Sabtu, September 14, 2024
30.6 C
Palangkaraya

KESEHATAN

Eliminasi Tuberculosis 2030

TUBERKULOSIS (TBC) merupakan penyakit menular dan menjadi masalah kesehatan di Indonesia.  Global TBC report tahun 2022 melaporkan, Indonesia berada pada peringkat kedua negara dengan beban TBC terbanyak di dunia setelah India dan perkiraan kasus sebanyak 969.000 kasus baru TBC. Angka kejadian TBC sebanyak  354/100.000 penduduk. Artinya, setiap 100.000 orang terdapat 354 orang di antaranya menderita TBC. Angka kematian mencapai 150.000 kasus, dengan tingkat kematian 55.000 per 100 penduduk di Indonesia.

Angka kejadian terduga TBC sensitive obat (SO) tahun 2022 sebanyak 29.847 kasus, sedangkan yang sudah ternotifikasi sebanyak 5.030 dan yang diobati sebanyak 4.145 kasus di Kalteng. Data tersebut menunjukkan bahwa 885 kasus tidak diobati dengan penyebab tidak diketahui. Jumlah terduga TBC resisten obat (RO) sebanyak 616 kasus, dengan angka ternotifikasi 79 kasus dan diobati sebanyak 43 kasus.

Tuberkulosis merupakan penyakit menular lewat udara (airbone disease) yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. Penyakit TBC sebagian besar mengenai organ paru, tapi bisa juga mengenai organ lain. Tuberculosis menular dari manusia ke manusia lewat udara, melalui percikan dahak, batuk, atau bersin seseorang yang terinfeksi TBC. Cahaya matahari langsung dapat membunuh bakteri tersebut dengan cepat. Namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap.

Tuberkulosis dapat mengenai semua orang tanpa memandang umur, suku, usia, dan jenis kelamin. Beberapa kelompok orang yang berisiko tinggi mengalami penyakit TBC, yakni orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain, orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang, perokok, konsumsi alkohol tinggi, anak usia <5 tahun dan lansia, memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius, berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (seperti lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang), dan petugas kesehatan.

Gejala utama penderita TBC adalah batuk lebih dari dua minggu. Gejala tambahan adalah  batuk berdahak, batuk berdahak bercampur darah, dapat disertai nyeri dada dan sesak napas, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, demam yang tidak terlalu tinggi, berkeringat pada malam hari, lesu, serta merasa lemah. Berdasarkan beberapa pengakuan penderita di poliklinik paru, batuk dirasakan selama seminggu. Namun setelah ditelusuri lebih jauh, sudah mendekati tiga minggu. Batuk tersebut diobati oleh pasien dengan minum obat batuk, kemudian sembuh, dan batuk kembali setelah obat habis.

Baca Juga :  Responsif Menyikapi Aspirasi

Tuberkulosis dapat mengenai di luar paru atau disebut sebagai ekstra paru. Gejala ekstra paru tergantung dari organ yang terkena. Bisa mengenai selaput otak, kelenjar di leher, usus, tulang, dan lain lain. Gejala yang ditemukan seperti ada benjolan di leher atau ketiak, pusing, sesak napas, atau tidak bisa buang air besar.

Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis TBC adalah uji tes cepat molecular (TCM) yang dapat mengidentifikasi kuman TBC, bersamaan uji kepekaan obat dengan mendeteksi materi genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji TCM yang umum digunakan adalah GeneXpert MTB/RIF (uji kepekaan untuk Rifampisin). Uji TCM tersebut dapat dilakukan di rumah sakit atau puskesmas yang ditunjuk pemerintah, sehingga masyarakat bisa lebih mudah mengakses dan hasil pemeriksaan lebih cepat diketahui. Metode ini menggunakan bahan pemeriksaan dahak yang dikumpulkan sebanyak dua kali, dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Pemerikasaan organ ekstra paru tergantung dari organ. Bisa dari cairan lambung, cairan di otak, benjolan, dan usus. Dapat diambil dengan cara dioperasi oleh dokter spesialis bedah.

Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam penanganan tuberkulosis dan merupakan cara yang paling efisien dalam mencegah transmisi TB. Tujuan pengobatan TBC adalah menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian dan atau kecacatan karena penyakit TB atau efek lanjutannya, mencegah kekambuhan, menurunkan risiko penularan TB, dan mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberculosis (OAT) serta penularannya.

Prinsip pengobatannya adalah pengobatan diberikan dalam bentuk kombinasi dosis tepat empat obat (KDT), ditelan secara teratur, dan diawasi oleh pengawas menelan obat (PMO) hingga masa pengobatan selesai. Obat diminum dalam jangka waktu yang cukup. Jangka minum obat yang cukup adalah 6 bulan, yang terdiri fase intensif selama 2 bulan dan fase lanjutan 4 bulan. Pasien dengan ekstra paru, jangka waktu minum obat bisa 9 sampai 12 bulan. Obat TBC tersedia di puskesmas dan rumah sakit yang punya layanan TBC. Obat ini disubsidi pemerintah, sehingga masyarakat bisa mengambilnya di layanan kesehatan terdekat.

Baca Juga :  Manfaatkan Layanan 112

Pemberian kombinasi dosis tepat empat obat (KDT) berdasarkan berat badan yang ditentukan oleh WHO, merupakan dosis yang efektif, atau masih dalam dosis wajar, serta tidak merusak ginjal dan organ lainnya. Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil bisa saja mengalami efek samping, sehingga pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pasien yang mendapat OAT KDT sebaiknya dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru atau fasilitas yang mampu menangani jika mengalami efek samping yang serius.

Pengobatan pasien TBC tidak hanya memperhatikan dari minum obat, tetapi juga pola hidup sehat dan status gizi sebaiknya diperhatikan. Makanan sebaiknya tinggi kalori dan protein disertai micronutrient seperti Zinc, vitamin-vitamin D, A, C, dan zat besi. Makanan dapat diberikan dalam porsi kecil, tetapi sering. Bahan makanan yang ada di rumah, seperti gula, mentega, telur, dan susu bubuk dapat diolah menjadi bubur. Sup, kuah daging, jamur, kentang, kacang polon, sayuran hijau atau warna lain, serta buah-buahan sangat baik untuk mendukung kebutuhan harian penderita TBC. Prinsipnya tidak ada pantangan makanan bagi penderita TBC.

Evaluasi pasien TBC adalah pemantauan berat badan, keteraturan minum obat, pemeriksaan dahak rutin di bulan tertentu, efek samping obat, serta keluhan yang menyertai. Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi pada bulan ke-3, ke-6, dan ke-12 setelah pengobatan selesai. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.

Strategi nasional penanggulangan TBC tahun 2020-2024 menyatakan bahwa terapi pencegahan TBC (TPT) merupakan suatu kegiatan yang penting untuk mengurangi angka kejadian TBC. Kelompok sasaran TPT mencakup kontak serumah yang berusia lima tahun ke atas dan kontak erat. Pemeriksaan yang dilakukan adalah dengan uji TCM dan pemeriksaan radiologis.

Mari kita menyukseskan program pemerintah Eliminasi Tuberculosis 2030 dengan memeriksakan diri kita jika sakit. Jangan malu dan segan untuk memeriksakan diri, karena TBC dapat diobati dan disembuhkan. Anggota keluarga boleh dibawa untuk pemeriksaan ke fasilitas layanan kesehatan terdekat, sehingga bisa mencegah terjadinya TBC. (*)

 

Penulis adalah dokter di RSUD dr Doris Sylvanus

TUBERKULOSIS (TBC) merupakan penyakit menular dan menjadi masalah kesehatan di Indonesia.  Global TBC report tahun 2022 melaporkan, Indonesia berada pada peringkat kedua negara dengan beban TBC terbanyak di dunia setelah India dan perkiraan kasus sebanyak 969.000 kasus baru TBC. Angka kejadian TBC sebanyak  354/100.000 penduduk. Artinya, setiap 100.000 orang terdapat 354 orang di antaranya menderita TBC. Angka kematian mencapai 150.000 kasus, dengan tingkat kematian 55.000 per 100 penduduk di Indonesia.

Angka kejadian terduga TBC sensitive obat (SO) tahun 2022 sebanyak 29.847 kasus, sedangkan yang sudah ternotifikasi sebanyak 5.030 dan yang diobati sebanyak 4.145 kasus di Kalteng. Data tersebut menunjukkan bahwa 885 kasus tidak diobati dengan penyebab tidak diketahui. Jumlah terduga TBC resisten obat (RO) sebanyak 616 kasus, dengan angka ternotifikasi 79 kasus dan diobati sebanyak 43 kasus.

Tuberkulosis merupakan penyakit menular lewat udara (airbone disease) yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. Penyakit TBC sebagian besar mengenai organ paru, tapi bisa juga mengenai organ lain. Tuberculosis menular dari manusia ke manusia lewat udara, melalui percikan dahak, batuk, atau bersin seseorang yang terinfeksi TBC. Cahaya matahari langsung dapat membunuh bakteri tersebut dengan cepat. Namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap.

Tuberkulosis dapat mengenai semua orang tanpa memandang umur, suku, usia, dan jenis kelamin. Beberapa kelompok orang yang berisiko tinggi mengalami penyakit TBC, yakni orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain, orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang, perokok, konsumsi alkohol tinggi, anak usia <5 tahun dan lansia, memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius, berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (seperti lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang), dan petugas kesehatan.

Gejala utama penderita TBC adalah batuk lebih dari dua minggu. Gejala tambahan adalah  batuk berdahak, batuk berdahak bercampur darah, dapat disertai nyeri dada dan sesak napas, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, demam yang tidak terlalu tinggi, berkeringat pada malam hari, lesu, serta merasa lemah. Berdasarkan beberapa pengakuan penderita di poliklinik paru, batuk dirasakan selama seminggu. Namun setelah ditelusuri lebih jauh, sudah mendekati tiga minggu. Batuk tersebut diobati oleh pasien dengan minum obat batuk, kemudian sembuh, dan batuk kembali setelah obat habis.

Baca Juga :  Responsif Menyikapi Aspirasi

Tuberkulosis dapat mengenai di luar paru atau disebut sebagai ekstra paru. Gejala ekstra paru tergantung dari organ yang terkena. Bisa mengenai selaput otak, kelenjar di leher, usus, tulang, dan lain lain. Gejala yang ditemukan seperti ada benjolan di leher atau ketiak, pusing, sesak napas, atau tidak bisa buang air besar.

Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis TBC adalah uji tes cepat molecular (TCM) yang dapat mengidentifikasi kuman TBC, bersamaan uji kepekaan obat dengan mendeteksi materi genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji TCM yang umum digunakan adalah GeneXpert MTB/RIF (uji kepekaan untuk Rifampisin). Uji TCM tersebut dapat dilakukan di rumah sakit atau puskesmas yang ditunjuk pemerintah, sehingga masyarakat bisa lebih mudah mengakses dan hasil pemeriksaan lebih cepat diketahui. Metode ini menggunakan bahan pemeriksaan dahak yang dikumpulkan sebanyak dua kali, dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Pemerikasaan organ ekstra paru tergantung dari organ. Bisa dari cairan lambung, cairan di otak, benjolan, dan usus. Dapat diambil dengan cara dioperasi oleh dokter spesialis bedah.

Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam penanganan tuberkulosis dan merupakan cara yang paling efisien dalam mencegah transmisi TB. Tujuan pengobatan TBC adalah menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian dan atau kecacatan karena penyakit TB atau efek lanjutannya, mencegah kekambuhan, menurunkan risiko penularan TB, dan mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberculosis (OAT) serta penularannya.

Prinsip pengobatannya adalah pengobatan diberikan dalam bentuk kombinasi dosis tepat empat obat (KDT), ditelan secara teratur, dan diawasi oleh pengawas menelan obat (PMO) hingga masa pengobatan selesai. Obat diminum dalam jangka waktu yang cukup. Jangka minum obat yang cukup adalah 6 bulan, yang terdiri fase intensif selama 2 bulan dan fase lanjutan 4 bulan. Pasien dengan ekstra paru, jangka waktu minum obat bisa 9 sampai 12 bulan. Obat TBC tersedia di puskesmas dan rumah sakit yang punya layanan TBC. Obat ini disubsidi pemerintah, sehingga masyarakat bisa mengambilnya di layanan kesehatan terdekat.

Baca Juga :  Manfaatkan Layanan 112

Pemberian kombinasi dosis tepat empat obat (KDT) berdasarkan berat badan yang ditentukan oleh WHO, merupakan dosis yang efektif, atau masih dalam dosis wajar, serta tidak merusak ginjal dan organ lainnya. Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil bisa saja mengalami efek samping, sehingga pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pasien yang mendapat OAT KDT sebaiknya dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru atau fasilitas yang mampu menangani jika mengalami efek samping yang serius.

Pengobatan pasien TBC tidak hanya memperhatikan dari minum obat, tetapi juga pola hidup sehat dan status gizi sebaiknya diperhatikan. Makanan sebaiknya tinggi kalori dan protein disertai micronutrient seperti Zinc, vitamin-vitamin D, A, C, dan zat besi. Makanan dapat diberikan dalam porsi kecil, tetapi sering. Bahan makanan yang ada di rumah, seperti gula, mentega, telur, dan susu bubuk dapat diolah menjadi bubur. Sup, kuah daging, jamur, kentang, kacang polon, sayuran hijau atau warna lain, serta buah-buahan sangat baik untuk mendukung kebutuhan harian penderita TBC. Prinsipnya tidak ada pantangan makanan bagi penderita TBC.

Evaluasi pasien TBC adalah pemantauan berat badan, keteraturan minum obat, pemeriksaan dahak rutin di bulan tertentu, efek samping obat, serta keluhan yang menyertai. Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi pada bulan ke-3, ke-6, dan ke-12 setelah pengobatan selesai. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.

Strategi nasional penanggulangan TBC tahun 2020-2024 menyatakan bahwa terapi pencegahan TBC (TPT) merupakan suatu kegiatan yang penting untuk mengurangi angka kejadian TBC. Kelompok sasaran TPT mencakup kontak serumah yang berusia lima tahun ke atas dan kontak erat. Pemeriksaan yang dilakukan adalah dengan uji TCM dan pemeriksaan radiologis.

Mari kita menyukseskan program pemerintah Eliminasi Tuberculosis 2030 dengan memeriksakan diri kita jika sakit. Jangan malu dan segan untuk memeriksakan diri, karena TBC dapat diobati dan disembuhkan. Anggota keluarga boleh dibawa untuk pemeriksaan ke fasilitas layanan kesehatan terdekat, sehingga bisa mencegah terjadinya TBC. (*)

 

Penulis adalah dokter di RSUD dr Doris Sylvanus

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/