Jumat, November 22, 2024
23.5 C
Palangkaraya

Heboh Klaim Kepemilikan Lahan di Menteng

Di tempat yang sama, seorang warga yang memiliki tanah di Jalan Pramuka, Marine (60), yang tanahnya juga terklaim mengatakan, pada awalnya ia tidak tahu bahwa tanah yang dibelinya sejak 2002 lalu itu harus tersengketa.

“Kami tidak tahu dulu itu, saya kira aman, kalau tahu begini saya kira tidak akan saya beli tanah itu, padahal tanah itu masih kredit,” katanya.

Ia baru tahu tanahnya terklaim sejak awal bulan Januari lalu. Ia berharap agar tanahnya dapat kembali menjadi miliknya tanpa harus bersengketa dengan pihak lain. Adapun tanah itu ia miliki atas legalitas SHM. “Kami berharap kepada lurah dan pihak terkait betul-betul bijaksana mempertimbangkan asas kepemilikan kami,” ungkapnya.

Helni (51), warga yang juga memiliki tanah di Jalan Jintan berharap agar pemerintah dapat menemukan solusi terbaik demi menyelesaikan permasalahan ini. Tanah itu ia miliki dengan legalitas SKT.

“Saya berharap agar inspektorat memberikan pembinaan ke lurah lalu dari pemerintahan bisa mencabut SPT (surat pernyataan tanah) itu,” harapnya.

Masalah kemudian mengerucut pada pertanyaan apakah SKT bisa diterbitkan oleh pemerintah kota (pemko) tanpa harus berkoordinasi dengan pihak terkait, salah satunya Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kepala BPN Kota Palangka Raya Y Budhy Sutrisno mengatakan, pada prinsipnya BPN memiliki ranah kebijakan pada penerbitan sertifikat saja. Sedangkan penerbitan SKT masuk dalam ranah kewenangan pemerintah daerah, dalam hal ini pemko melalui kelurahan setempat.

“Tidak ada kewajiban dari kelurahan kalau membuat surat harus koordinasi ke BPN, lalu saya yakin bahwa pihak kelurahan sudah memiliki SOP tersendiri terkait penerbitan SPT (surat pernyataan tanah),” jelas Budhy kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.

Baca Juga :  Tanah Masih Dikuasai PT Adaro, Warga Desa Kelanis Murung Ngelurug ke Pengadilan

Berkenaan dengan masalah apakah pihak kelurahan bisa menerbitkan SKT kendati warga telah memiliki SHM, Budhy menjelaskan hal itu sebaiknya sudah memang jangan dilakukan. “Di BPN kan tanah yang bersertifikat sudah bisa diakses di aplikasi Sentuh Tanahku, mereka bisa mengecek di situ, apakah di lokasi yang mau diterbitkan itu sudah bersertifikat atau belum,” katanya.

Budhy juga mengaitkan masalah pertanahan dengan sifat hukum Indonesia yang menerapkan hukum pertanahan stelsel negatif. Maka konsekuensi dari situ adalah belum tentu warga yang sudah terlebih dahulu memiliki tanah bersertifikat selamanya akan menjadi pemilik tanah berlegalitas sertifikat itu.

“Hukum kita kan sifatnya stelsel negatif, maka berlaku konsekuensi bahwa sertifikat itu adalah bukti yang kuat terkait dengan hak kepemilikan orang sepanjang tidak ada orang yang membuktikan sebaliknya,” jelasnya.

Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura yang menerapkan hukum tanah stelsel positif. Artinya, warga yang sudah memiliki sertifikat tanah akan mutlak memiliki tanah itu. “Makanya berbeda, di kita kan stelsel negatif, artinya sertifikat tanah yang dimiliki warga hanya akan kuat sepanjang tidak ada yang membuktikan sebaliknya,” ucapnya.

Ia juga menjelaskan bahwa memang lurah tidak memiliki kewajiban jika dia harus membuat SPT harus bertanya terlebih dahulu ke BPN. Tetapi dalam beberapa kasus, dalam membuat SKT lurah sering bersurat kepada pihaknya untuk menanyakan apakah pada titik tertentu di bidang tanah tertentu itu sudah terbit sertifikat atau belum.

Baca Juga :  Pengadilan Eksekusi Lahan Makam Desa Bumi Agung 

“Memang ada beberapa kelurahan yang melakukan seperti itu, tapi itu bukanlah suatu kewajiban,” ujarnya.

Agar kasus ini dapat diselesaikan dengan baik, Budhy memaklumi bahwa kasus tanah di Palangka Raya cukup banyak. Namun hal yang bisa dilakukan atau menjadi opsi agar permasalahan ini bisa diselesaikan adalah melalui mediasi antara para pihak.

“Bisa dengan mediasi antar para pihak bersengketa, baik mediasi yang dilaksanakan langsung antara para pihak, bisa dengan mediator di kelurahan, bisa dengan mediator dari BPN, melalui mediasi ini tentu saja akan bisa dicapai mufakat atau win-win solution,” jelasnya.

Jika nanti mediasi itu menemui jalan buntu, barulah kemudian dilanjutkan dengan upaya penegakan hukum. “Upaya penegekan hukum itu melalui jalur litigasi, yakni di pengadilan,” tandasnya.

Dihubungi terpisah, Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari mengaku masih belum mendapat laporan perihal sengketa tanah itu. Namun dia membenarkan jika Singkang pernah mengajukan beberapa surat pernyataan menggarap tanah (SPMT) ke kelurahan, tapi tidak semua disetujui.

“Kami belum dapat laporan. Masalah itu masih kami telusuri dan pelajari terlebih dahulu. Namun saya tegaskan bahwa kelurahan bersikap netral dalam hal ini,” ujar Rossalinda kepada Kalteng Pos, Kamis (26/1/2023).

Di tempat yang sama, seorang warga yang memiliki tanah di Jalan Pramuka, Marine (60), yang tanahnya juga terklaim mengatakan, pada awalnya ia tidak tahu bahwa tanah yang dibelinya sejak 2002 lalu itu harus tersengketa.

“Kami tidak tahu dulu itu, saya kira aman, kalau tahu begini saya kira tidak akan saya beli tanah itu, padahal tanah itu masih kredit,” katanya.

Ia baru tahu tanahnya terklaim sejak awal bulan Januari lalu. Ia berharap agar tanahnya dapat kembali menjadi miliknya tanpa harus bersengketa dengan pihak lain. Adapun tanah itu ia miliki atas legalitas SHM. “Kami berharap kepada lurah dan pihak terkait betul-betul bijaksana mempertimbangkan asas kepemilikan kami,” ungkapnya.

Helni (51), warga yang juga memiliki tanah di Jalan Jintan berharap agar pemerintah dapat menemukan solusi terbaik demi menyelesaikan permasalahan ini. Tanah itu ia miliki dengan legalitas SKT.

“Saya berharap agar inspektorat memberikan pembinaan ke lurah lalu dari pemerintahan bisa mencabut SPT (surat pernyataan tanah) itu,” harapnya.

Masalah kemudian mengerucut pada pertanyaan apakah SKT bisa diterbitkan oleh pemerintah kota (pemko) tanpa harus berkoordinasi dengan pihak terkait, salah satunya Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kepala BPN Kota Palangka Raya Y Budhy Sutrisno mengatakan, pada prinsipnya BPN memiliki ranah kebijakan pada penerbitan sertifikat saja. Sedangkan penerbitan SKT masuk dalam ranah kewenangan pemerintah daerah, dalam hal ini pemko melalui kelurahan setempat.

“Tidak ada kewajiban dari kelurahan kalau membuat surat harus koordinasi ke BPN, lalu saya yakin bahwa pihak kelurahan sudah memiliki SOP tersendiri terkait penerbitan SPT (surat pernyataan tanah),” jelas Budhy kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.

Baca Juga :  Tanah Masih Dikuasai PT Adaro, Warga Desa Kelanis Murung Ngelurug ke Pengadilan

Berkenaan dengan masalah apakah pihak kelurahan bisa menerbitkan SKT kendati warga telah memiliki SHM, Budhy menjelaskan hal itu sebaiknya sudah memang jangan dilakukan. “Di BPN kan tanah yang bersertifikat sudah bisa diakses di aplikasi Sentuh Tanahku, mereka bisa mengecek di situ, apakah di lokasi yang mau diterbitkan itu sudah bersertifikat atau belum,” katanya.

Budhy juga mengaitkan masalah pertanahan dengan sifat hukum Indonesia yang menerapkan hukum pertanahan stelsel negatif. Maka konsekuensi dari situ adalah belum tentu warga yang sudah terlebih dahulu memiliki tanah bersertifikat selamanya akan menjadi pemilik tanah berlegalitas sertifikat itu.

“Hukum kita kan sifatnya stelsel negatif, maka berlaku konsekuensi bahwa sertifikat itu adalah bukti yang kuat terkait dengan hak kepemilikan orang sepanjang tidak ada orang yang membuktikan sebaliknya,” jelasnya.

Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia dan Singapura yang menerapkan hukum tanah stelsel positif. Artinya, warga yang sudah memiliki sertifikat tanah akan mutlak memiliki tanah itu. “Makanya berbeda, di kita kan stelsel negatif, artinya sertifikat tanah yang dimiliki warga hanya akan kuat sepanjang tidak ada yang membuktikan sebaliknya,” ucapnya.

Ia juga menjelaskan bahwa memang lurah tidak memiliki kewajiban jika dia harus membuat SPT harus bertanya terlebih dahulu ke BPN. Tetapi dalam beberapa kasus, dalam membuat SKT lurah sering bersurat kepada pihaknya untuk menanyakan apakah pada titik tertentu di bidang tanah tertentu itu sudah terbit sertifikat atau belum.

Baca Juga :  Pengadilan Eksekusi Lahan Makam Desa Bumi Agung 

“Memang ada beberapa kelurahan yang melakukan seperti itu, tapi itu bukanlah suatu kewajiban,” ujarnya.

Agar kasus ini dapat diselesaikan dengan baik, Budhy memaklumi bahwa kasus tanah di Palangka Raya cukup banyak. Namun hal yang bisa dilakukan atau menjadi opsi agar permasalahan ini bisa diselesaikan adalah melalui mediasi antara para pihak.

“Bisa dengan mediasi antar para pihak bersengketa, baik mediasi yang dilaksanakan langsung antara para pihak, bisa dengan mediator di kelurahan, bisa dengan mediator dari BPN, melalui mediasi ini tentu saja akan bisa dicapai mufakat atau win-win solution,” jelasnya.

Jika nanti mediasi itu menemui jalan buntu, barulah kemudian dilanjutkan dengan upaya penegakan hukum. “Upaya penegekan hukum itu melalui jalur litigasi, yakni di pengadilan,” tandasnya.

Dihubungi terpisah, Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari mengaku masih belum mendapat laporan perihal sengketa tanah itu. Namun dia membenarkan jika Singkang pernah mengajukan beberapa surat pernyataan menggarap tanah (SPMT) ke kelurahan, tapi tidak semua disetujui.

“Kami belum dapat laporan. Masalah itu masih kami telusuri dan pelajari terlebih dahulu. Namun saya tegaskan bahwa kelurahan bersikap netral dalam hal ini,” ujar Rossalinda kepada Kalteng Pos, Kamis (26/1/2023).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/