Site icon KaltengPos

Karena Hobi, Sisihkan Uang Jajan untuk Sewa Kamera

Dicki Wahyudi: FOTO: DOKUMEN PRIBADI DICKI

Hobi fotografi jadi jembatan baginya menyampaikan cerita melalui gambar. Kini pemuda asli Palangka Raya ini sudah memiliki studio foto sendiri. Memang tidak mudah untuk mencapai titik ini. Proses yang dijalani penuh liku dan tantangan.

ANISA B WAHDAH, Palangka Raya

DICKI Wahyudi namanya. Pemuda yang tidak banyak ngomong. Ia merupakan salah satu lulusan Kelas Foto Borneo angkatan 2 tahun 2019. Menyelesaikan kelas yang berlangsung selama enam bulan lamanya. Memiliki hobi sedari duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Apa saja dilakukan ketika itu, asal bisa menekan tombol shutter di badan kamera.

Proses itu dimulai dari nol. Waktu ia masih duduk di bangku SMA. Saat itu Dicki menggemari karya-karya yang terpampang pada majalah-majalah. Otaknya pun mulai berpikir. Ia punya hasrat mengambil gambar seperti pada majalah yang dilihatnya itu. Tapi apalah daya, ia tidak punya kamera.

Suatu ketika ia tahu bahwa temannya memiliki kamera. Memberanikan diri meminjam. Sesekali saja. Lama kelamaan ia ketagihan. Rela menyewa kamera hanya sekadar bersenang-senang. Keinginannya memotret terwujud. Harga yang dipatok pemilik kamera Rp150 ribu untuk 1×24 jam.

“Saat itu saya berani menyewa. Saya kumpulkan uang jajan. Kalau sudah terkumpul, baru saya menyewa untuk memotret apa saja,” katanya kepada Kalteng Pos, beberapa hari lalu.

Ia akhirnya bisa membeli kamera dengan uang tabungannya saat duduk di kelas XII. Canon 1100 D menjadi merek kamera pertamanya. Bakatnya di bidang fotografi dan cita-citanya sebagai pengusaha sudah muncul saat itu. Dia mendapat tawaran proyek foto kelas untuk kelulusan. Tanpa berpikir panjang, tawaran itu diterimanya.

Bermula dari sini, Dicki makin menggemari dunia fotografi. Setelah lulus SMA, ia memutuskan bergabung dengan beberapa komunitas fotografi untuk menekuni hobinya itu. Namun karena belum memiliki modal yang cukup, ia memutuskan untuk bekerja.

“Pekerjaan pertama saya setelah lulus SMA adalah menjaga rental play station selama enam bulan, kemudian lanjut kerja di salah satu perusahaan BUMN, tapi hobi saya di fotografi tetap berjalan,” kisah Dicki saat ditemui di studionya, Jalan Arjuna, Palangka Raya.

Tidak lama kemudian, pria kelahiran 20 Februari 1997 ini memutuskan melanjutkan pendidikan di Universitas Palangka Raya. Mengambil jurusan ekonomi dan bisnis. Ia pun memutuskan berhenti bekerja. Memutuskan untuk serius menekuni hobinya.

“Saya coba cari komunitas dan relasi untuk menghidupkan hobi saya, akhirnya saya menemukan Komunitas Hitam Putih Borneo melalui akun Instagram, saat dibuka kelas foto angkatan 2 yang merupakan anak komunitas Hitam Putih Borneo ini, saya pun ikut kelas itu,” tuturnya.

Keputusan itu diambilnya karena usahanya untuk belajar fotografi secara autodidak melalui YouTube tidak membuahkan hasil. Pemuda Dayak ini merasa bahwa belajar tanpa mentor terasa kurang maksimal. Ada beberapa hal yang tak dapat dijawab selama belajar mandiri. Selain itu, beberapa ide yang ingin diwujudkan tak tercapai.

“Saya masuk Kelas Foto Borneo itu pada 2019 dan menjadi angkatan kedua. Di kelas itu saya diajarkan dasar-dasar fotografi, mulai dari teori hingga praktiknya, itu berlangsung selama enam bulan,” ucapnya.

Namun perjalannya tidaklah mulus. Sempat terpikir di benaknya untuk berhenti. Tidak melanjutkan belajar fotografi di Kelas Foto Borneo. Apalagi saat itu ia juga sibuk dengan kuliahnya. Ia tak ingin membebani orang tuanya. Ia berpikir untuk bekerja lagi. Apa pun pekerjaannya.

“Ada banyak tawaran kerja dari teman-teman saya. Salah satunya kerja di kafe. Saya ingin bekerja biar dapat uang, karena sebelumnya saya sudah pernah bekerja sebelum memutuskan kuliah, tapi godaan dan pemikiran itu saya pertimbangkan lagi, akhirnya tetap memilih bertahan di Kelas Foto Borneo,” kata Dicki.

Banyak hal yang diperoleh selama bergabung di Kelas Foto Borneo. Beberapa kali diajak seniornya untuk menerima job. Senangnya bukan main.

“Meskipun saya sudah beberapa kali ikut job memotret wedding, tapi masih belum berani untuk menerima job sendirian. Saya sadar bahwa momentum pernikahan itu tidak bisa diulang, jadi perlu mental dan kesiapan yang matang untuk ambil job itu,” tuturnya.

Dicki pun memutuskan menerima job yang dalam pengerjaannya bisa diulang. Seperti konten kreator dan foto-foto produk. Setelah beberapa bulan ikut job bersama teman, ia pun memutuskan untuk berani menerima job wedding.

“Saat ini memang saya fokus ke pekerjaan memotret wedding, foto-foto di luar untuk sekadar hunting tetap saya lakukan, biasanya akhir pekan. Bosan juga sih memotret wedding terus, jadi foto di luar itu menjadi tantangan untuk menghidupkan gairah motret,” jelas pria yang perkuliahannya sudah memasuki semester akhir.

Mengingat perlengkapan fotografinya sudah mencukupi dan memiliki teman-teman yang sudah bergabung sebelumnya, dia memutuskan untuk membuka studi foto.

Dicki yang masih berusia 24 tahun, justru sudah memiliki studio foto sendiri. Banyak job yang didapatkannya.

“Saya membuka studio ini Januari 2021 ini. Awalnya juga ragu, karena takut usaha ini hanya musiman, tetapi syukurlah tiap hari job motret selalu ada, saya tekuni itu bersama teman-teman,” sebutnya.

Lagi-lagi, pekerjaan yang ditekuni tidak selalu mulus. Sebelum memutuskan membuka studio, beberapa orang di sekitarnya menyebut bahwa Dicki tidak memiliki pekerjaan yang seperti orang lain lakukan. Menjadi fotografer dianggap pekerjaan main-main. Ke sana ke sini membawa kamera dan jalan-jalan.

“Saya punya prinsip sendiri, untuk apa kerja siang malam hanya untuk menghidupkan usaha orang lain. Banyak orang yang kerja siang malam tidak memiliki waktu untuk dirinya, untuk hobinya,” katanya.

Namun Dicki membuktikan bahwa pekerjaan yang ditekuninya saat ini bukan untuk main-main. Di usianya yang terbilang muda, sudah mampu membuka usaha sendiri. Pekerjaan yang dijalani serta karya-karyanya bisa dicek langsung pada akun Instagramnya @great.production, @dickiwyd, dan @greatstudio63. (ce/ram)

Exit mobile version