pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Borneo Nature Indonesia tidak berhenti sampai di tahap pengakuan. Justru, pengakuan atas MHA Rungan merupakan awal dari pendampingan demi pendampingan yang dilakukan selanjutnya.
“Ketika masyarakat sudah mendapatkan hak mereka, maka upaya pengelolaan juga harus didukung,” tegasnya.
Dukungan tersebut berupa upaya mengidentifikasi apa saja potensi hutan yang dikelola. Jika masyarakat setempat punya keinginan untuk membentuk sebuah destinasi ekowisata, maka perlu mendapat pendampingan dari banyak pihak.
“Yayasan Borneo Nature Indonesia saat ini merupakan salah satu pihak yang memberi pendampingan. Harapa kami, ke depannya bisa menggandeng pihak lain seperti dinas pariwisata, dinas kehutanan, dan lainnya,” pungkas Anugrah. (dan/ce/ala)