Rabu, Mei 7, 2025
27.8 C
Palangkaraya

Walhi Desak Bank Hentikan Kredit ke Perusahaan Sawit Bermasalah

 

 

PALANGKA RAYA-Di tengah meluasnya ekspansi bisnis perkebunan sawit, sektor pembiayaan yang selama ini berada di balik layar mulai mendapat sorotan tajam.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) Bayu Herinata menegaskan, bank dan lembaga keuangan khususnya milik negara, memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk memastikan dana yang disalurkan tidak memperkuat praktik-praktik destruktif oleh perusahaan sawit.

“Selama ini kita terlalu fokus pada pelaku langsung di lapangan, yakni perusahaan sawit. Padahal di balik operasi besar mereka, ada dukungan finansial yang memungkinkan ekspansi dan kerusakan lingkungan,” kata Bayu saat dikonfirmasi Kalteng Pos, Rabu (30/4/2025).

Menurutnya, sektor pembiayaan tidak seharusnya hanya menyalurkan dana, tetapi juga menerapkan prinsip kehati-hatian, terutama terkait keberlanjutan lingkungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

“Bank, apalagi yang membawa nama negara dan mengelola dana publik, semestinya memiliki standar tinggi dalam menyeleksi pihak-pihak yang mereka biayai,” ucapnya.

Menurut Bayu, Kalteng merupakan contoh nyata di mana pembiayaan yang tidak selektif telah berkontribusi terhadap krisis lingkungan dan sosial.

Mulai dari deforestasi, pencemaran, kebakaran lahan yang menyebabkan asap tahunan, hingga konflik sosial yang memicu kekerasan dan bahkan menelan korban jiwa masyarakat adat, semuanya berkaitan erat dengan aktivitas perusahaan sawit yang mendapatkan dukungan pembiayaan.

“Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi juga menyangkut keadilan sosial. Banyak masyarakat kehilangan tanah, hak, bahkan nyawa. Sudah seharusnya pihak perbankan bertanya: apa konsekuensi dari uang yang mereka salurkan?” kata Bayu.

Sebagai bagian dari upaya perubahan paradigma, Walhi Kalteng meluncurkan kampanye yang mendesak sektor pembiayaan, agar tidak lagi menjadi penyokong praktik bisnis yang tidak berkelanjutan.

Kampanye ini mendorong bank untuk meninjau ulang pembiayaan kepada perusahaan sawit bermasalah, serta mengevaluasi secara menyeluruh dampak sosial dan ekologis dari dana yang disalurkan.

“Langkah awalnya sederhana: berhenti mendanai pelaku pelanggaran. Namun, langkah yang lebih penting adalah mendorong perusahaan untuk berbenah, menyelesaikan konflik, dan menjalankan usaha dengan prinsip keberlanjutan,” tuturnya.

Bayu menekankan, di tengah krisis iklim dan ancaman terhadap masyarakat adat, sektor keuangan tidak bisa lagi berdiri di zona nyaman.

Baca Juga :  Walhi Kalteng Menduga Karhutla Mulai Masuk Kawasan Konsesi Perusahaan

 

Lembaga keuangan, menurutnya, harus menjadi penjaga masa depan, bukan sekadar motor pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

“Jika ingin tetap relevan dan dipercaya publik, bank harus menunjukkan komitmen terhadap masa depan bumi dan masyarakat, bukan justru mempercepat kerusakan demi keuntungan,” ungkapnya.

Bayu menyebut akan ada aksi lanjutan dari kampanye pembiayaan yang merisikokan hutan, gambut, dan menyebabkan konflik sosial. Namun, ia belum bisa mengungkapkan waktu pelaksanaannya.

Sementara itu, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai mengungkapkan, dari total 349 kasus konflik agraria yang terjadi di wilayah Kalteng, sekitar 80 persen melibatkan perusahaan sawit besar dan masyarakat adat atau warga lokal.

 

Ironisnya, banyak dari konflik ini masih berlangsung tanpa penyelesaian yang adil bagi masyarakat terdampak.

Janang juga membeberkan data aliran dana dari sektor perbankan kepada perusahaan sawit.

“Dalam periode 2016 hingga Juni 2024, total kredit yang disalurkan kepada taipan sawit di Kalimantan Tengah mencapai USD 11,07 miliar atau setara Rp157,8 triliun,” sebutnya.

Salah satu penerima manfaat dana itu diduga adalah Winarno Tjajadi, pengendali PT HMBP/Best Agro Group, yang memiliki keterkaitan kuat dengan BNI.

Ia menambahkan, pendanaan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung, diduga turut menopang konflik sosial dan kerusakan hutan secara masif di Kalteng.

Karena itu, Walhi Kalteng mendesak perbankan, termasuk BNI, lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan, khususnya kepada perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit.

“Bank harus mengedepankan prinsip keberlanjutan dan HAM pada tiap keputusan pendanaan. Jika tidak, maka lembaga-lembaga keuangan seperti BNI turut memperkuat ketimpangan struktural dan kerusakan lingkungan,” tegasnya.

Aksi demonstrasi Walhi di kantor BNI yang dibubarkan secara paksa, menuai reaksi beragam. Ada yang mengecam, ada pula yang mendukung.

 

Ketua Umum Badan Koordinator Daerah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kalimantan Tengah Restu Ronggo Wicaksono mengatakan, di negara demokrasi, menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak tiap warga negara, selama dilakukan secara damai dan sesuai hukum.

Baca Juga :  Polres Kobar Tangkap Pelaku Arisan Bodong

“Di sisi lain, tiap institusi, termasuk BNI, tentu memiliki standar keamanan dan operasional yang harus dijaga,” kata Restu, Rabu (30/4) lalu.

Menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana ruang dialog tetap terbuka.

“Ketika ada perbedaan pandangan, cara terbaik bukanlah pembubaran atau konfrontasi, melainkan membuka ruang komunikasi yang adil,” ujarnya.

Menurutnya, semua pihak—baik pengunjuk rasa maupun institusi yang menjadi sasaran aksi—harus menjunjung tinggi prinsip saling menghormati dan mencari solusi yang konstruktif.

Restu menilai sudah waktunya seluruh lembaga keuangan, terutama yang berstatus milik negara, mengadopsi perspektif keberlanjutan dalam tiap kebijakan bisnis.

 

Pembiayaan sektor ekstraktif yang berdampak besar terhadap lingkungan harus dipertimbangkan secara menyeluruh, termasuk potensi risikonya.

“Ini bukan soal menyalahkan, tetapi mendorong perbaikan. Jika bank ingin berperan dalam pembangunan nasional, maka peran itu harus sejalan dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial,” jelasnya.

Alumnus Fakultas Hukum UPR ini menambahkan, langkah ideal adalah mendorong transparansi dan evaluasi terbuka terhadap kebijakan pendanaan lembaga keuangan.

 

Jika ada kekhawatiran dari masyarakat sipil, bank seperti BNI seharusnya terbuka untuk berdialog dan menjelaskan pendekatan serta standar keberlanjutan yang mereka gunakan.

“Evaluasi yang bersifat kolaboratif, melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan, akan jauh lebih sehat daripada saling menyudutkan. Untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan, kolaborasi dan keterbukaan menjadi kunci,” ucapnya.

Ia menegaskan, bank memiliki peran strategis dalam menentukan arah pembangunan. Oleh karena itu, sangat penting bagi sektor perbankan untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tiap kebijakan pembiayaan, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan.

“Transparansi, tanggung jawab, dan keterlibatan publik adalah kunci membangun kepercayaan. Jika itu dijaga, kepercayaan akan tumbuh, dan konflik seperti ini bisa dicegah sejak awal,” pungkasnya.

Sebagai penutup, Restu memberi pesan khusus kepada generasi muda, khususnya di Kalteng.

“Dalam tiap dinamika antara masyarakat dan institusi, peran kita bukan untuk memperkeruh suasana, melainkan memastikan semua pihak bertindak dalam kerangka demokrasi, keadilan, dan tanggung jawab bersama.” (zia/irj/ce/ala)

 

 

 

PALANGKA RAYA-Di tengah meluasnya ekspansi bisnis perkebunan sawit, sektor pembiayaan yang selama ini berada di balik layar mulai mendapat sorotan tajam.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) Bayu Herinata menegaskan, bank dan lembaga keuangan khususnya milik negara, memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk memastikan dana yang disalurkan tidak memperkuat praktik-praktik destruktif oleh perusahaan sawit.

“Selama ini kita terlalu fokus pada pelaku langsung di lapangan, yakni perusahaan sawit. Padahal di balik operasi besar mereka, ada dukungan finansial yang memungkinkan ekspansi dan kerusakan lingkungan,” kata Bayu saat dikonfirmasi Kalteng Pos, Rabu (30/4/2025).

Menurutnya, sektor pembiayaan tidak seharusnya hanya menyalurkan dana, tetapi juga menerapkan prinsip kehati-hatian, terutama terkait keberlanjutan lingkungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

“Bank, apalagi yang membawa nama negara dan mengelola dana publik, semestinya memiliki standar tinggi dalam menyeleksi pihak-pihak yang mereka biayai,” ucapnya.

Menurut Bayu, Kalteng merupakan contoh nyata di mana pembiayaan yang tidak selektif telah berkontribusi terhadap krisis lingkungan dan sosial.

Mulai dari deforestasi, pencemaran, kebakaran lahan yang menyebabkan asap tahunan, hingga konflik sosial yang memicu kekerasan dan bahkan menelan korban jiwa masyarakat adat, semuanya berkaitan erat dengan aktivitas perusahaan sawit yang mendapatkan dukungan pembiayaan.

“Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi juga menyangkut keadilan sosial. Banyak masyarakat kehilangan tanah, hak, bahkan nyawa. Sudah seharusnya pihak perbankan bertanya: apa konsekuensi dari uang yang mereka salurkan?” kata Bayu.

Sebagai bagian dari upaya perubahan paradigma, Walhi Kalteng meluncurkan kampanye yang mendesak sektor pembiayaan, agar tidak lagi menjadi penyokong praktik bisnis yang tidak berkelanjutan.

Kampanye ini mendorong bank untuk meninjau ulang pembiayaan kepada perusahaan sawit bermasalah, serta mengevaluasi secara menyeluruh dampak sosial dan ekologis dari dana yang disalurkan.

“Langkah awalnya sederhana: berhenti mendanai pelaku pelanggaran. Namun, langkah yang lebih penting adalah mendorong perusahaan untuk berbenah, menyelesaikan konflik, dan menjalankan usaha dengan prinsip keberlanjutan,” tuturnya.

Bayu menekankan, di tengah krisis iklim dan ancaman terhadap masyarakat adat, sektor keuangan tidak bisa lagi berdiri di zona nyaman.

Baca Juga :  Walhi Kalteng Menduga Karhutla Mulai Masuk Kawasan Konsesi Perusahaan

 

Lembaga keuangan, menurutnya, harus menjadi penjaga masa depan, bukan sekadar motor pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

“Jika ingin tetap relevan dan dipercaya publik, bank harus menunjukkan komitmen terhadap masa depan bumi dan masyarakat, bukan justru mempercepat kerusakan demi keuntungan,” ungkapnya.

Bayu menyebut akan ada aksi lanjutan dari kampanye pembiayaan yang merisikokan hutan, gambut, dan menyebabkan konflik sosial. Namun, ia belum bisa mengungkapkan waktu pelaksanaannya.

Sementara itu, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai mengungkapkan, dari total 349 kasus konflik agraria yang terjadi di wilayah Kalteng, sekitar 80 persen melibatkan perusahaan sawit besar dan masyarakat adat atau warga lokal.

 

Ironisnya, banyak dari konflik ini masih berlangsung tanpa penyelesaian yang adil bagi masyarakat terdampak.

Janang juga membeberkan data aliran dana dari sektor perbankan kepada perusahaan sawit.

“Dalam periode 2016 hingga Juni 2024, total kredit yang disalurkan kepada taipan sawit di Kalimantan Tengah mencapai USD 11,07 miliar atau setara Rp157,8 triliun,” sebutnya.

Salah satu penerima manfaat dana itu diduga adalah Winarno Tjajadi, pengendali PT HMBP/Best Agro Group, yang memiliki keterkaitan kuat dengan BNI.

Ia menambahkan, pendanaan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung, diduga turut menopang konflik sosial dan kerusakan hutan secara masif di Kalteng.

Karena itu, Walhi Kalteng mendesak perbankan, termasuk BNI, lebih selektif dalam menyalurkan pembiayaan, khususnya kepada perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit.

“Bank harus mengedepankan prinsip keberlanjutan dan HAM pada tiap keputusan pendanaan. Jika tidak, maka lembaga-lembaga keuangan seperti BNI turut memperkuat ketimpangan struktural dan kerusakan lingkungan,” tegasnya.

Aksi demonstrasi Walhi di kantor BNI yang dibubarkan secara paksa, menuai reaksi beragam. Ada yang mengecam, ada pula yang mendukung.

 

Ketua Umum Badan Koordinator Daerah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kalimantan Tengah Restu Ronggo Wicaksono mengatakan, di negara demokrasi, menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak tiap warga negara, selama dilakukan secara damai dan sesuai hukum.

Baca Juga :  Polres Kobar Tangkap Pelaku Arisan Bodong

“Di sisi lain, tiap institusi, termasuk BNI, tentu memiliki standar keamanan dan operasional yang harus dijaga,” kata Restu, Rabu (30/4) lalu.

Menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana ruang dialog tetap terbuka.

“Ketika ada perbedaan pandangan, cara terbaik bukanlah pembubaran atau konfrontasi, melainkan membuka ruang komunikasi yang adil,” ujarnya.

Menurutnya, semua pihak—baik pengunjuk rasa maupun institusi yang menjadi sasaran aksi—harus menjunjung tinggi prinsip saling menghormati dan mencari solusi yang konstruktif.

Restu menilai sudah waktunya seluruh lembaga keuangan, terutama yang berstatus milik negara, mengadopsi perspektif keberlanjutan dalam tiap kebijakan bisnis.

 

Pembiayaan sektor ekstraktif yang berdampak besar terhadap lingkungan harus dipertimbangkan secara menyeluruh, termasuk potensi risikonya.

“Ini bukan soal menyalahkan, tetapi mendorong perbaikan. Jika bank ingin berperan dalam pembangunan nasional, maka peran itu harus sejalan dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial,” jelasnya.

Alumnus Fakultas Hukum UPR ini menambahkan, langkah ideal adalah mendorong transparansi dan evaluasi terbuka terhadap kebijakan pendanaan lembaga keuangan.

 

Jika ada kekhawatiran dari masyarakat sipil, bank seperti BNI seharusnya terbuka untuk berdialog dan menjelaskan pendekatan serta standar keberlanjutan yang mereka gunakan.

“Evaluasi yang bersifat kolaboratif, melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan, akan jauh lebih sehat daripada saling menyudutkan. Untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan, kolaborasi dan keterbukaan menjadi kunci,” ucapnya.

Ia menegaskan, bank memiliki peran strategis dalam menentukan arah pembangunan. Oleh karena itu, sangat penting bagi sektor perbankan untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tiap kebijakan pembiayaan, bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan.

“Transparansi, tanggung jawab, dan keterlibatan publik adalah kunci membangun kepercayaan. Jika itu dijaga, kepercayaan akan tumbuh, dan konflik seperti ini bisa dicegah sejak awal,” pungkasnya.

Sebagai penutup, Restu memberi pesan khusus kepada generasi muda, khususnya di Kalteng.

“Dalam tiap dinamika antara masyarakat dan institusi, peran kita bukan untuk memperkeruh suasana, melainkan memastikan semua pihak bertindak dalam kerangka demokrasi, keadilan, dan tanggung jawab bersama.” (zia/irj/ce/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/