Senin, Mei 20, 2024
32.3 C
Palangkaraya

Kisruh SHM Ganda, Tanah Sudah Dipagar sebelum Kerusuhan Etnis

PALANGKA RAYA-Sekelompok warga yang bermukim di Jalan Hiu Putih VIII, Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya sedang harap-harap cemas. Bagaimana tidak? Tanah yang mereka miliki selama beberapa dekade terakhir sedang bermasalah. Muncul sertifikat hak milik (SHM) ganda di lahan yang mereka tempati selama ini. Hj Musrifah yang mengklaim memiliki legalitas atas lahan yang ditempati sekolompok warga itu, menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya.

Gugatan dilayangkan oleh Hj Musrifah di PTUN Palangka Raya terhadap BPN Kota Palangka Raya karena telah menerbitkan SHM kepada warga. Padahal jauh sebelum warga bermukim, telah terbit SHM pada 2008 lalu atas nama Hj Musrifah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Kantor BPN Tahun 1990.

Rupanya gugatan Hj Musrifah soal kepemilikan lahan di Jalan Hiu Putih VIII cukup beralasan. Kuasa hukum Hj Musrifah, Abdul Siddik mengatakan bahwa SHM dengan luas tanah yang digugat oleh Hj Musrifah cukup variatif. Terdapat tanah dengan berbagai ukuran yang sudah terbit SHM atas nama orang lain di atas tanah milik Hj Musrifah.

“Luas tanah yang digugat variatif, ada yang 300 hektare (ha), 400 ha, dan lainnya. Itu luas keseluruhan yang digugat. Tapi untuk tanah yang dimiliki oleh Bu Hajah itu ada 10 sertifikat yang terbit bukan atas namanya, dengan luas tanah 9.800 m², di situ ada sekitar enam petak atau bidang,” beber Siddik kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Selasa (21/2/2023).

Siddik mengatakan, tanah di lokasi tersebut sudah menjadi milik Hj Musrifah yang dibuktikan dengan terbitnya SHM tahun 2008. Namun ada warga yang bermukim, mendirikan bangunan, bahkan memiliki SHM di atas tanah yang sama.

“Padahal sebenarnya warga sudah tahu bahwa tanah di situ sudah sertifikat, tapi kenapa mereka memaksa untuk menerbitkan sertifikat baru, ini kan seperti terlihat ada kecurangan di situ,” tuturnya.

Baca Juga :  PPKM Diperketat, PTM Ditunda

Siddik mengatakan kliennya menginginkan agar tanah itu kembali dalam kepemilikannya. Sebab jauh sebelum warga menempati tanah tersebut, kliennya telah memasang pagar seng mengelilingi tanah itu.

“Pagar itu sudah dipasang sebelum tragedi kerusuhan etnis, lalu sesudah sertifikat, dipagar lagi sama bu hajah pakai pagar seng, tapi dibongkar oleh mereka, bahasa kasarnya tanah yang dimiliki warga sekarang ini itu tanah jarahan,” jelasnya.

SHM milik Hj Musrifah telah terbit tahun 2008 lalu. Hanya saja, lanjut Siddik, karena saat itu isu kerusuhan etnis masih hangat, Hj Musrifah tidak dapat melakukan pengecekan tanah miliknya di Palangka Raya karena memilih pindah ke Madura.

Sementara itu, mendengar pengakuan dari Sardi Effendi, perwakilan warga yang mempertahankan kepemilikan tanahnya, Siddik mempertanyakan kepada pihak warga dasar penerbitan SHM.

“SKT mereka (warga, red) kan terbit tahun 2005, sedangkan SK Kepala Kantor BPN milik bu hajah terbit jauh sebelum tahun itu, yaitu tahun 1990, dari sini sudah kelihatan siapa yang salah,” tuturnya.

Hal itulah yang menyebabkan pihaknya menggugat BPN agar membatalkan sertifikat tersebut. Siddik menyebut alasan pihaknya mengajukan gugatan ke PTUN, padahal diajukan ke upaya pidana saja hal ini bisa dilakukan, tak lain tak bukan agar secara administrasi hal itu sudah dapat dibuktikan.

“Kenapa masih kita ajukan ke PTUN, padahal diajukan ke pidana saja ini sudah bisa karena masalahnya terang benderang, itu karena kami mikir di situ masih banyak orang, jadinya kami memutuskan untuk menyelesaikan secara administrasi,” bebernya.

Siddik selaku kuasa hukum menyebut Hj Musrifah sempat menginginkan agar masalah ini ditempuh melalui jalur pidana, tetapi ia menyarankan agar lebih dahulu diselesaikan lewat uji administrasi di PTUN.

Baca Juga :  Sugianto-Edy, Pimpinan Sarat Pengalaman Politik

“Kami sih berharap lewat PTUN ini bisa diselesaikan, karena tanah itu, lewat uji administrasi saja, sudah akan terbukti siapa pemilik yang sebenarnya,” katanya.

Tak hanya itu, dalam upaya mediasi tahun 2010 lalu, telah diakui Kepala BPN yang menjabat saat itu bahwa penerbitan SK BPN tahun 1990 tersebut memang diterbitkan sesuai aturan administrasi.

“Kami mungkin akan menyiapkan saksi, saksi itu menerangkan bahwa penerbitan sertifikat milik warga itu tidak sesuai, rencananya saksi itu akan kami hadirkan dari yang melakukan pengurusan tanah, pembuatan site plan, terus dari pihak BPN sendiri yang mengetahui soal terbitnya sertifikat yang baru,” tandasnya.

Terpisah, Humas PTUN Palangka Raya Sekar Annisa mengatakan, dalam perkara pertanahan ini, pihak penggugat atas nama Hj Musrifah dan Hj Halidah menggugat Kepala Kantor Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palangka Raya.

Sekar menyebut pihaknya telah menerima gugatan yang dilayangkan kedua nama tersebut. Sejauh ini baru sampai pada tahap pembacaan gugatan secara elektronik. Tidak disebutkan secara pasti kapan tanggal pendaftaran gugatan itu masuk ke PTUN, tetapi berdasarkan tanggal register Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Palangka Raya, kasus ini masuk dalam sistem informasi pada tanggal 13 Januari lalu.

Terkait proses persidangan, Sekar menyebut sidang tidak dilakukan secara tatap muka melainkan secara elektronik berdasarkan sistem aplikasi PTUN Palangka Raya.

“Sidang sekarang itu enggak banyak tatap muka lagi, sekarang ini permasalahan ini kan masih dalam proses jawab jinawab (surat menyurat), yang terbuka untuk umum itu bukti surat para pihak dan saksi saja, sedangkan seperti kesimpulan dan putusan itu sudah elektronik,” beber Sekar kepada Kalteng Pos saat ditemui di kantornya, Selasa (21/2/2023).

PALANGKA RAYA-Sekelompok warga yang bermukim di Jalan Hiu Putih VIII, Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya sedang harap-harap cemas. Bagaimana tidak? Tanah yang mereka miliki selama beberapa dekade terakhir sedang bermasalah. Muncul sertifikat hak milik (SHM) ganda di lahan yang mereka tempati selama ini. Hj Musrifah yang mengklaim memiliki legalitas atas lahan yang ditempati sekolompok warga itu, menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya.

Gugatan dilayangkan oleh Hj Musrifah di PTUN Palangka Raya terhadap BPN Kota Palangka Raya karena telah menerbitkan SHM kepada warga. Padahal jauh sebelum warga bermukim, telah terbit SHM pada 2008 lalu atas nama Hj Musrifah berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Kantor BPN Tahun 1990.

Rupanya gugatan Hj Musrifah soal kepemilikan lahan di Jalan Hiu Putih VIII cukup beralasan. Kuasa hukum Hj Musrifah, Abdul Siddik mengatakan bahwa SHM dengan luas tanah yang digugat oleh Hj Musrifah cukup variatif. Terdapat tanah dengan berbagai ukuran yang sudah terbit SHM atas nama orang lain di atas tanah milik Hj Musrifah.

“Luas tanah yang digugat variatif, ada yang 300 hektare (ha), 400 ha, dan lainnya. Itu luas keseluruhan yang digugat. Tapi untuk tanah yang dimiliki oleh Bu Hajah itu ada 10 sertifikat yang terbit bukan atas namanya, dengan luas tanah 9.800 m², di situ ada sekitar enam petak atau bidang,” beber Siddik kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Selasa (21/2/2023).

Siddik mengatakan, tanah di lokasi tersebut sudah menjadi milik Hj Musrifah yang dibuktikan dengan terbitnya SHM tahun 2008. Namun ada warga yang bermukim, mendirikan bangunan, bahkan memiliki SHM di atas tanah yang sama.

“Padahal sebenarnya warga sudah tahu bahwa tanah di situ sudah sertifikat, tapi kenapa mereka memaksa untuk menerbitkan sertifikat baru, ini kan seperti terlihat ada kecurangan di situ,” tuturnya.

Baca Juga :  PPKM Diperketat, PTM Ditunda

Siddik mengatakan kliennya menginginkan agar tanah itu kembali dalam kepemilikannya. Sebab jauh sebelum warga menempati tanah tersebut, kliennya telah memasang pagar seng mengelilingi tanah itu.

“Pagar itu sudah dipasang sebelum tragedi kerusuhan etnis, lalu sesudah sertifikat, dipagar lagi sama bu hajah pakai pagar seng, tapi dibongkar oleh mereka, bahasa kasarnya tanah yang dimiliki warga sekarang ini itu tanah jarahan,” jelasnya.

SHM milik Hj Musrifah telah terbit tahun 2008 lalu. Hanya saja, lanjut Siddik, karena saat itu isu kerusuhan etnis masih hangat, Hj Musrifah tidak dapat melakukan pengecekan tanah miliknya di Palangka Raya karena memilih pindah ke Madura.

Sementara itu, mendengar pengakuan dari Sardi Effendi, perwakilan warga yang mempertahankan kepemilikan tanahnya, Siddik mempertanyakan kepada pihak warga dasar penerbitan SHM.

“SKT mereka (warga, red) kan terbit tahun 2005, sedangkan SK Kepala Kantor BPN milik bu hajah terbit jauh sebelum tahun itu, yaitu tahun 1990, dari sini sudah kelihatan siapa yang salah,” tuturnya.

Hal itulah yang menyebabkan pihaknya menggugat BPN agar membatalkan sertifikat tersebut. Siddik menyebut alasan pihaknya mengajukan gugatan ke PTUN, padahal diajukan ke upaya pidana saja hal ini bisa dilakukan, tak lain tak bukan agar secara administrasi hal itu sudah dapat dibuktikan.

“Kenapa masih kita ajukan ke PTUN, padahal diajukan ke pidana saja ini sudah bisa karena masalahnya terang benderang, itu karena kami mikir di situ masih banyak orang, jadinya kami memutuskan untuk menyelesaikan secara administrasi,” bebernya.

Siddik selaku kuasa hukum menyebut Hj Musrifah sempat menginginkan agar masalah ini ditempuh melalui jalur pidana, tetapi ia menyarankan agar lebih dahulu diselesaikan lewat uji administrasi di PTUN.

Baca Juga :  Sugianto-Edy, Pimpinan Sarat Pengalaman Politik

“Kami sih berharap lewat PTUN ini bisa diselesaikan, karena tanah itu, lewat uji administrasi saja, sudah akan terbukti siapa pemilik yang sebenarnya,” katanya.

Tak hanya itu, dalam upaya mediasi tahun 2010 lalu, telah diakui Kepala BPN yang menjabat saat itu bahwa penerbitan SK BPN tahun 1990 tersebut memang diterbitkan sesuai aturan administrasi.

“Kami mungkin akan menyiapkan saksi, saksi itu menerangkan bahwa penerbitan sertifikat milik warga itu tidak sesuai, rencananya saksi itu akan kami hadirkan dari yang melakukan pengurusan tanah, pembuatan site plan, terus dari pihak BPN sendiri yang mengetahui soal terbitnya sertifikat yang baru,” tandasnya.

Terpisah, Humas PTUN Palangka Raya Sekar Annisa mengatakan, dalam perkara pertanahan ini, pihak penggugat atas nama Hj Musrifah dan Hj Halidah menggugat Kepala Kantor Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palangka Raya.

Sekar menyebut pihaknya telah menerima gugatan yang dilayangkan kedua nama tersebut. Sejauh ini baru sampai pada tahap pembacaan gugatan secara elektronik. Tidak disebutkan secara pasti kapan tanggal pendaftaran gugatan itu masuk ke PTUN, tetapi berdasarkan tanggal register Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Palangka Raya, kasus ini masuk dalam sistem informasi pada tanggal 13 Januari lalu.

Terkait proses persidangan, Sekar menyebut sidang tidak dilakukan secara tatap muka melainkan secara elektronik berdasarkan sistem aplikasi PTUN Palangka Raya.

“Sidang sekarang itu enggak banyak tatap muka lagi, sekarang ini permasalahan ini kan masih dalam proses jawab jinawab (surat menyurat), yang terbuka untuk umum itu bukti surat para pihak dan saksi saja, sedangkan seperti kesimpulan dan putusan itu sudah elektronik,” beber Sekar kepada Kalteng Pos saat ditemui di kantornya, Selasa (21/2/2023).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/