SAMPIT – Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotawaringin Timur dari komisi I melaksanakan pengecekan lahan yang diklaim lahan sejumlah warga terkait Dukuh Bengkuang di Desa Pantai Harapan, Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur.
Pengecekan lokasi dipimpin langsung Ketua Komisi I DPRD Kotawaringin Timur yang merupakan lanjutan dari rapat dengar pendapat (RDP) beberapa waktu lalu.
“Silahkan tunjukkan titiknya dimana, ambil tiga titik, nanti akan diambil koordinator oleh BPN dan pihak tata ruang,” kata Ketua Komisi I DPRD Kotim, Angga Aditya Nugraha, Kamis (3/7/2025) saat di lokasi.
Anggan menyebutkan, dari hasil pengambilan titik koordinat akan diverifikasi dan divalidasi, kemudian akan dibawa ke lanjutan rapat dengar pendapat.
“Nanti hasilnya akan kita kaji bersama di dalam RDP,” terangnya.
Sementara itu Camat Cempaga Hulu, Gusti Mukafi menyerahkan sepenuhnya masalah itu kepada pihak yang dipercaya mengambil titik koordinat.
“Setelah pengambilan titik koordinat ini tinggal kita tunggu dan analisis data dan dibahas melalui RDP,” tegasnya.
Sementara itu dalam kegiatan tersebut hadir para pihak baik dari yang klaim lahan, Pemerintah Desa Pantai Harapan, Kecamatan Cempaga, Cempaga Hulu, pihak Koramil, Polsek, perwakilan Pemkab Kotim, tokoh masyarakat serta perwakilan dari manajemen PT Windu Nabatindo Lestari (WNL).
Sebelumnya klaim lahan disampaikan melalui RDP di DPRD Kotim. Dalam dengar pendapatan tersebut, disampaikan beberapa pandangan terkait polemik Dukuh Bengkuang, salah satunya dari tokoh masyarakat setempat M Natsir.
Dia menyampaikan, legalitas keberadaan Dukuh Bengkuang. Menurutnya, berdasarkan data administratif saat ia menjabat sebagai Sekretaris Desa tahun 2004, tidak terdapat data administrasi atau dokumen resmi yang mencatat eksistensi dukuh tersebut begitu pula Dukuh Lubuk Bakah.
Nasir juga menambahkan, mungkin benar tahun 1982 ada penduduk disana namun kemudian migrasi sedikit demi sedikit karena tuntutan pekerjaan. Dan di Pantai Harapan banyak dukuh sekitar 30-an namun tidak ada SK-nya.
Ia menyebutkan, wilayah yang kini diklaim sebagai Dukuh Bengkuang dulunya merupakan tempat tinggal namun kemudian penduduk mulai pindah migrasi ke desa lainnya bekerja di perusahaan kayu.
“Hingga tahun 1996 kepala dukuh meninggal, tidak ada penggantinya. Itu mengindikasikan bahwa warganya memang sudah pindah dan tidak menetap lagi,” terangnya.
Lalu pada tahun 1997 perusahaan masuk sudah tidak ada warga karena bermigrasi, maka penggusuran lahan wajar saja karena masuk wilayah perusahan, jadi bukan pengusiran karena merupakan lahan.(sli/ram)