Jumat, September 20, 2024
36.3 C
Palangkaraya

Masuk Kalteng Bisa Antigen

Lebih lanjut dikatakannya, meski sudah ada SE Menhub ini, tapi mengenai penerapannya dikembalikan ke masing-masing pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota yang memiliki bandar udara, karena pemerintah kabupaten/kota lebih mengetahui kondisi daerah masing-masing.“Setelah adanya SE ini, ya kembali ke masing-masing kabupaten/kota, karena mereka lebih tahu wilayahnya dan kondisi daerah masing-masing, sedangkan untuk surat dari gubernur, hingga saat ini belum ada,” pungkasnya.

Diskriminatif, PCR untuk Penerbangan Dinilai Beratkan Masyarakat

Sementara itu, keputusan pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat dari dan ke Jawa-Bali melakukan tes PCR, mulai memicu polemik. Banyak pihak yang keberatan dengan aturan tersebut karena alasan biaya. Namun, tidak sedikit yang mendukung kebijakan itu dengan alasan kesehatan dan keselamatan.

Seperti diketahui, tarif tes antigen untuk Jawa-Bali ditetapkan maksimal Rp99 ribu. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa-Bali, tarif maksimal sebesar Rp109 ribu. Untuk tes PCR, tarif maksimal ditetapkan Rp495 ribu untuk area Jawa-Bali. Sedangkan area di luar Jawa-Bali ditetapkan tarif maksimal Rp525 ribu.

Baca Juga :  Melihat Sepak Terjang Sri Utamo Memimpin Jekan Raya

Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, kewajiban tes PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti akan memberatkan. Hal ini bisa memunculkan kembali keengganan konsumen menggunakan jasa transportasi udara. ”Dampaknya juga akan dirasakan dunia usaha penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk,” ujarnya, Sabtu (23/10).Di sisi lain, kata dia, kebijakan itu kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya calon pengguna moda transportasi udara yang diwajibkan tes PCR. Sedangkan moda transportasi lain, masih diperkenankan menggunakan tes rapid antigen. Bahkan ada juga yang hanya perlu menunjukan bukti telah vaksin. Selain itu, menurutnya perubahan level PPKM menjadi level 2 bahkan 1, harusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha.

Baca Juga :  Karumkit Bhayangkara Terima Penghargaan Pelopor Perubahan Pembangunan Zona Integritas

Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, maka syarat penerbangan seharusnya cukup dengan tes antigen yang harganya lebih terjangkau. Karena itu, ia mendesak agar kebijakan itu dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosis. Bukan sebagai alat screening perjalanan. ”Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab, tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat,” tuturnya.

Lebih lanjut dikatakannya, meski sudah ada SE Menhub ini, tapi mengenai penerapannya dikembalikan ke masing-masing pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota yang memiliki bandar udara, karena pemerintah kabupaten/kota lebih mengetahui kondisi daerah masing-masing.“Setelah adanya SE ini, ya kembali ke masing-masing kabupaten/kota, karena mereka lebih tahu wilayahnya dan kondisi daerah masing-masing, sedangkan untuk surat dari gubernur, hingga saat ini belum ada,” pungkasnya.

Diskriminatif, PCR untuk Penerbangan Dinilai Beratkan Masyarakat

Sementara itu, keputusan pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat dari dan ke Jawa-Bali melakukan tes PCR, mulai memicu polemik. Banyak pihak yang keberatan dengan aturan tersebut karena alasan biaya. Namun, tidak sedikit yang mendukung kebijakan itu dengan alasan kesehatan dan keselamatan.

Seperti diketahui, tarif tes antigen untuk Jawa-Bali ditetapkan maksimal Rp99 ribu. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa-Bali, tarif maksimal sebesar Rp109 ribu. Untuk tes PCR, tarif maksimal ditetapkan Rp495 ribu untuk area Jawa-Bali. Sedangkan area di luar Jawa-Bali ditetapkan tarif maksimal Rp525 ribu.

Baca Juga :  Melihat Sepak Terjang Sri Utamo Memimpin Jekan Raya

Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, kewajiban tes PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti akan memberatkan. Hal ini bisa memunculkan kembali keengganan konsumen menggunakan jasa transportasi udara. ”Dampaknya juga akan dirasakan dunia usaha penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk,” ujarnya, Sabtu (23/10).Di sisi lain, kata dia, kebijakan itu kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya calon pengguna moda transportasi udara yang diwajibkan tes PCR. Sedangkan moda transportasi lain, masih diperkenankan menggunakan tes rapid antigen. Bahkan ada juga yang hanya perlu menunjukan bukti telah vaksin. Selain itu, menurutnya perubahan level PPKM menjadi level 2 bahkan 1, harusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha.

Baca Juga :  Karumkit Bhayangkara Terima Penghargaan Pelopor Perubahan Pembangunan Zona Integritas

Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, maka syarat penerbangan seharusnya cukup dengan tes antigen yang harganya lebih terjangkau. Karena itu, ia mendesak agar kebijakan itu dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosis. Bukan sebagai alat screening perjalanan. ”Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab, tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat,” tuturnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/