Minggu, Oktober 6, 2024
23.3 C
Palangkaraya

Tujuh Ikan Sapan (Langka) Menjadi Santapan


“Komunitas kita juga sedang merayakan ulang tahun ke-7 tahun ini,” sahutnya sembari menunjuk logo angka tujuh pada kaus yang dikenakan rekannya.
Malam berlarut hingga pukul 01.00 WIB. Kenyang kudapan, kopi, teh, dan anding, istirahat menjadi sangat nikmat, meski pukul 05.00 WIB harus bangun untuk mendokumentasikan tugu khatulistiwa, yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer saja.
Kontinuitas angka tujuh berlanjut. Rombongan mencoba membuat foto, video, dan narasi tentang potensi wisata. Air Terjun Bumbun atau Cahai Bumbun tingkat tujuh menjadi pilihan mulai kegiatan.

Sejak di Betang Tumbang Apat 1897, ritual setiap tempat dilakukan sebelum mengambil gambar.
“Kita membawa tujuh telur untuk memohon izin dan menghormati leluhur,” ucap Seniman dan Budayawan Kalteng Althur Malik, sesaat sebelum menari Mandau dan topeng di bawah Air Terjun Bumbun tingkat tujuh itu.

Panas terik dan cerahnya hari tak dirasakan lagi. Segarnya air membuat siapa saja ingin menceburkan diri. Ya. Mandi jadi pilihan utama para kameramen dan rombongan.
Persiapan menuju lokasi terakhir dijadwalkan pukul 15.00 WIB. Semakin siang semakin baik, lantaran lokasinya di tengah hutan yang sulit tertembus cahaya sore untuk keperluan dokumentasi.

Baca Juga :  Bupati Kotim Rencanakan Renovasi Fasilitas Olahraga

Namun, lokasi yang sangat sakral dan sarat mistis itu, sepertinya belum saatnya dibuka untuk masyarakat umum. Rombongan justru seperti dituntun ke sana malam. Diawali menggunakan mobil melintasi Sungai Murung dan Sungai Joloi, dilanjutkan jalan kaki tepat saat peralihan siang ke malam.
Akhir cerita perjalanan di kaki Gunung Bondang itu tak mudah diceritakan. Pastinya, sulit diterima siapa saja.

Anggap saja bentuknya seperti koloseum. Sebagai pusat kegiatan dengan model atau pola (arketipe) dan skrip kebudayaan yang ditinggalkan sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894.
Namun, yang pasti, tempat memiliki tujuh tingkat itu diyakini sangat kental kepercayaan berhubungan dengan langit ke-7.

“Meski kita sedang menggaungkan desa wisata dan administrasinya, ada beberapa lokasi yang memang cagar budaya dan belum saatnya dibuka untuk publik,” ucap Seger di sela menemani rombongan antre mandi di rumahnya.

Baca Juga :  Perencanaan yang Presisi

Pukul 22.00 WIB, pemain gong dan perkusi Bellacoustic Indonesia, Pandji sempat menuturkan tentang kegiatan Sanggar Tut Wuri Handayani yang dibina Jimy O Andin, sedang dalam rangkaian produksi sejumlah karya dengan tema 37 Tahun Berkarya.

Hingga esok harinya, sulit berpindah dari rangkaian angka tujuh. Perjalanan dimulai pukul 09.00 WIB dari jantung khatulistiwa Desa Tumbang Olong 2 ke Puruk Cahu. Estafet ke Palangka Raya hingga sampai rumah masing-masing sekitar pukul 06.00 WIB.

Skenario perjalanan diagendakan Disbudparpora Murung Raya selama sepuluh hari, disepakati dan disiapkan selesai lima hari, akhirnya terlaksana selama tujuh hari.
Meski begitu, di balik semua kejadian dan pengalaman selama perjalanan, sang kepala rombongan Jimy O Andin atau El Nazer Sarajan Ganap (Ontun Bahi/Kaju), berpesan bahwa seni dan budaya adalah ibadah.


“Komunitas kita juga sedang merayakan ulang tahun ke-7 tahun ini,” sahutnya sembari menunjuk logo angka tujuh pada kaus yang dikenakan rekannya.
Malam berlarut hingga pukul 01.00 WIB. Kenyang kudapan, kopi, teh, dan anding, istirahat menjadi sangat nikmat, meski pukul 05.00 WIB harus bangun untuk mendokumentasikan tugu khatulistiwa, yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer saja.
Kontinuitas angka tujuh berlanjut. Rombongan mencoba membuat foto, video, dan narasi tentang potensi wisata. Air Terjun Bumbun atau Cahai Bumbun tingkat tujuh menjadi pilihan mulai kegiatan.

Sejak di Betang Tumbang Apat 1897, ritual setiap tempat dilakukan sebelum mengambil gambar.
“Kita membawa tujuh telur untuk memohon izin dan menghormati leluhur,” ucap Seniman dan Budayawan Kalteng Althur Malik, sesaat sebelum menari Mandau dan topeng di bawah Air Terjun Bumbun tingkat tujuh itu.

Panas terik dan cerahnya hari tak dirasakan lagi. Segarnya air membuat siapa saja ingin menceburkan diri. Ya. Mandi jadi pilihan utama para kameramen dan rombongan.
Persiapan menuju lokasi terakhir dijadwalkan pukul 15.00 WIB. Semakin siang semakin baik, lantaran lokasinya di tengah hutan yang sulit tertembus cahaya sore untuk keperluan dokumentasi.

Baca Juga :  Bupati Kotim Rencanakan Renovasi Fasilitas Olahraga

Namun, lokasi yang sangat sakral dan sarat mistis itu, sepertinya belum saatnya dibuka untuk masyarakat umum. Rombongan justru seperti dituntun ke sana malam. Diawali menggunakan mobil melintasi Sungai Murung dan Sungai Joloi, dilanjutkan jalan kaki tepat saat peralihan siang ke malam.
Akhir cerita perjalanan di kaki Gunung Bondang itu tak mudah diceritakan. Pastinya, sulit diterima siapa saja.

Anggap saja bentuknya seperti koloseum. Sebagai pusat kegiatan dengan model atau pola (arketipe) dan skrip kebudayaan yang ditinggalkan sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894.
Namun, yang pasti, tempat memiliki tujuh tingkat itu diyakini sangat kental kepercayaan berhubungan dengan langit ke-7.

“Meski kita sedang menggaungkan desa wisata dan administrasinya, ada beberapa lokasi yang memang cagar budaya dan belum saatnya dibuka untuk publik,” ucap Seger di sela menemani rombongan antre mandi di rumahnya.

Baca Juga :  Perencanaan yang Presisi

Pukul 22.00 WIB, pemain gong dan perkusi Bellacoustic Indonesia, Pandji sempat menuturkan tentang kegiatan Sanggar Tut Wuri Handayani yang dibina Jimy O Andin, sedang dalam rangkaian produksi sejumlah karya dengan tema 37 Tahun Berkarya.

Hingga esok harinya, sulit berpindah dari rangkaian angka tujuh. Perjalanan dimulai pukul 09.00 WIB dari jantung khatulistiwa Desa Tumbang Olong 2 ke Puruk Cahu. Estafet ke Palangka Raya hingga sampai rumah masing-masing sekitar pukul 06.00 WIB.

Skenario perjalanan diagendakan Disbudparpora Murung Raya selama sepuluh hari, disepakati dan disiapkan selesai lima hari, akhirnya terlaksana selama tujuh hari.
Meski begitu, di balik semua kejadian dan pengalaman selama perjalanan, sang kepala rombongan Jimy O Andin atau El Nazer Sarajan Ganap (Ontun Bahi/Kaju), berpesan bahwa seni dan budaya adalah ibadah.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/