Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Pemutihan Sawit Dalam Kawasan Hutan Berpotensi Memicu Konflik Sosial

PALANGKA RAYA-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) merespons keras rencana pemerintah memberikan pemutihan atau pengampunan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kebunnya berada dalam kawasan hutan.

Walhi menyayangkan kebijakan pemutihan, lantaran dinilai makin memicu potensi terjadinya konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit, masalah yang akhir-akhir ini kerap terjadi di Kalteng.

Berdasarkan hasil analisis data yang termuat dalam laporan sawit ilegal dalam kawasan hutan oleh GreenPeace Indonesia tahun 2021, terdapat seluas 821.862 hektare (ha) tutupan sawit yang dimiliki perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan di Kalteng.

Itu sejalan dengan hasil identifikasi kegiatan usaha terbangun dalam kawasan hutan di Kalteng oleh KLHK. Kementerian menyajikan data bahwa di Kalteng terdapat 364 unit usaha perusahaan perkebunan sawit dengan kebun seluas 169.673 ha yang berada dalam kawasan hutan.

Kebijakan pemutihan sawit yang telah disepakati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia pada tahun 2023, diniatkan untuk mengatasi permasalahan tata kelola pada industri perkebunan kelapa sawit.

Kebijakan pemutihan sawit ini bertujuan mengidentifikasi dan memperbaiki perizinan perkebunan kelapa sawit, khususnya berkenaan dengan deforestasi ilegal dan pelanggaran peraturan lingkungan yang dilakukan perusahaan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Bayu Herinata mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan Walhi Kateng tahun 2023 pada lima perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan.

Yakni PT HMBP I, PT HMBP II, PT MAS, PT MAP, dan PT AB diketahui adanya aktivitas pembangunan kebun yang diduga berada dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dengan total luas 51.037 ha.

Baca Juga :  Kasus Penularan Covid-19 Melandai, Warga Diminta Tetap Jalankan Prokes

“Selain itu, PT HMBP II, PT MAS, PT MAP, dan PT AB juga diketahui melakukan aktivitas penanaman sawit di atas kawasan ekosistem gambut dengan total luas sebesar 43.228 ha, yang terdiri dari aktivitas penanaman sawit pada fungsi lindung dengan total luas 17.116 ha dan pada fungsi ekosistem gambut budi daya dengan luas 26.112 ha,” kata Bayu kepada wartawan, Selasa (10/9).

Empat perusahaan ini, kata Bayu, juga diketahui tidak melakukan kegiatan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, sebagaimana yang tercantum pada izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan terkait.

Selain itu, empat konsesi ini juga diketahui mengalami kebakaran hutan dan lahan yang berulang, baik dalam area konsesi maupun di sekitarnya.

Kemudian, berdasarkan pemantauan yang telah dilakukan, ditemukan adanya aktivitas penanaman pohon sawit pada kawasan rawa, sempadan sungai, dan sempadan danau yang dilakukan oleh PT MAS, PT HMBP I, PT HMBP II, dan PT AB, hingga berdampak pada kerusakan dan pencemaran lingkungan.

“Ini menunjukan bahwa lima perusahaan tersebut telah melakukan pelanggaran dan terdapat maladministrasi dalam memperoleh perizinan perkebunan, baik izin lokasi, izin usaha perkebunan, izin pelepasan kawasan hutan, dan izin hak guna usaha,” kata Bayu.

Tak hanya itu, Bayu menyebut beberapa perusahaan perkebunan sawit ini juga memiliki rekam jejak konflik agraria dengan warga sekitar areal konsesi. Konflik agraria antara warga dan perusahaan sudah berlangsung lama dan belum ada penyelesaian.

Baca Juga :  Ini yang Dilakukan Tokoh Lintas Agama demi Kelancaran Pilkada di Palangka Raya

Hal ini berimbas pada terjadinya pelanggaran HAM berupa kekerasan fisik, kriminalisasi, hingga penghilangan nyawa warga yang berupaya menuntut hak dan penyelesaian konflik.

“Upaya penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan seharusnya dilakukan secara transparan dan partisipatif sehingga dari proses sampai hasilnya terbuka untuk publik,” tegasnya.

Pemberian pengampunan dan pemutihan, ujar Bayu, perlu didahului dengan analisis pemenuhan komitmen perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan serta komitmen terhadap pemulihan lingkungan.

Jangan sampai, lanjutnya, perusahaan yang cacat administratif dan berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, malah terampuni dan mendapatkan kesempatan melakukan pemutihan.

“Besar harapan kami kepada KLHK untuk melaksanakan audit perizinan sebagai bentuk uji kelayakan sebelum adanya penetapan pemutihan terhadap beberapa perusahaan yang diduga telah melakukan pelanggaran, baik dalam hal administratif sampai dengan kerusakan lingkungan,” imbuhnya.

Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng, Janang Firman Palanungkai menambahkan, komitmen pemulihan lingkungan perlu ditekankan atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas perkebunan sawit di Kalteng.

Sebelum adanya pemutihan saja, lanjut Janang, komitmen perusahaan sudah rendah, apalagi kalau misalnya diputihkan.

“Moratorium perizinan oleh KLHK untuk penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan mesti segera dilakukan setransparan mungkin bersama pemda, dalam audit kepatuhan dan penjatuhan sanksi sebelum pemberian legalitas,” ujarnya. (dan/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) merespons keras rencana pemerintah memberikan pemutihan atau pengampunan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kebunnya berada dalam kawasan hutan.

Walhi menyayangkan kebijakan pemutihan, lantaran dinilai makin memicu potensi terjadinya konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit, masalah yang akhir-akhir ini kerap terjadi di Kalteng.

Berdasarkan hasil analisis data yang termuat dalam laporan sawit ilegal dalam kawasan hutan oleh GreenPeace Indonesia tahun 2021, terdapat seluas 821.862 hektare (ha) tutupan sawit yang dimiliki perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan di Kalteng.

Itu sejalan dengan hasil identifikasi kegiatan usaha terbangun dalam kawasan hutan di Kalteng oleh KLHK. Kementerian menyajikan data bahwa di Kalteng terdapat 364 unit usaha perusahaan perkebunan sawit dengan kebun seluas 169.673 ha yang berada dalam kawasan hutan.

Kebijakan pemutihan sawit yang telah disepakati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia pada tahun 2023, diniatkan untuk mengatasi permasalahan tata kelola pada industri perkebunan kelapa sawit.

Kebijakan pemutihan sawit ini bertujuan mengidentifikasi dan memperbaiki perizinan perkebunan kelapa sawit, khususnya berkenaan dengan deforestasi ilegal dan pelanggaran peraturan lingkungan yang dilakukan perusahaan.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Bayu Herinata mengungkapkan, berdasarkan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan Walhi Kateng tahun 2023 pada lima perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan.

Yakni PT HMBP I, PT HMBP II, PT MAS, PT MAP, dan PT AB diketahui adanya aktivitas pembangunan kebun yang diduga berada dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dengan total luas 51.037 ha.

Baca Juga :  Kasus Penularan Covid-19 Melandai, Warga Diminta Tetap Jalankan Prokes

“Selain itu, PT HMBP II, PT MAS, PT MAP, dan PT AB juga diketahui melakukan aktivitas penanaman sawit di atas kawasan ekosistem gambut dengan total luas sebesar 43.228 ha, yang terdiri dari aktivitas penanaman sawit pada fungsi lindung dengan total luas 17.116 ha dan pada fungsi ekosistem gambut budi daya dengan luas 26.112 ha,” kata Bayu kepada wartawan, Selasa (10/9).

Empat perusahaan ini, kata Bayu, juga diketahui tidak melakukan kegiatan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, sebagaimana yang tercantum pada izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan terkait.

Selain itu, empat konsesi ini juga diketahui mengalami kebakaran hutan dan lahan yang berulang, baik dalam area konsesi maupun di sekitarnya.

Kemudian, berdasarkan pemantauan yang telah dilakukan, ditemukan adanya aktivitas penanaman pohon sawit pada kawasan rawa, sempadan sungai, dan sempadan danau yang dilakukan oleh PT MAS, PT HMBP I, PT HMBP II, dan PT AB, hingga berdampak pada kerusakan dan pencemaran lingkungan.

“Ini menunjukan bahwa lima perusahaan tersebut telah melakukan pelanggaran dan terdapat maladministrasi dalam memperoleh perizinan perkebunan, baik izin lokasi, izin usaha perkebunan, izin pelepasan kawasan hutan, dan izin hak guna usaha,” kata Bayu.

Tak hanya itu, Bayu menyebut beberapa perusahaan perkebunan sawit ini juga memiliki rekam jejak konflik agraria dengan warga sekitar areal konsesi. Konflik agraria antara warga dan perusahaan sudah berlangsung lama dan belum ada penyelesaian.

Baca Juga :  Ini yang Dilakukan Tokoh Lintas Agama demi Kelancaran Pilkada di Palangka Raya

Hal ini berimbas pada terjadinya pelanggaran HAM berupa kekerasan fisik, kriminalisasi, hingga penghilangan nyawa warga yang berupaya menuntut hak dan penyelesaian konflik.

“Upaya penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan seharusnya dilakukan secara transparan dan partisipatif sehingga dari proses sampai hasilnya terbuka untuk publik,” tegasnya.

Pemberian pengampunan dan pemutihan, ujar Bayu, perlu didahului dengan analisis pemenuhan komitmen perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan serta komitmen terhadap pemulihan lingkungan.

Jangan sampai, lanjutnya, perusahaan yang cacat administratif dan berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, malah terampuni dan mendapatkan kesempatan melakukan pemutihan.

“Besar harapan kami kepada KLHK untuk melaksanakan audit perizinan sebagai bentuk uji kelayakan sebelum adanya penetapan pemutihan terhadap beberapa perusahaan yang diduga telah melakukan pelanggaran, baik dalam hal administratif sampai dengan kerusakan lingkungan,” imbuhnya.

Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng, Janang Firman Palanungkai menambahkan, komitmen pemulihan lingkungan perlu ditekankan atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas perkebunan sawit di Kalteng.

Sebelum adanya pemutihan saja, lanjut Janang, komitmen perusahaan sudah rendah, apalagi kalau misalnya diputihkan.

“Moratorium perizinan oleh KLHK untuk penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan mesti segera dilakukan setransparan mungkin bersama pemda, dalam audit kepatuhan dan penjatuhan sanksi sebelum pemberian legalitas,” ujarnya. (dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/