PALANGKA RAYA-Tak terkendalinya perambahan hutan atau deforestasi untuk kepentingan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembukaan perkebunan sawit, hingga pertambangan disebut-sebut menjadi biang kerok bencana banjir di Kalimantan Tengah (Kalteng). Kian luas wilayah konsesi yang dibuka, makin luas pula dampak banjir yang melanda.
Baru-baru ini, Indonesia termasuk satu dari 105 negara di dunia yang sepakat menghentikan deforestasi hingga 2030 mendatang, untuk membantu memperlambat perubahan iklim. Perjanjian itu tertuang dalam deklarasi pemimpin Glasgow tentang hutan dan penggunaan lahan, ketika digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PPB terkait perubahan iklan COP26 awal November lalu.
Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran langsung mengambil sikap tegas. Pemprov Kalteng tak mau tinggal diam. Upaya pencegahan harus ada. Langkah awal adalah dengan mengevaluasi kembali seluruh perizinan lingkungan yang sudah dikeluarkan untuk perusahaan besar swasta (PBS) yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai.
“Dalam dua tahun terjadi banjir besar, kita tidak tidak tahu bagaimana 2022 nanti, kita harus siap,” katanya usai memimpin rapat koordinasi (rakor) penanganan bencana banjir dan Covid-19 di Aula Jayang Tingang, Kantor Gubernur Kalteng, Rabu (17/11).
Gubernur mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan segera mengirim surat ke pusat, meminta untuk mengevaluasi izin-izin lingkungan di Bumi Tambun Bungai. Pemerintah tentu mengkaji masalah dan penyebab banjir, selain akibat dari hujan. “Saya selaku gubernur dalam waktu dekat ini akan mengirim surat ke pemerintah pusat, supaya perizinan perkebunan, HTI, dan HPH yang sedang berjalan atau tidak berjalan segera ditinjau kembali,” ucapnya.
Langkah Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran yang menyatakan akan bersurat ke pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi penuh terhadap izin dan audit lingkungan yang dimiliki perkebunan besar swasta (PBS) sebagai salah satu cara mengatasi masalah banjir di Kalteng, mendapat tanggapan dari organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalteng.
Menurut Direktur Walhi Kalteng Dimas N Hartono, evaluasi terhadap izin ataupun masalah audit lingkungan perusahaan memang harus dilakukan. Bahkan menurutnya, tanpa harus menyurati pemerintah pusat terlebih dahulu, gubernur dapat langsung membuat evaluasi terhadap izin yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan.
“Apalagi Bapak Gubernur merupakan kepala daerah yang lokasinya sudah dimasuki perizinan baik yang dikeluarkan oleh kabupaten, provinsi, maupun pusat,” ujar Dimas dalam keterangannya kepada Kalteng Pos, Kamis (18/11).
Dimas menambahkan, Walhi Kalteng meyakini pihak pemerintah kabupaten maupun provinsi sudah punya data terkait nama-nama perusahaan yang izinnya perlu dievaluasi. Menurut Dimas, kerap terdengar aduan masyarakat yang wilayahnya terdapat perizinan PBS, pertambangan, ataupun kehutanan, terkait masalah penyerobotan lahan warga maupun pencemaran lingkungan yang dilakukan industri di bidang perkebunan, pertambangan, maupun kehutanan.
“Lebih bagus lagi jika pemerintah yang merillisnya, karena pengaduan banyak dilontarkan masyarakat secara langsung,” kata Dimas.
Terkait perizinan yang diberikan kepada perusahaan di sektor perkebunan, pertambangan, dan berbagai perusahaan HTI dan HPH, Walhi Kalteng menyebut selama ini sering bermasalah.
Salah satu masalah utama terkait izin yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah adalah tidak melihat dan menilai secara benar terkait kondisi lingkungan, baik daya dukung dan daya tampung di sekitar lokasi perusahaan beroperasi.
“Pemberian izin tanpa melihat apakah di lokasi yang diberikan izin tersebut terdapat hak-hak masyarakat lokal yang semestinya harus dilindungi pemerintah,” ujar Dimas.
Pembukaan lahan di lokasi yang telah mendapat izin pemerintah, yang disebut Walhi tidak melihat kondisi lingkungan secara serius tersebut, mengakibatkan rusaknya ekosistem dan lingkungan.
Perihal bencana banjir yang terjadi di Kalteng sekarang ini, menurut Walhi Kalteng, pendangkalan sungai hanya merupakan salah satu faktor.
Menurut Dimas, banjir yang terjadi merupakan persoalan kompleks. Penyebab utamanya adalah deforestasi skala besar besar yang terjadi di Kalteng.
“Kondisi hutan kita sudah mengalami deforestasi secara besar-besaran, menyebabkan banyak wilayah serapan yang hilang,” ujar Dimas.
Menurutnya deforestasi ini terjadi karena beberapa faktor. Seperti adanya aktivitas ilegal dan alih fungsi lahan melalui perizinan, atau program-program pemerintah yang berdampak pada kerusakan hutan dan lahan. Karena terjadi deforestasi, otomatis sering terjadi longsor sehingga mengendap di sungai-sungai, sehinga daerah aliran sungai (DAS) mengalami pendangkalan.
“Semua pihak yang terkait harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Kalteng yang mengakibatkan terjadinya banjir seperti sekarang ini,” ujar Dimas.
Pihak pertama adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang memiliki kewenangan terhadap kebijakan, anggaran, dan sumber daya dalam perlindungan dan penyelamatan lingkungan, tetapi selama ini kerap memberikan kebijakan yang tidak promasyarakat adat dan lingkungan/ekosistem.
Pihak kedua yang juga harus bertanggung jawab adalah para pengusaha atau investor yang mengembangkan industri ekstraktif tersebut. Pihak ketiga adalah masyarakat Kalteng sendiri. “Masyarakat selama ini mendiamkan atau mendukung perusakan hutan di wilayah Kalteng,” pungkasnya.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-BLH Palangka Raya membeberkan bahwa banjir yang terjadi di Kalteng pada Agustus lalu dan November ini akibat deforestasi atau perubahan secara permanen dari area hutan menjadi tidak berhutan. Konversi hutan menyebabkan terlepasnya cadangan karbon dalam biomassa tumbuhan dan memicu terjadinya degradasi tanah, sehingga menyebabkan terlepasnya karbon dari bahan organik tanah.
Perubahan vegetasi penutup lahan juga menyebabkan tidak terjadinya proses penyerapan karbon, sehingga yang terjadi bukan hanya pelepasan cadangan karbon di hutan, tapi juga hilangnya fungsi penyerapan karbon oleh hutan.
“Deforestasi diperkirakan menyumbang sekitar 20 persen emisi gas rumah kaca di atmosfer. Dengan persentase sedemikian, maka deforestasi menjadi penyebab terbesar kedua setelah emisi dari penggunaan bahan bakar fosil. Bahkan di negara-negara berkembang, deforestasi menjadi penyebab terbesar perubahan iklim, termasuk Indonesia. Deforestasi turut menyumbang dan menjadi salah satu faktor pemicu kejadian bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor,” beber Ketua YLBHI -LBH Palangka Raya Aryo Nugroho dalam rilis yang diterima Kalteng Pos, Kamis (18/11).
Sementara itu, mengenai instruksi gubernur kepada instansi terkait untuk mengevaluasi seluruh perizinan usaha dan atau kegiatan yang beroperasi di wilayah Kalteng, salah satunya adalah izin lingkungan. Setelah berlakunya UU Cipta Kerja, izin lingkungan diintegrasikandi dalam persetujuan berusaha. Izin lingkungan diregulasi terdahulu sebelum diberikan kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang wajib Amdal dan UKL-UPL, melalui tahapan proses penyusunan dokumen Amdal dan formulir UKL-UPL.
“Kewenangan pemberian izin lingkungan saat itu ada pada menteri, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya,” ucap Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalteng Vent Christway kepada Kalteng Pos, Kamis (18/11).
Menurutnya, ketika penanggung jawab usaha dan atau kegiatan melakukan usahanya, maka wajib melaksanakan seluruh pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang termuat dalam dokumen lingkungan hidup yang dikantongi.
Berkenaan dengan instruksi gubernur untuk melakukan evaluasi ketaatan perusahaan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, DLH bersama instansi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota se-Kalteng, sesuai dengan kewenangan telah melakukan pengawasan.
Pengawasan terhadap pelaku usaha selama ini dilaksanakan baik secara aktif maupun pasif. Pengawasan aktif dilakukan secara langsung melalui inspeksi ke lokasi usaha dan atau kegiatan. Sedangkan pengawasan pasif dilakukan melalui evaluasi berdasarkan pelaporan yang disampaikan secara elektronik maupun manual.
Terhadap pelaku usaha dan atau kegiatan yang tidak menaati ketentuan dalam pengelolaan lingkungan hidup, mesti diberi sanksi administratif berupa teguran tertulis maupun sanksi paksaan pemerintah.
DLH Kalteng berharap aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya sanksi denda administrasi dapat segera diterbitkan oleh KLHK, sehingga pelaku usaha yang tidak taat atau melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi administrasi dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Selain itu, kegiatan pengawasan terhadap usaha dan atau kegiatan yang beroperasi di wilayah Kalteng terdapat juga program yang telah dilaksanakan untuk menilai kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Program penilaian ketaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup selama ini telah dilaksanakan oleh KLHK bersama DLH Kalteng, yakni Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan atau Proper.
Tahun ini, jumlah perusahaan di Kalteng yang ikut dalam penilaian kinerja ketaatan sebanyak 69 perusahaan. Terdiri dari sektor perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit, industri pengolahan karet, industri pengolahan kayu, Hutan Tanaman Industri (HTI), pembangkit listrik, dan pertambangan.
Tahun depan jumlah perusahaan yang ikut dalam program ini terus ditingkatkan, dengan target sebanyak 100 perusahaan. Diharapkan tiap tahun jumlahnya terus bertambah.
Proper bukan pengganti instrumen penaatan konvensional yang ada, seperti penegakan hukum lingkungan perdata maupun pidana. Program ini merupakan komplementer dan bersinergi dengan instrumen penaatan lainnya. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas lingkungan dapat dilaksanakan dengan lebih efisien dan efektif.
Proper merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan sesuai yang ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan.
Proper juga merupakan perwujudan transparansi dan demokratisasi dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Penerapan instrumen ini merupakan upaya pemerintah untuk menerapkan sebagian dari prinsip-prinsip good governance (transparansi, berkeadilan, akuntabel, dan pelibatan masyarakat) dalam pengelolaan lingkungan.
Menindaklanjuti instruksi gubernur terkait pengawasan ketaatan perusahaan, DLH Kalteng bersama instansi lingkungan hidup di kabupaten/kota segera menyusun langkah dan strategi pengawasan yang lebih efektif dan efisien, sehingga seluruh usaha dan atau kegiatan yang beroperasi di wilayah ini dapat terawasi secara baik.
Banjir di Palangka Raya Perlahan Surut
Sementara itu, kondisi banjir di Palangka Raya mulai surut pada beberapa titik lokasi. Berdasarkan pantauan Kalteng Pos, Kamis (18/11) pukul 17.00 WIB, banjir di wilayah Jalan Dr Murjani, tepatnya di Gang Rahayu, RT 03 dan RT 04, RW 06, Kelurahan Pahandut mulai surut. “Sekarang air mulai turun sekitar 5-10 sentimeter,” ujar Adi, warga yang tinggal di kompleks itu.
Meski demikian, masih banyak rumah di di wilayah tersebut yang tergenang air. “Hampir semua rumah yang ada di sini ditinggal pergi penghuninya untuk mengungsi, karena rumah mereka masih kebanjiran,” ujar warga yang tinggal di RT 03 ini.
Warga terpaksa mengungsi karena genangan air di perumahan Gang Rahayu masih cukup tinggi, berkisar 20-40 cm atau kira-kira di atas lutut orang dewasa.
Adi mengatakan, sebagian besar warga di lingkungan tersebut memilih mengungsi ke rumah sanak keluarga di sekitar Kota Palangka Raya yang lokasinya aman dari banjir . “Ada juga sih warga yang tetap tinggal, tapi itu khusus untuk jaga keamanan rumah,” ucapnya. (sja/nue/ce/ala)