PALANGKA RAYA – Pemerintah telah mengizinkan pendirian pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa kebun. Tujuannya adalah membantu para petani sawit bisa menjual hasil panen. Namun belakang keberadaan pabrik kelapa sawit tanpa kebun menjadi sorotan banyak kalangan, karena diduga menjadi tempat penjualan sawit hasil curian. Ada yang berpendapat, keberadaan pabrik tanpa kebun ini lebih banyak menimbulkan kerugian.
Rawing Rambang, mantan Kepala Dinas Perkebunan Kalteng memberikan pendapatnya terkait hal tersebut. Rawing mengatakan, pemerintah mengizinkan pendirian pabrik tanpa kebun dengan syarat memiliki kemitraan antara pihak pabrik dengan petani sawit. “Pabrik tanpa kebun itu memang boleh, tapi dengan syarat perusahaan (pabrik) memiliki kemitraan dengan petani (sawit) swadaya,” kata Rawing Rambang, Selasa (27/2).
Dengan memiliki kemitraan itu, maka pabrik memiliki kejelasan terkait sumber pasokan sawit yang diolah. “Jadi asal usul buah sawit yang diolah pabrik itu jelas dari mana asalnya,” ujarnya.
Menurut Rawing, seharusnya kepala daerah seperti bupati/wali kota maupun gubernur, sebelum mengeluarkan izin usaha terkait pendirian pabrik sawit tanpa kebun, memastikan dahulu soal kerja sama kemitraan antara pengusaha dengan masyarakat, khususnya para petani sawit di sekitar pabrik bersangkutan.
“Karena menurut saya akan sangat bahaya kalau kepala daerah tidak memverifikasi atau tidak memperhatikan ada tidaknya kerja sama itu,” katanya.
Saat dirinya masih menjabat di Dinas Perkebunan Kalteng, ia sangat memperhatikan terkait perizinan pabrik sawit yang masuk, karena terkadang tidak ada kerja sama antara pihak pengusaha pemilik pabrik dan masyarakat.
“Dulu waktu saya jadi kadisbun, saya lihat dulu ada tidak kerja sama dan berapa potensi (kebun) masyarakat di daerah itu yang bisa menjadi penyupai, itu juga jadi bahan pertimbangan,” tuturnya.
Lebih lanjut Rawing menjelaskan, dengan mengetahui ada tidaknya kerja sama kemitraan antara pabrik sawit dengan masyarakat, bisa diketahui kemampuan kapasitas pabrik sawit tersebut dalam beroperasi untuk mengolah buah sawit yang disuplai masyarakat ke pabrik tersebut.
“Semua itu bisa dihitung. Misalnya, jika kebun punya masyarakat seluas satu hektarenya menghasilkan 15 sampai 20 ton, lalu kapasitas pabrik di situ misalnya (bisa mengolah) 40 ton atau 60 ton per jam, tinggal dihitung berapa jam mesin pabrik itu bekerja dan ada berapa luas kebun masyarakat di situ, tinggal dikali saja,” katanya.
Menanggapi soal anggapan bahwa saat ini pabrik sawit tanpa kebun sering dijadikan tempat menjual sawit hasil curian, Rawing tidak ingin berkomentar terkait itu. Menurutnya persoalan tersebut sepenuhnya menjadi urusan pihak penegak hukum, terutama kepolisian untuk menyelidiki kebenarannya.
“Saya tidak bisa berandai-andai, soal dugaan-dugaan itu urusan polisi, saya yang riilnya saja,” katanya.
Ketika ditanya pendapatnya terkait kebijakan gubernur membentuk satgas sawit untuk mengatasi sejumlah persoalan, terutama menyangkut kasus pencurian sawit, Rawing mengatakan dirinya sangat mendukung kebijakan gubernur. Menurutnya, pembentukan satgas sawit adalah bentuk perhatian dari pemerintah daerah dalam mengawal pembangunan, terutama pembangunan sektor usaha perkebunan sawit. Pembentukan satgas sawit juga sebagai bentuk perhatian pemerintah daerah dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi petani maupun pengusaha sawit.
“Itu sangat bagus dan positif, karena Bapak Gubernur melihat jika ada apa-apa dengan masyarakat atau perusahaan sawit, mereka bisa datang ke satgas sawit,” ucapnya sembari berharap satgas sawit yang dibentuk itu melibatkan banyak pihak.
Ia menambahkan, salah satu bukti hasil positif dari keberadaan satgas sawit yang dirasakan masyarakat saat ini yakni mulai berkurangnya kasus kasus pencurian sawit yang sempat marak terjadi di Kalteng.
“Sekarang saya dengar penegak hukum sudah masif bertindak, banyak pencuri sawit yang sudah ditangkap, sekarang sudah tidak terdengar lagi ada kasus pencurian sawit di Kalteng,” tutupnya. (sja/ce/ala)