Jumat, November 22, 2024
23.5 C
Palangkaraya

Diskusi Bertajuk Mencegah Karhutla di Tengah El Nino

Larangan Membakar Lahan Jadi Perdebatan

 

PALANGKA RAYA-Belakangan ini pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hal itu didasari oleh prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebut bahwa kemarau di Kalteng tahun ini akan lebih lama. Berbagai upaya pencegahan pun sudah mulai dilakukan, seperti sosialisasi larangan membakar lahan oleh masyarakat.

Larangan membakar lahan yang digemakan oleh pemerintah dimaksudkan agar tidak terjadi karhutla. Namun demikian, larangan ini menuai polemik. Sebab, terdapat peraturan daerah yang mengizinkan masyarakat membakar sebagian lahan, tetapi pemerintah justru melarang pembakaran lahan sedikit pun.

Seiring dengan munculnya larangan membakar hutan, menyeruak pula upaya pemerintah untuk mengalihkan mata pencaharian masyarakat dari berladang dengan cara membakar lahan ke bentuk lain. Namun, cara itu dinilai belum efektif. Masalah ini dibahas dalam forum diskusi bertajuk Mencegah Karhutla di Tengah El Nino yang diadakan di sebuah hotel di Palangka Raya, Jumat (25/3).

Dalam forum yang mempertemukan banyak instansi pemerintah, kepolisian, organisasi lingkungan, dan masyarakat itu, dibahas mengenai upaya pencegahan karhutla dari pemerintah dan penegak hukum bersama dengan masyarakat.

Salah satu permasalahan yang menyeruak adalah larangan membakar lahan oleh masyarakat. Terdapat Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalteng Nomor 1 Tahun 2020 yang mengizinkan masyarakat membakar sebagian lahan, namun terdapat pelarangan membakar lahan pada implementasinya di lapangan.

Saat memberikan paparan mengenai upaya penegakan hukum karhutla, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Kalteng Kombes Pol Kiswandi Irwan mengatakan, dalam aturan itu tertera jelas bahwa membakar lahan hanya diizinkan pada karakteristik lahan bukan gambut, lalu harus disiapkan berbagai pengaman lain agar api tidak membesar.

“Tapi, kalau terjadi musim kebakaran, lalu sudah ditetapkan status siaga darurat, maka status itu sudah mematahkan Perda tadi, karena sudah menjadi bencana nasional,” jelas Kiswandi.

Perwira menengah itu menjelaskan, jika masyarakat tetap bersikukuh ingin membakar lahan, hal bisa saja dilakukan, dengan syarat memenuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh perda tadi. Bukan hanya membakar, lalu ditinggalkan.

“Mereka membakar, kebanyakan yang terjadi di lapangan adalah mereka tidak mengawasi, kadang tebang, bakar, lalu mereka tinggalin, itu yang pelik,” ungkapnya.

Kiswandi menyebut bahwa 99 persen penyebab karhutla disebabkan oleh faktor manusia, yakni faktor disengaja seperti pembakaran lahan oleh masyarakat dan pembakaran hutan atau lahan oleh suatu kegiatan atau usaha.

Di tempat yang sama, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Provinsi Kalteng Merti Ilona mengatakan sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencegah karhutla dengan melarang masyarakat membakar lahan.

Pihaknya mencanangkan upaya revitalisasi ekonomi untuk mengganti mata pencaharian masyarakat yang semula berladang dengan membakar lahan ke mata pencaharian lain yang tidak dengan membakar lahan.

 

“Karena karhutla ini 99 persen faktor manusia, pendekatan paling efektif yakni dari revitalisasi ekonomi, bagaimana kami memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lahan tanpa harus membakarnya,” ujar Merty dalam sesi tanya jawab kepada audiens pada forum tersebut.

Baca Juga :  PUPR Lakukan Perawatan Rutin Jalan Tingang Ujung

Merty menjelaskan revitalisasi ekonomi itu memungkinkan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lahan terbengkalai agar bisa bernilai ekonomis melalui proses pembiayaan sesuai karakteristik lahan.

“Melalui revitalisasi ekonomi ini, kami kan ngasih uang ke masyarakat Rp100 juta per kelompok, jadi mereka senang, pada akhirnya mereka bisa mandiri secara ekonomi, saya pikir pendekatan ini lebih efektif agar masyarakat dapat menjaga lingkungan,” jelasnya.

 

Pelarangan membakar lahan lalu melakukan upaya revitalisasi ekonomi untuk masyarakat tampak terdengar merupakan solusi yang baik. Karena masyarakat yang mata pencahariannya tadinya bertumpu pada berladang dengan membakar lahan, lalu mata pencaharian itu berupaya dialihkan ke mata pencaharian lain yang tidak membakar lahan, sehingga sasaran pencegahan kebakaran hutan bisa dilakukan.

 

Sayangnya, upaya tersebut dinilai masih belum optimal. Larangan membakar lahan membuat masyarakat kehilangan mata pencahariannya, tak hanya itu, program revitalisasi ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah selama ini juga dinilai belum mampu menyejahterakan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Nurhadi, petani dari Desa Mantangai, yang juga dihadirkan dalam forum tersebut.

Diungkapkan Nurhadi, program revitalisasi ekonomi yang dicanangkan pemerintah belum bisa menjawab permasalahan tumpuan mata pencaharian untuk pemenuhan ekonomi mereka. Sebagai seorang petani, dirinya menyebut bahwa sampai saat ini, petani ladang masih menjerit ingin kembali berladang lagi.

“Kalau demikian, artinya, program yang diusung pemerintah selama ini belum mampu untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, khususnya petani, karena apa? Di dalam aturan yang dibuat oleh pemerintah itu melarang, yang menurut kami larangan itu tidak jelas,” ungkap pria berusia 44 tahun itu dalam sesi tanya jawab forum.

Pelarangan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak jelas itu bukan tanpa alasan. Menurut Nurhadi, berdasarkan pengalaman pribadinya selaku petani, dirinya sempat ingin membuka lahan dengan mematuhi aturan tersebut.

“Di situ membolehkan masyarakat membuka lahan seluas 1 hektare dengan cara membakar, oleh masyarakat hukum adat, sekarang pertanyaannya, apakah semua petani itu merupakan masyarakat hukum adat?” ungkapnya.

Untuk mengikuti aturan pembukaan lahan dengan cara berladang itu, Nurhadi menyebut dirinya pernah meminta izin ke Kades, Kapolsek, Camat, lalu Danramil. “Semuanya saya laksanakan sesuai petunjuk aturan itu, saya membuat sekat kanal, alat pemadam ada, semuanya saya penuhi. Tapi, apa kata mereka (aparat, red)? Kami tidak menyuruh membakar, kami pun tidak melarang membakar, jadi mereka pun bingung,” tuturnya.

 

Nurhadi menyebut diperlukan pemahaman kepada masyarakat mengenai aturan yang ditetapkan pemerintah. “Aturan yang ada itu harus betul-betul disampaikan ke masyarakat, agar mereka tahu eksisnya aturan itu,” tandasnya.

 

Hal senada juga diungkapkan oleh Irma. Seorang petani dari Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Ia mengungkapkan pelarangan membakar yang digemakan oleh pemerintah tidak tepat. Sebab, mereka hanya membakar sebatas pada tempat mereka berladang.

Baca Juga :  Atlet Panahan Ditargetkan Penyumbangkan Mendali Terbanyak

 

“Kami hanya membakar lahan pada sebatas tempat kami berladang, kalau dikatakan kami membakar lahan dalam artian sehingga menyebabkan kebakaran, tidak benar,” ungkapnya.

 

Menurut perempuan berusia 50 tahun itu, dari peraturan-peraturan yang ada oleh pemerintah, seperti yang terjadi di lapangan yang mana pemerintah menyebut pihaknya tidak menyuruh tapi tidak juga melarang, menurutnya tidak ada kejelasan di situ.

“Kalau sudah terbit aturan sebaiknya ditegaskan, betul-betul menyuruh atau melarang, kenapa tidak ditegaskan, kalau melarag ya melarang, kalau menyuruh ya menyuruh, peraturan itu jangan plin plan,” pungkasnya.

 

Terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata membenarkan bahwa 99 persen disebabkan oleh faktor manusia. Namun, terdapat faktor lain juga yakni kondisi areal atau karakteristik lahan yang terbakar itu merupakan faktor dominan penyebab kebakaran hutan. Terkait efektivitas upaya pencegahan dari pemerintah dengan pelarangan membakar lahan, Bayu menilai hal itu tidaklah efektif.

 

“Kalau dibilang larangan membakar lahan itu efektif mencegah karhutla, buktinya masih ada kejadian kebakaran, lalu sebagian besar dari temuan kami itu bukan yang disebabkan karena aktivitas berladang, kita bisa cek fakta di lapangan bahwa luasan kebakaran hutan Kalteng 2019 lalu bahwa yang paling banyak karhutla terjadi di area sekitar perkebunan besar sawit atau HTI, kalau disebabkan karena berladang, itu masih kecil,” jelas Bayu kepada Kalteng Pos melalui panggilan WhatsApp, Sabtu (25/3).

 

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Walhi Kalteng, setidaknya terdapat 1.326 titik api di dalam 141 izin konsesi perkebunan sawit selama Januari-Agustus 2015. Terkait pelarangan membakar lahan, Bayu menilai sampai saat ini upaya revitalisasi ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah untuk mengganti mata pencaharian masyarakat itu belum signifikan.

“Karena temuan kami di lapangan masyarakat masih bingung mencari sumber mata pencahariannya, oleh karena itulah dampak sosial yang ditimbulkan pun masif,” jelasnya.

Menurutnya, program revitalisasi ekonomi yang diusung oleh pemerintah itu belum bisa terealisasi secara optimal sebab tidak menyentuh atau tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat. “Jadi program atau insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat itu masih jauh dari kebutuhan ataupun pola pemenuhan atau sumber ekonomi yang ada di sana,” tuturnya.

Untuk menyelesaikan masalah ini, Bayu mengatakan perlu adanya upaya dari pemerintah untuk lebih mengutamakan partisipasi masyarakat. Sebab, pihaknya menilai selama ini masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam penentuan kebijakan oleh pemerintah.

“Ini poin pentingnya, ke depannya harus dilakukan lebih optimal oleh pemerintah melalui dians atau badan terkait dalam mengakomodasi proses-proses atau pelibatan masyarakat dalam partisipasi bermakna,” tandasnya. (dan/ram)

 

PALANGKA RAYA-Belakangan ini pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hal itu didasari oleh prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebut bahwa kemarau di Kalteng tahun ini akan lebih lama. Berbagai upaya pencegahan pun sudah mulai dilakukan, seperti sosialisasi larangan membakar lahan oleh masyarakat.

Larangan membakar lahan yang digemakan oleh pemerintah dimaksudkan agar tidak terjadi karhutla. Namun demikian, larangan ini menuai polemik. Sebab, terdapat peraturan daerah yang mengizinkan masyarakat membakar sebagian lahan, tetapi pemerintah justru melarang pembakaran lahan sedikit pun.

Seiring dengan munculnya larangan membakar hutan, menyeruak pula upaya pemerintah untuk mengalihkan mata pencaharian masyarakat dari berladang dengan cara membakar lahan ke bentuk lain. Namun, cara itu dinilai belum efektif. Masalah ini dibahas dalam forum diskusi bertajuk Mencegah Karhutla di Tengah El Nino yang diadakan di sebuah hotel di Palangka Raya, Jumat (25/3).

Dalam forum yang mempertemukan banyak instansi pemerintah, kepolisian, organisasi lingkungan, dan masyarakat itu, dibahas mengenai upaya pencegahan karhutla dari pemerintah dan penegak hukum bersama dengan masyarakat.

Salah satu permasalahan yang menyeruak adalah larangan membakar lahan oleh masyarakat. Terdapat Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalteng Nomor 1 Tahun 2020 yang mengizinkan masyarakat membakar sebagian lahan, namun terdapat pelarangan membakar lahan pada implementasinya di lapangan.

Saat memberikan paparan mengenai upaya penegakan hukum karhutla, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Kalteng Kombes Pol Kiswandi Irwan mengatakan, dalam aturan itu tertera jelas bahwa membakar lahan hanya diizinkan pada karakteristik lahan bukan gambut, lalu harus disiapkan berbagai pengaman lain agar api tidak membesar.

“Tapi, kalau terjadi musim kebakaran, lalu sudah ditetapkan status siaga darurat, maka status itu sudah mematahkan Perda tadi, karena sudah menjadi bencana nasional,” jelas Kiswandi.

Perwira menengah itu menjelaskan, jika masyarakat tetap bersikukuh ingin membakar lahan, hal bisa saja dilakukan, dengan syarat memenuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh perda tadi. Bukan hanya membakar, lalu ditinggalkan.

“Mereka membakar, kebanyakan yang terjadi di lapangan adalah mereka tidak mengawasi, kadang tebang, bakar, lalu mereka tinggalin, itu yang pelik,” ungkapnya.

Kiswandi menyebut bahwa 99 persen penyebab karhutla disebabkan oleh faktor manusia, yakni faktor disengaja seperti pembakaran lahan oleh masyarakat dan pembakaran hutan atau lahan oleh suatu kegiatan atau usaha.

Di tempat yang sama, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Provinsi Kalteng Merti Ilona mengatakan sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencegah karhutla dengan melarang masyarakat membakar lahan.

Pihaknya mencanangkan upaya revitalisasi ekonomi untuk mengganti mata pencaharian masyarakat yang semula berladang dengan membakar lahan ke mata pencaharian lain yang tidak dengan membakar lahan.

 

“Karena karhutla ini 99 persen faktor manusia, pendekatan paling efektif yakni dari revitalisasi ekonomi, bagaimana kami memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lahan tanpa harus membakarnya,” ujar Merty dalam sesi tanya jawab kepada audiens pada forum tersebut.

Baca Juga :  PUPR Lakukan Perawatan Rutin Jalan Tingang Ujung

Merty menjelaskan revitalisasi ekonomi itu memungkinkan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan lahan terbengkalai agar bisa bernilai ekonomis melalui proses pembiayaan sesuai karakteristik lahan.

“Melalui revitalisasi ekonomi ini, kami kan ngasih uang ke masyarakat Rp100 juta per kelompok, jadi mereka senang, pada akhirnya mereka bisa mandiri secara ekonomi, saya pikir pendekatan ini lebih efektif agar masyarakat dapat menjaga lingkungan,” jelasnya.

 

Pelarangan membakar lahan lalu melakukan upaya revitalisasi ekonomi untuk masyarakat tampak terdengar merupakan solusi yang baik. Karena masyarakat yang mata pencahariannya tadinya bertumpu pada berladang dengan membakar lahan, lalu mata pencaharian itu berupaya dialihkan ke mata pencaharian lain yang tidak membakar lahan, sehingga sasaran pencegahan kebakaran hutan bisa dilakukan.

 

Sayangnya, upaya tersebut dinilai masih belum optimal. Larangan membakar lahan membuat masyarakat kehilangan mata pencahariannya, tak hanya itu, program revitalisasi ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah selama ini juga dinilai belum mampu menyejahterakan masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh Nurhadi, petani dari Desa Mantangai, yang juga dihadirkan dalam forum tersebut.

Diungkapkan Nurhadi, program revitalisasi ekonomi yang dicanangkan pemerintah belum bisa menjawab permasalahan tumpuan mata pencaharian untuk pemenuhan ekonomi mereka. Sebagai seorang petani, dirinya menyebut bahwa sampai saat ini, petani ladang masih menjerit ingin kembali berladang lagi.

“Kalau demikian, artinya, program yang diusung pemerintah selama ini belum mampu untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, khususnya petani, karena apa? Di dalam aturan yang dibuat oleh pemerintah itu melarang, yang menurut kami larangan itu tidak jelas,” ungkap pria berusia 44 tahun itu dalam sesi tanya jawab forum.

Pelarangan yang dicanangkan oleh pemerintah tidak jelas itu bukan tanpa alasan. Menurut Nurhadi, berdasarkan pengalaman pribadinya selaku petani, dirinya sempat ingin membuka lahan dengan mematuhi aturan tersebut.

“Di situ membolehkan masyarakat membuka lahan seluas 1 hektare dengan cara membakar, oleh masyarakat hukum adat, sekarang pertanyaannya, apakah semua petani itu merupakan masyarakat hukum adat?” ungkapnya.

Untuk mengikuti aturan pembukaan lahan dengan cara berladang itu, Nurhadi menyebut dirinya pernah meminta izin ke Kades, Kapolsek, Camat, lalu Danramil. “Semuanya saya laksanakan sesuai petunjuk aturan itu, saya membuat sekat kanal, alat pemadam ada, semuanya saya penuhi. Tapi, apa kata mereka (aparat, red)? Kami tidak menyuruh membakar, kami pun tidak melarang membakar, jadi mereka pun bingung,” tuturnya.

 

Nurhadi menyebut diperlukan pemahaman kepada masyarakat mengenai aturan yang ditetapkan pemerintah. “Aturan yang ada itu harus betul-betul disampaikan ke masyarakat, agar mereka tahu eksisnya aturan itu,” tandasnya.

 

Hal senada juga diungkapkan oleh Irma. Seorang petani dari Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas. Ia mengungkapkan pelarangan membakar yang digemakan oleh pemerintah tidak tepat. Sebab, mereka hanya membakar sebatas pada tempat mereka berladang.

Baca Juga :  Atlet Panahan Ditargetkan Penyumbangkan Mendali Terbanyak

 

“Kami hanya membakar lahan pada sebatas tempat kami berladang, kalau dikatakan kami membakar lahan dalam artian sehingga menyebabkan kebakaran, tidak benar,” ungkapnya.

 

Menurut perempuan berusia 50 tahun itu, dari peraturan-peraturan yang ada oleh pemerintah, seperti yang terjadi di lapangan yang mana pemerintah menyebut pihaknya tidak menyuruh tapi tidak juga melarang, menurutnya tidak ada kejelasan di situ.

“Kalau sudah terbit aturan sebaiknya ditegaskan, betul-betul menyuruh atau melarang, kenapa tidak ditegaskan, kalau melarag ya melarang, kalau menyuruh ya menyuruh, peraturan itu jangan plin plan,” pungkasnya.

 

Terpisah, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata membenarkan bahwa 99 persen disebabkan oleh faktor manusia. Namun, terdapat faktor lain juga yakni kondisi areal atau karakteristik lahan yang terbakar itu merupakan faktor dominan penyebab kebakaran hutan. Terkait efektivitas upaya pencegahan dari pemerintah dengan pelarangan membakar lahan, Bayu menilai hal itu tidaklah efektif.

 

“Kalau dibilang larangan membakar lahan itu efektif mencegah karhutla, buktinya masih ada kejadian kebakaran, lalu sebagian besar dari temuan kami itu bukan yang disebabkan karena aktivitas berladang, kita bisa cek fakta di lapangan bahwa luasan kebakaran hutan Kalteng 2019 lalu bahwa yang paling banyak karhutla terjadi di area sekitar perkebunan besar sawit atau HTI, kalau disebabkan karena berladang, itu masih kecil,” jelas Bayu kepada Kalteng Pos melalui panggilan WhatsApp, Sabtu (25/3).

 

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Walhi Kalteng, setidaknya terdapat 1.326 titik api di dalam 141 izin konsesi perkebunan sawit selama Januari-Agustus 2015. Terkait pelarangan membakar lahan, Bayu menilai sampai saat ini upaya revitalisasi ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah untuk mengganti mata pencaharian masyarakat itu belum signifikan.

“Karena temuan kami di lapangan masyarakat masih bingung mencari sumber mata pencahariannya, oleh karena itulah dampak sosial yang ditimbulkan pun masif,” jelasnya.

Menurutnya, program revitalisasi ekonomi yang diusung oleh pemerintah itu belum bisa terealisasi secara optimal sebab tidak menyentuh atau tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada di masyarakat. “Jadi program atau insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat itu masih jauh dari kebutuhan ataupun pola pemenuhan atau sumber ekonomi yang ada di sana,” tuturnya.

Untuk menyelesaikan masalah ini, Bayu mengatakan perlu adanya upaya dari pemerintah untuk lebih mengutamakan partisipasi masyarakat. Sebab, pihaknya menilai selama ini masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam penentuan kebijakan oleh pemerintah.

“Ini poin pentingnya, ke depannya harus dilakukan lebih optimal oleh pemerintah melalui dians atau badan terkait dalam mengakomodasi proses-proses atau pelibatan masyarakat dalam partisipasi bermakna,” tandasnya. (dan/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/