Jumat, November 22, 2024
23.5 C
Palangkaraya

Disebut Kejahatan terhadap Lingkungan

Proyek Food Estate Dikritik

PALANGKA RAYA-Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan wilayah yang dijadikan lumbung pangan nasional melalui program food estate. Ada tiga titik yang dijadikan lokasi pengembangan food estate, yakni Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas (Gumas). Kini megaproyek nasional tersebut kembali menjadi sorotan. Partai utama pendukung pemerintah mengkritik keras proyek yang diperuntukkan bagi ketahanan pangan tersebut. Kritikan juga digaungkan para pegiat lingkungan.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik proyek lumbung pangan yang dikerjakan pemerintah. Hasto menyebut proyek itu sebagai bagian dari kejahatan lingkungan.

Menurutnya, PDIP memberikan catatan yang serius atas upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun food estate. Seharusnya merawat kehidupan dan menjaga bumi pertiwi, sementara program food estate justru membabat hutan.

“Kebijakan itu ternyata disalahgunakan, kemudian hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak terbangun dengan baik. Itu merupakan bagian dari suatu kejahatan terhadap lingkungan,” ungkap Hasto dilansir dari jawapos.com (Grup Kalteng Pos), Rabu (16/8).

Terpisah, Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengaku masih mempertanyakan kejahatan lingkungan yang dimaksud itu. Menurutnya terdapat sejumlah aspek yang dapat menjadi dasar penilaian bahwa proyek food estate merupakan bentuk kejahatan lingkungan.

“Food estate, khususnya food estate singkong di Gunung Mas, dibangun dalam kawasan hutan. Ada sekitar 600 hektare hutan atau lahan yang dibuka, yang mana statusnya merupakan hutan produksi, tetapi tanpa adanya proses mekanisme perubahan status kawasan, pelepasan, dan sebagainya,” ucap Habibi kepada Kalteng Pos, kemarin.

Padahal, lanjutnya, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang (UU) Kehutanan, tiap aktivitas dalam kawasan hutan, jika tanpa ada izin kementerian, maka sifatnya ilegal.

“Kalau dilihat dari sisi regulasi, dapat disimpulkan food estate singkong itu melanggar Undang-Undang Kehutanan, sifatnya pidana,” ungkapnya.

Baca Juga :  Diskan Lepasliarkan 50.000 Benih Ikan di Danau Tahai

Habibi menegaskan, tiap kegiatan atau aktivitas dalam kawasan hutan tanpa izin menteri atau pejabat yang berwenang, maka bisa dikatakan sebagai kejahatan.

Selain itu, program food estate singkong juga dinilai dapat menimbulkan masalah di aspek lingkungan. Dikatakan Habibi, proyek food estate singkong di Gunung Mas dibangun tanpa adanya kajian yang cukup.

“Sebagai contoh, kajian lingkungan hidup strategisnya saja dibuat setelah kegiatan pembukaan lahan sudah, seharusnya kajian itu dilakukan sebelum pembukaan lahan, idealnya begitu,” tuturnya.

Oleh karena itu, Habibi menyimpulkan proyek food estate singkong tersebut dijalankan asal-asalan, menabrak aturan, tidak berdasarkan kajian yang memadai, serta menggunakan anggaran negara tetapi gagal diwujudkan.

“Uang sudah habis digunakan untuk proyek itu, tapi hasilnya enggak ada. Kami tidak mengikuti narasi politis yang berkembang di nasional, tetapi kami menilai berdasarkan fakta-fakta yang kami lihat dan temukan,” jelasnya.

Selain menyoroti hal-hal yang mengganjal dalam pelaksanaan proyek food estate singkong di Gunung Mas, Habibi juga menyoroti proyek food estate padi di Pulang Pisau dan Kapuas yang dikelola oleh Kementerian Pertanian (Kementan) RI.

“Sampai sekarang saya belum melihat hasil dari food estate padi itu. Karena apa? Baik Pulang Pisau dan Kapuas, masyarakatnya sudah menanam padi sebelum adanya program food estate,” tuturnya.

Habibi berpendapat, tanpa adanya proyek food estate padi, pertanian yang dikembangkan masyarakat setempat sudah berjalan baik. Ia juga menyoroti ketika proyek tersebut baru direalisasikan.

“Ketika proyek itu baru berjalan, masyarakat di sana mengalami penurunan hasil, bahkan ada yang hasilnya zonk. Mengapa? Karena siklus tanam petani berubah. Yang awalnya dua kali dalam setahun, dipaksa menjadi tiga kali, maka akan menjadi masalah, karena tidak cocok dengan kondisi geografis daerah setempat,” ujarnya.

Baca Juga :  Ringankan Beban Warga Melalui Kumham Peduli, Kumham Berbagi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengatakan, dampak dari beroperasinya proyek food estate sudah dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar atau yang menjadi subjek megaproyek itu.

Dampak yang dirasakan yakni hilangnya benih lokal, sistem pertanian diubah, dan berubahnya pola bertani yang sudah mengakar sebagai kearifan lokal masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan.

“Terkait dengan tudingan kejahatan lingkungan, sebetulnya hal ini sudah terbaca sejak proyek ini dicanangkan. Salah satunya kajian mengenai lingkungan yang tidak jelas,” kata Bayu kepada Kalteng Pos, Rabu (16/8).

Menurut Bayu, kajian lingkungan yang tidak jelas itu terlihat dalam kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Padahal, lanjutnya, proyek tersebut merupakan megaproyek yang menggunakan lahan skala besar dan mengonversi hutan secara luas.

“Itu salah satu bentuk kejahatan terhadap lingkungan. Di sisi lain juga minim partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan,” tuturnya.

Bayu menilai, tidak adanya kajian lingkungan hidup yang baik sudah merupakan bagian dari kejahatan terhadap lingkungan, karena akan menimbulkan kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan di wilayah yang menjadi lokasi pengembangan food estate.

“Perubahan kawasan hutan atau tutupan hutan karena dikonversi, terjadi deforestasi. Fungsi hutan sebagai daerah resapan air akan berkurang untuk memitigasi terjadinya longsor, banjir, dan kekeringan,” jelasnya.

Belum lagi lokasi eks-pengembangan lahan gambut (eks-PLG) yang digunakan sebagai lahan untuk proyek food estate. Dikatakan Bayu, penggunaan lahan gambut sebagai lokasi bercocok tanam bertolak belakang dengan fungsinya.

“Fungsi gambut kan sebagai penata air, tata hidrologi, tetapi dirusak fungsi hidrologinya dengan pengeringan, membuat kanal, membongkar gambut, hutan ditebang. Alhasil kualitas dan fungsi ekosistem gambut berkurang,” ujarnya. (dan/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Kalimantan Tengah (Kalteng) merupakan wilayah yang dijadikan lumbung pangan nasional melalui program food estate. Ada tiga titik yang dijadikan lokasi pengembangan food estate, yakni Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Gunung Mas (Gumas). Kini megaproyek nasional tersebut kembali menjadi sorotan. Partai utama pendukung pemerintah mengkritik keras proyek yang diperuntukkan bagi ketahanan pangan tersebut. Kritikan juga digaungkan para pegiat lingkungan.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik proyek lumbung pangan yang dikerjakan pemerintah. Hasto menyebut proyek itu sebagai bagian dari kejahatan lingkungan.

Menurutnya, PDIP memberikan catatan yang serius atas upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun food estate. Seharusnya merawat kehidupan dan menjaga bumi pertiwi, sementara program food estate justru membabat hutan.

“Kebijakan itu ternyata disalahgunakan, kemudian hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak terbangun dengan baik. Itu merupakan bagian dari suatu kejahatan terhadap lingkungan,” ungkap Hasto dilansir dari jawapos.com (Grup Kalteng Pos), Rabu (16/8).

Terpisah, Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengaku masih mempertanyakan kejahatan lingkungan yang dimaksud itu. Menurutnya terdapat sejumlah aspek yang dapat menjadi dasar penilaian bahwa proyek food estate merupakan bentuk kejahatan lingkungan.

“Food estate, khususnya food estate singkong di Gunung Mas, dibangun dalam kawasan hutan. Ada sekitar 600 hektare hutan atau lahan yang dibuka, yang mana statusnya merupakan hutan produksi, tetapi tanpa adanya proses mekanisme perubahan status kawasan, pelepasan, dan sebagainya,” ucap Habibi kepada Kalteng Pos, kemarin.

Padahal, lanjutnya, jika dilihat berdasarkan Undang-Undang (UU) Kehutanan, tiap aktivitas dalam kawasan hutan, jika tanpa ada izin kementerian, maka sifatnya ilegal.

“Kalau dilihat dari sisi regulasi, dapat disimpulkan food estate singkong itu melanggar Undang-Undang Kehutanan, sifatnya pidana,” ungkapnya.

Baca Juga :  Diskan Lepasliarkan 50.000 Benih Ikan di Danau Tahai

Habibi menegaskan, tiap kegiatan atau aktivitas dalam kawasan hutan tanpa izin menteri atau pejabat yang berwenang, maka bisa dikatakan sebagai kejahatan.

Selain itu, program food estate singkong juga dinilai dapat menimbulkan masalah di aspek lingkungan. Dikatakan Habibi, proyek food estate singkong di Gunung Mas dibangun tanpa adanya kajian yang cukup.

“Sebagai contoh, kajian lingkungan hidup strategisnya saja dibuat setelah kegiatan pembukaan lahan sudah, seharusnya kajian itu dilakukan sebelum pembukaan lahan, idealnya begitu,” tuturnya.

Oleh karena itu, Habibi menyimpulkan proyek food estate singkong tersebut dijalankan asal-asalan, menabrak aturan, tidak berdasarkan kajian yang memadai, serta menggunakan anggaran negara tetapi gagal diwujudkan.

“Uang sudah habis digunakan untuk proyek itu, tapi hasilnya enggak ada. Kami tidak mengikuti narasi politis yang berkembang di nasional, tetapi kami menilai berdasarkan fakta-fakta yang kami lihat dan temukan,” jelasnya.

Selain menyoroti hal-hal yang mengganjal dalam pelaksanaan proyek food estate singkong di Gunung Mas, Habibi juga menyoroti proyek food estate padi di Pulang Pisau dan Kapuas yang dikelola oleh Kementerian Pertanian (Kementan) RI.

“Sampai sekarang saya belum melihat hasil dari food estate padi itu. Karena apa? Baik Pulang Pisau dan Kapuas, masyarakatnya sudah menanam padi sebelum adanya program food estate,” tuturnya.

Habibi berpendapat, tanpa adanya proyek food estate padi, pertanian yang dikembangkan masyarakat setempat sudah berjalan baik. Ia juga menyoroti ketika proyek tersebut baru direalisasikan.

“Ketika proyek itu baru berjalan, masyarakat di sana mengalami penurunan hasil, bahkan ada yang hasilnya zonk. Mengapa? Karena siklus tanam petani berubah. Yang awalnya dua kali dalam setahun, dipaksa menjadi tiga kali, maka akan menjadi masalah, karena tidak cocok dengan kondisi geografis daerah setempat,” ujarnya.

Baca Juga :  Ringankan Beban Warga Melalui Kumham Peduli, Kumham Berbagi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengatakan, dampak dari beroperasinya proyek food estate sudah dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar atau yang menjadi subjek megaproyek itu.

Dampak yang dirasakan yakni hilangnya benih lokal, sistem pertanian diubah, dan berubahnya pola bertani yang sudah mengakar sebagai kearifan lokal masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan.

“Terkait dengan tudingan kejahatan lingkungan, sebetulnya hal ini sudah terbaca sejak proyek ini dicanangkan. Salah satunya kajian mengenai lingkungan yang tidak jelas,” kata Bayu kepada Kalteng Pos, Rabu (16/8).

Menurut Bayu, kajian lingkungan yang tidak jelas itu terlihat dalam kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Padahal, lanjutnya, proyek tersebut merupakan megaproyek yang menggunakan lahan skala besar dan mengonversi hutan secara luas.

“Itu salah satu bentuk kejahatan terhadap lingkungan. Di sisi lain juga minim partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan,” tuturnya.

Bayu menilai, tidak adanya kajian lingkungan hidup yang baik sudah merupakan bagian dari kejahatan terhadap lingkungan, karena akan menimbulkan kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan di wilayah yang menjadi lokasi pengembangan food estate.

“Perubahan kawasan hutan atau tutupan hutan karena dikonversi, terjadi deforestasi. Fungsi hutan sebagai daerah resapan air akan berkurang untuk memitigasi terjadinya longsor, banjir, dan kekeringan,” jelasnya.

Belum lagi lokasi eks-pengembangan lahan gambut (eks-PLG) yang digunakan sebagai lahan untuk proyek food estate. Dikatakan Bayu, penggunaan lahan gambut sebagai lokasi bercocok tanam bertolak belakang dengan fungsinya.

“Fungsi gambut kan sebagai penata air, tata hidrologi, tetapi dirusak fungsi hidrologinya dengan pengeringan, membuat kanal, membongkar gambut, hutan ditebang. Alhasil kualitas dan fungsi ekosistem gambut berkurang,” ujarnya. (dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/