Minggu, Juli 7, 2024
23.7 C
Palangkaraya

Kejujuran, dan Keuletannya Diganjar Umrah oleh Jemaah

Profesi marbot sudah semestinya mendapat apresiasi. Apresiasi yang layak. Tanggung jawabnya begitu besar. Tidak sekadar bersih-bersih masjid. Mereka juga harus ada setiap waktu salat. Menomorduakan mencari nafkah untuk keluarga. Tak pelak, hampir seluruh waktunya akan tersita untuk masjid.

*IRPAN JURAYZ, Palangka Raya

PRIA paruh baya berbaju gamis warna putih membawa nampan yang atasnya ada gelas, dan teko berbahan alumunium. Lalu menaruhnya di luar ruangan. Sore itu, ia sedang menyiapkan sajian berbuka puasa. Pria itu bernana Junaidi. Marbot Masjid Al-Falah, Jalan Tjilik Riwut Km 1,5, Palangka Raya.

Di sela-sela menunggu suara bedug, Junaidi bersama para jemaah mengisi waktu dengan mengaji. Beberapa ayat kitab suci Al Qur’an. Ketika mendekati azan Magrib, ia dibantu para jemaah menuangkan air di teko ke dalam gelas plastik yang rupa-rupa warnanya. Isinya air teh. Masih hangat. Penulis juga kebagian segelas.

Pemilik nama lengkap Ahmad Junaidi menekuni profesinya sebagai marbot sudah 14 tahun. Marbot ke-4 di Masjid Al-Falah yang dibangun dari tahun 1978. Saat itu, tokoh agama bernama almarhum KH M Muksin yang memberi rekomendasi.

Junaidi menjalankan tanggung jawabnya. Mulai dari menjaga kebersihan dan juga sekaligus menjadi penanggungjawab segala ritual ibadah di masjid. Seperti azan salat lima waktu, menjadi imam cadangan, dan juga khatib cadangan.

“Saya bersuyukur, jemaah masih percaya terhadap saya. Dan saya pun selalu berusaha menjalankan amanah sebaik-baiknya,”ujar Junaidi saat berbincang dengan Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Enam tahun menjadi marbot, ia bersama istrinya Normila Sari berangkat ke Tanah Suci. Kejujuran, dan keuletan Junaidi diganjar umrah oleh jemaah. Para jemaah saat itu patungan sampai terkumpul uang untuk biaya satu orang. Sedangkan untuk istrinya, biaya ditanggung oleh orang tua dari anak yang diajari mengaji oleh Junaidi. “Alhamdulillah, kami akhirnya berangkat berdua,”ungkap pria yang mendalami Islam di pondok pesantren daerah Gambut, Kabupaten Banjar itu.

Baca Juga :  Bupati Kotim Tinjau Vaksinasi Gotong Royong

Balik dari ibadah umrah, lanjut Junaidi, ia membawa lima bibit buah kurma. Ia menanam di sekeliling masjid. Saat ini, usianya sudah berjalan delapan tahun. Tinggi batang hampir tiga meter. Daunnya sudah lebat. “Tapi, belum ada berbuah,”celetuknya sambil tertawa kecil.

Junaidi dikaruniai dua orang anak. Anak pertama bernama Muhammad Wildan (19). Saat ini mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam, Martapura. Anak kedua bernama Muhammad Zaki (9).

Selain menjadi marbot yang digaji Rp600 ribu per pekan. Pria kelahiran 10 Maret 1979 ini juga menjadi guru ngaji di Tempat Pembelajaran Al Qur’an (TPA) Al-Falah yang ada di lingkungan masjid. Muridnya ada belasan. Waktu belajarnya selepas azan Dzuhur sampai Ashar. Disambung lagi malam hari, selepas salat Magrib.

Junaidi bercerita panjang lebar perjalanan merantau ke Kota Cantik. Saat itu, ia hanya berprofesi sebagai petani. Sejak kecil sudah ditanamkan orang tuanya nilai-nilai kerohanian hingga ia dimasukkan ke pondok pesantren yang ada di daerah Gambut, Kabupaten Banjar.  

Selepas tamat dari pondok pesantren, ia meminang Nurmila Sari seorang santriwati dari pondok pesantren yang berbeda pada tahun 2000. Untuk mencari pekerjaan pria yang sering dipanggil Unai oleh masyarakat sekitar ini memutuskan untuk merantau ke Palangka Raya karena ditawarkan temannya pekerjaan pada tahun 2001 silam. Keputusan ini diambilnya dengan modal nekat walaupun tidak ada sanak saudara di kota tujuan.

Junaidi silih berganti profesi. Diawali dengan itu ikut menjaga toko, ikut di bengkel motor, molding, hingga berjualan kue bersama istri. “karena tidak adanya uang mengontrak, kami disuruh bos tidur di gudang sewaktu bekerja di molding, kami pun menerimanya. Walaupun sering kebanjiran saat hujan deras,”ucap pria berperawakan tegap ini.

Baca Juga :  PDIP Terbesar, Hanura Terkecil

“Pada tahun 2008, barulah ada seorang ustaz atau tokoh agama menawarkan untuk mengelola dan menjaga Masjid Al-Falah. Dan tawaran itu kami terima,”bebernya.

Sampai saat ini, Junaidi bersyukur, bisa menyekolahkan dua orang putranya. Yang mana putra pertamanya, yang juga tahfidz Al-Qur’an dan putra keduanya masih duduk di sekolah dasar. Ia berharap suatu saat nanti kedua putranya bisa menjadi ulama dan berdakwah untuk orang banyak.

“Saya harap anak saya bisa lebih dari saya, mungkin bisa menjadi ulama,”pungkasnya.

Pria yang sudah berusia 43 tahun ini sangat disenangi para jemaah yang sering salat di masjid yang lokasinya di seberang Pasar Kahayan itu. Hal ini diungkapkan oleh salah satu jemaah dan juga merupakan warga asli setempat yang bernama Anang. Bisa dibilang ia saksi nyata pembangunan masjid yang didominasi dengan warna hijau dan memiliki lima pintu masuk itu.

Dalam wawancaranya, ia mengatakan Junaidi marbot ke-4 selama masjid ini dibangun mulai dari tahun tahun 1978. Karena sifat ramah dan dedikasinya terhadap pekerjaannya sehingga ia disenangi warga. “Ganjaran dari para jemaah dan warga adalah memberangkatkan umrah,”katanya.

Nurmila Sari, sang istri, sangat-sangat ikhlas menjalani suka duka kehidupan bersama sang suami. Sosok suaminya merupakan pria yang sederhana, jujur dan giat bekerja. Itulah yang membuatnya jatuh cinta.

“Alhamdulillah, selama berumah tangga kami hidup sederhana dan tetap merasa berkecukupan,”ungkapnya.(ram)

Profesi marbot sudah semestinya mendapat apresiasi. Apresiasi yang layak. Tanggung jawabnya begitu besar. Tidak sekadar bersih-bersih masjid. Mereka juga harus ada setiap waktu salat. Menomorduakan mencari nafkah untuk keluarga. Tak pelak, hampir seluruh waktunya akan tersita untuk masjid.

*IRPAN JURAYZ, Palangka Raya

PRIA paruh baya berbaju gamis warna putih membawa nampan yang atasnya ada gelas, dan teko berbahan alumunium. Lalu menaruhnya di luar ruangan. Sore itu, ia sedang menyiapkan sajian berbuka puasa. Pria itu bernana Junaidi. Marbot Masjid Al-Falah, Jalan Tjilik Riwut Km 1,5, Palangka Raya.

Di sela-sela menunggu suara bedug, Junaidi bersama para jemaah mengisi waktu dengan mengaji. Beberapa ayat kitab suci Al Qur’an. Ketika mendekati azan Magrib, ia dibantu para jemaah menuangkan air di teko ke dalam gelas plastik yang rupa-rupa warnanya. Isinya air teh. Masih hangat. Penulis juga kebagian segelas.

Pemilik nama lengkap Ahmad Junaidi menekuni profesinya sebagai marbot sudah 14 tahun. Marbot ke-4 di Masjid Al-Falah yang dibangun dari tahun 1978. Saat itu, tokoh agama bernama almarhum KH M Muksin yang memberi rekomendasi.

Junaidi menjalankan tanggung jawabnya. Mulai dari menjaga kebersihan dan juga sekaligus menjadi penanggungjawab segala ritual ibadah di masjid. Seperti azan salat lima waktu, menjadi imam cadangan, dan juga khatib cadangan.

“Saya bersuyukur, jemaah masih percaya terhadap saya. Dan saya pun selalu berusaha menjalankan amanah sebaik-baiknya,”ujar Junaidi saat berbincang dengan Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Enam tahun menjadi marbot, ia bersama istrinya Normila Sari berangkat ke Tanah Suci. Kejujuran, dan keuletan Junaidi diganjar umrah oleh jemaah. Para jemaah saat itu patungan sampai terkumpul uang untuk biaya satu orang. Sedangkan untuk istrinya, biaya ditanggung oleh orang tua dari anak yang diajari mengaji oleh Junaidi. “Alhamdulillah, kami akhirnya berangkat berdua,”ungkap pria yang mendalami Islam di pondok pesantren daerah Gambut, Kabupaten Banjar itu.

Baca Juga :  Bupati Kotim Tinjau Vaksinasi Gotong Royong

Balik dari ibadah umrah, lanjut Junaidi, ia membawa lima bibit buah kurma. Ia menanam di sekeliling masjid. Saat ini, usianya sudah berjalan delapan tahun. Tinggi batang hampir tiga meter. Daunnya sudah lebat. “Tapi, belum ada berbuah,”celetuknya sambil tertawa kecil.

Junaidi dikaruniai dua orang anak. Anak pertama bernama Muhammad Wildan (19). Saat ini mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam, Martapura. Anak kedua bernama Muhammad Zaki (9).

Selain menjadi marbot yang digaji Rp600 ribu per pekan. Pria kelahiran 10 Maret 1979 ini juga menjadi guru ngaji di Tempat Pembelajaran Al Qur’an (TPA) Al-Falah yang ada di lingkungan masjid. Muridnya ada belasan. Waktu belajarnya selepas azan Dzuhur sampai Ashar. Disambung lagi malam hari, selepas salat Magrib.

Junaidi bercerita panjang lebar perjalanan merantau ke Kota Cantik. Saat itu, ia hanya berprofesi sebagai petani. Sejak kecil sudah ditanamkan orang tuanya nilai-nilai kerohanian hingga ia dimasukkan ke pondok pesantren yang ada di daerah Gambut, Kabupaten Banjar.  

Selepas tamat dari pondok pesantren, ia meminang Nurmila Sari seorang santriwati dari pondok pesantren yang berbeda pada tahun 2000. Untuk mencari pekerjaan pria yang sering dipanggil Unai oleh masyarakat sekitar ini memutuskan untuk merantau ke Palangka Raya karena ditawarkan temannya pekerjaan pada tahun 2001 silam. Keputusan ini diambilnya dengan modal nekat walaupun tidak ada sanak saudara di kota tujuan.

Junaidi silih berganti profesi. Diawali dengan itu ikut menjaga toko, ikut di bengkel motor, molding, hingga berjualan kue bersama istri. “karena tidak adanya uang mengontrak, kami disuruh bos tidur di gudang sewaktu bekerja di molding, kami pun menerimanya. Walaupun sering kebanjiran saat hujan deras,”ucap pria berperawakan tegap ini.

Baca Juga :  PDIP Terbesar, Hanura Terkecil

“Pada tahun 2008, barulah ada seorang ustaz atau tokoh agama menawarkan untuk mengelola dan menjaga Masjid Al-Falah. Dan tawaran itu kami terima,”bebernya.

Sampai saat ini, Junaidi bersyukur, bisa menyekolahkan dua orang putranya. Yang mana putra pertamanya, yang juga tahfidz Al-Qur’an dan putra keduanya masih duduk di sekolah dasar. Ia berharap suatu saat nanti kedua putranya bisa menjadi ulama dan berdakwah untuk orang banyak.

“Saya harap anak saya bisa lebih dari saya, mungkin bisa menjadi ulama,”pungkasnya.

Pria yang sudah berusia 43 tahun ini sangat disenangi para jemaah yang sering salat di masjid yang lokasinya di seberang Pasar Kahayan itu. Hal ini diungkapkan oleh salah satu jemaah dan juga merupakan warga asli setempat yang bernama Anang. Bisa dibilang ia saksi nyata pembangunan masjid yang didominasi dengan warna hijau dan memiliki lima pintu masuk itu.

Dalam wawancaranya, ia mengatakan Junaidi marbot ke-4 selama masjid ini dibangun mulai dari tahun tahun 1978. Karena sifat ramah dan dedikasinya terhadap pekerjaannya sehingga ia disenangi warga. “Ganjaran dari para jemaah dan warga adalah memberangkatkan umrah,”katanya.

Nurmila Sari, sang istri, sangat-sangat ikhlas menjalani suka duka kehidupan bersama sang suami. Sosok suaminya merupakan pria yang sederhana, jujur dan giat bekerja. Itulah yang membuatnya jatuh cinta.

“Alhamdulillah, selama berumah tangga kami hidup sederhana dan tetap merasa berkecukupan,”ungkapnya.(ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/